Skip to main content

Oleh: Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)

Indonesia Gelap itu Semakin Nyata
Rentetan kebijakan negara yang kontroversial telah mendapatkan berbagai respon: kritik dan kesangsian dari berbagai pihak. Prabowo tetap bergeming, go ahead untuk berbagai kebijakan irasional. Sikap ngeyel tersebut dibuktikan dengan sinyal negatif dari perekonomian nasional, ditunjukkan dengan penurunan daya beli masyarakat. Semakin diperkuat dengan modal asing yang keluar tak terbendung, totalnya sudah Rp23 triliun, alih-alih mendorong investasi justru membuat kabur investor. Sejak Prabowo-Gibran dilantik, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus terkoreksi, berada di level merah (turun). Namun pemerintah tetap pekak dengan kritik publik.

Di tingkat rumah tangga, rasio tabungan masyarakat terjerembab, berada pada level terendah sejak 2021. Selain itu, terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di beberapa daerah. Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh; Said Iqbal, sepanjang dua bulan pertama di tahun 2025 sudah terjadi PHK kepada 60 ribu pekerja di Indonesia. Dampaknya jelas, saat pendapatan Masyarakat melemah, maka berdampak pada daya beli masyarakat. Lagi-lagi, Prabowo-Gibran sepertinya tidak terlalu mempedulikan keadaan-keadaan kahar ini. Kebijakan-kebijakan inkonsisten tetap diterapkan. Sedang gencar efesiensi, malah buang-buang anggaran untuk retret. Menerapkan merit system, pengelolaan negara condong pada pendekatan nepotisme. Sanak keluarga pemerintah yang berkuasa, berjejal masuk dalam pengelolaan negara.

“Indonesia sedang menampakkan wajah suramnya. Indonesia gelap begitu relevan di kondisi hari ini. Tak peduli silat lidah dari para pejabat negara untuk menegasikan keadaan tersebut, nyatanya Indonesia sedang tidak baik-baik saja” tegas Gulfino, Peneliti Seknas FITRA melihat kondisi Republik yang kian murung.

Kebijakan Utopis Pemerintah di Tengah Defisit APBN
Terbaru, indikasi negara ini tidak baik-baik saja semakin nyata. Defisit APBN pada awal tahun 2025 mencapai Rp 31 triliun atau setara dengan 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sektor Pajak telah lama menjadi tulang punggung pendapatan negara, namun kinerja pendapatan pajak tahun 2025 begitu bobrok. Investasi besar untuk aplikasi Coretax rupanya hanya menghasilkan omon-omon belaka. Pendapatan Pajak di Februari 2025 hanya Rp187,8 triliun, turun 30% dari Februari 2025, yang mencapai Rp269 triliun.

Membandingkan kinerja pendapatan negara pada bulan yang sama di tahun 2024, kinerjanya telah mencapai Rp400,4 triliun atau 14% dari total APBN 2024. Sedangkan di Februari 2025, kinerja pendapatan baru menyentuh Rp316,9 triliun atau turun 20,9% dari kinerja tahun lalu. Masih membandingkan dengan kinerja Februari tahun 2024, kinerja anggaran negara surplus Rp26 triliun, sedangkan di Februari 2025, defisit Rp31 triliun.

Di tengah defisit APBN, Presiden mengeluarkan instruksi efisiensi yang sporadis. Totalnya anggaran yang dihemat mencapai Rp306,7 triliun. Bukannya digunakan untuk kebutuhan produktif, malah dipergunakan sebagai modal Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara dan tambahan anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG).

Seknas FITRA menilai, defisit APBN merupakan dampak dari kebijakan pemerintah Prabowo-Gibran yang impulsif. Ambisi berkuasa yang didukung dengan lemahnya peran oposan membuat kekuasaan dikelola secara ugal-ugalan. Tidak ada penyeimbang di luar kekuasaan yang secara tegas menjadi antitesa kebijakan-kebijakan pemerintah. Dampaknya terpampang nyata hari ini: kebijakan-kebijakan pemerintah yang seharusnya baik, apabila dipersiapkan secara matang, justru terlihat utopis atau hanya khayalan belaka.

Bagaimana dengan Aplikasi Coretax?
Merespon kinerja pendapatan yang buruk, Kementerian Keuangan mengeluarkan disclaimer: Data penerimaan pajak bulan Januari, tidak dapat dibandingkan dengan penerimaan tahun sebelumnya karena adanya beberapa kebijakan, seperti Tarif Efektif Rata-Rata (TER), relaksasi (PPN DN), dan restitusi yang signifikan. Selain itu menurut Kementerian Keuangan penyebab lainnya adalah melambatnya harga komoditas utama seperti batubara (-11,8%), brent (-5,2%), dan nikel (-5,9%).

Namun, Kementerian Keuangan tidak menjelaskan dampak aplikasi Coretax yang implementasinya masih compang-camping. Gulfino dari Seknas FITRA menilai bahwa ,”turunnya kinerja pajak di Tahun 2025, tidak lepas dari implementasi Coretax yang penuh kendala. Terdapat keterkaitan erat antara pengelolaan pemungutan pajak dengan capaian kinerja pendapatan pajak. Sehingga, apabila kinerja Coretax buruk maka pendapatan pajak pun tidak maksimal”.

Melihat konstalasi politik anggaran Indonesia yang penuh tantangan, Seknas FITRA menyatakan sikap dan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah:

  1. Kepada Presiden Prabowo, untuk segera meninjau ulang kebijakan-kebijakan yang berdampak buruk pada pelayanan publik, seperti efesiensi anggaran. Efesiensi anggaran harus dilakukan secara proporsional dan tepat. Tidak bisa serampangan dan sporadis.
  2. Kepada Kementerian Keuangan, untuk segera memperbaiki tata kelola perpajakan nasional. Sekiranya aplikasi Coretax yang dianggap sebagai pembaharu tersebut malah menghambat kinerja pajak. Maka Menteri Keuangan harus segera mengambil sikap tegas kepada Direktorat Jenderal Pajak.
  3. Kepada Menteri Keuangan, pendapatan negara tidak hanya bergantung pada penerimaan pajak saja. Pemerintah harus inovatif dalam meningkatkan penerimaan negara yang tidak memberikan dampak negatif pada rakyat, melalui intensifikasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor Sumber Daya Alam (SDA). Selama ini, banyak celah kebocoran yang tidak diselesaikan dengan tuntas. Ekstensifikasi pajak dan cukai, termasuk pajak untuk industri yang merusak lingkungan dan berdampak pada kesehatan dan ekologi.
  4. Kepada Kementerian Keuangan dan K/L Teknis: Memastikan penggunaan hasil efisiensi anggaran untuk program-program yang produktif dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat menengah ke bawah.
  5. Aparat Penegak Hukum (APH): Mengejar aliran dana korupsi Pertamina setuntas-tuntasnya karena subsidi/kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM) seharusnya dapat menghemat belanja negara dan dapat mengurangi defisit anggaran.