(Kolom opini, Koran TEMPO 29/10)
oleh Misbah Hasan (Sekjen FITRA)
Rencana Pemerintah mengucurkan Dana Kelurahan sebesar tiga triliun rupiah yang diambilkan dari Dana Desa dalam skema RAPBN 2019 menuai polemik. Aturan operasional, sumber pendanaan, dan mekanisme pengawasannya perlu segera dibenahi.
Polemik bermula ketika Pemerintah secara serta merta merespon usulan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) tentang kebutuhan dana untuk peningkatan kinerja Kelurahan. APEKSI menyatakan bahwa banyak Kelurahan menuntut keadilan dan ‘cemburu’ terhadap Desa yang mendapat kucuran Dana Desa hingga mencapai Rp 187,6 trilun selama periode 2015-2018. Respon Pemerintah dilakukan dengan memotong Dana Desa sebesar Rp 3 triliun yang sebelumnya dianggarkan Rp 73 triliun pada RAPBN 2019. (Koran Tempo, 23/10/2018). Memasuki tahun politik, kebijakan Pemerintah terkait Dana Kelurahan pun dianggap ‘pencitraan’ karena sebelumnya tidak masuk dalam RAPBN 2019.
Berbeda dengan Desa, Kelurahan merupakan perangkat daerah Kabupaten/Kota yang berkedudukan di wilayah kecamatan, bukan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai kewenangan otonom sebagaimana Desa. Meski demikian, sebagai perangkat daerah Kelurahan tetap mempunyai hak mendapatkan dana yang bersumber dari APBD Kabupaten/Kota, Bantuan Pemerintah/Pemerintah Provinsi/Pemerintah Kabupaten/Kota dan pihak ketiga, serta sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat, sebagaimana diatur dalam pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan.
Sumber keuangan Kelurahan dipertegas kembali dalam pasal 230 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan pasal 30 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan yang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah kabupaten/kota mengalokasikan anggaran dalam APBD untuk pembangunan sarana prasarana Kelurahan, pemberdayaan masyarakat di Kelurahan, pelayanan masyarakat, dan pembinaan lembaga kemasyarakatan. Untuk Kabupaten/Kota yang tidak memiliki desa alokasinya paling sedikit lima persen dari APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK). Sedangkan bagi daerah yang memiliki desa alokasi anggaran kelurahan paling sedikit sebesar Dana Desa terendah yang diterima oleh desa di daerah tersebut.
Secara prinsip, alokasi dana APBN untuk Kelurahan adalah niscaya. Selain sebagai bagian dari komitmen untuk mendekatkan pelayanan publik lebih mudah diakses oleh masyarakat, persoalan perkotaan juga sangat kompleks, mulai dari sampah, minimnya ketersediaan air bersih dan air minum, sanitasi yang tak layak, serta buruknya penataan bangunan permukiman. Dalam mengatasi persoalan tersebut, selama ini Kelurahan masih sangat bergantung pendanaannya dari APBD yang dikelola oleh Kecamatan. Lurah selaku pimpinan Kelurahan bukan merupakan kuasa pengguna anggaran, sehingga otoritas dan kewenangannya sangat terbatas. Terutama bagi kabupaten/kota yang belum menetapkan kelurahannya menjadi organisasi perangkat daerah.
Agar wacana tentang Dana Kelurahan tidak terjebak pada polemik yang berkepanjangan dan cenderung politis, Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut, pertama, melaksanakan amanat pasal 230 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda secara konsekuen. Bahwa sumber pendanaan Kelurahan berasal dari APBD dan membuat aturan operasional mengenai tata cara pengalokasian, pemanfaatan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban dana pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan serta penyelenggaraan musyawarah pembangunan keurahan; kedua, melakukan revisi terhadap PP No. 73/2005 tentang Kelurahan. Pasal-pasal yang relevan untuk diganti antara lain pasal 3 tentang Kedudukan Kelurahan dan Tugas Lurah agar diperkuat dan diberi kewenangan lebih sebagai kuasa pengguna anggaran dan pasal 9 ayat (1) tentang sumber keuangan Kelurahan yang memasukkan sumber APBN; ketiga, mencari sumber Dana Kelurahan dari peningkatan Pendapatan Negara atau efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga, bukan dari pemotongan Dana Desa; keempat, membangun mekanisme pengawasan Dana Kelurahan yang melibatkan masyarakat. Kelurahan tidak memiliki lembaga pengawas seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Untuk itu, selain Kecamatan yang melakukan pengawasan, masyarakat Kelurahan juga penting untuk ditingkatkan kapasitasnya melakukan partisipasi dan pengawasan dalam mengawal Dana Kelurahan.
Secara garis besar, penguatan anggaran bagi kelurahan dengan tanpa mengurangi jatah Dana Desa merupakan upaya untuk mensinergikan pembangunan hingga ke level mikro. Harapannya, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat menjadi lebih optimal.*