Skip to main content

Jakarta, 22 Februari 2020

Sejumlah kalangan mendesak pemerintah untuk melakukan moratorium pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan penerima Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak selalu defi­sit. Lagi pula, beban bunga obligasi rekap se­kitar 400 triliun rupiah dapat dialihkan untuk program peningkatan produksi nasional yang mempunyai muatan lokal tinggi.

Kepala Peneliti Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan kondisi dunia usaha sekarang seperti sapi perah kurus yang jika diperas habis-habisan tidak menghasilkan apa-apa sehingga mesti segera dibantu dengan ban­tuan dana. Untuk itu, moratorium pemba­yaran bunga obligasi rekap eks BLBI selama 7 tahun dapat menguatkan perekonomian nasional. Sebab, dana bunga utang itu di­alihkan untuk pembangunan yang produktif.

“Sebanyak 400 triliun rupiah itu kalau digunakan untuk kegiatan yang produktif akan berlipat ganda, hasilnya akan tiga kali lipat. Kuncinya jangan boros, gunakan un­tuk produksi terutama pertanian dan infra­struktur pertanian,” katanya saat dihubungi, Jumat (21/2).

Seperti diketahui, beban bunga sekitar 400 triliun rupiah itu terus bertambah setiap tahun, karena eksponensial. Jadi, kalau pem­bayaran tidak dihentikan, APBN bisa kolaps.

Menurut Badiul, setiap 400 triliun rupiah yang tidak dibayarkan untuk bunga obligasi rekap, dalam tiap tahun akan berlipat ganda. Demikian juga yang 400 triliun rupiah kedua dan seterusnya. “Jika ini dilakukan, sudah berapa besar yang bisa dihemat,” ujarnya.

Dijelaskan, dana 400 triliun rupiah yang tidak dibayarkan itu untuk pembangunan bukan untuk konsumsi dan juga harus dice­gah agar tidak korupsi.

Badiul Hadi mengatakan Indonesia ja­ngan menunggu sampai seperti Argentina yang tidak mampu mencicil utang. Sebab, kalau sudah kesulitan anggaran tidak akan ada lagi yang akan memberikan utang.

Diperoleh informasi, Dana Moneter Inter­nasional (IMF) mengakui bahwa moratorium satu-satunya jalan untuk menyehatkan ke­uangan negara. Namun, IMF juga harus ber­tanggung jawab atas formula yang diberikan di masa lalu sehingga Indonesia terbebani utang. Kementerian Keuangan melaporkan, utang pemerintah per Januari 2020 sudah mencapai 4.817,6 triliun rupiah.

Tidak Ada Anggaran

Sementara itu, ekonom Universitas Air­langga Surabaya, Mohammad Nasih, me­ngatakan pemerintah mesti memberikan stimulus berupa dana kepada sektor riil agar terbangun produksi nasional yang produktif sehingga menghasilkan pendapatan negara. “Apa yang terjadi sekarang, karena tidak ada uang. Dana habis untuk konsumsi dari orang asing atau digunakan untuk impor,” ujarnya.

Menurur Nasih, kalau mengandalkan im­por, pemerintah hanya mendapatkan pajak pendapatan nilai (PPN) sebesar 10 persen. Tapi, kalau anggaran impor digunakan untuk produksi dalam negeri, dana yang ada akan berputar ratusan kali dan pemerintah men­dapatkan pajak berkali-kali. “Kemudian, ka­lau hasil produksinya kita ekspor, kita akan mendapatkan devisa yang jumlahnya akan tinggi dari FDI (investasi langsung), karena itu uang kita. Kalau FDI kan uang asing yang ditempatkan di Indonesia,” paparnya.

Nasih menegaskan, saat ini merupa­kan waktu yang tepat untuk menghentikan impor. Ini penting, agar ketahanan pangan Indonesia menjadi kuat. “Uang dari mana untuk naikkan produksi, ya dari uang untuk impor. Artinya, kita harus bicara mening­katkan produksi nasional. Jangan seperti menteri yang bilang produksi kurang kita harus impor,” katanya.

Sebelumnya, Ekonom UII Yogyakarta, Su­harto, mengatakan para pengusaha menang­gung pajak ada batasnya. Sekarang saja, keuntungan pengusaha sudah pas-pasan. Kalau dipajaki lagi, akhirnya terjadi pemu­tusan hubungan kerja, lalu usahanya tutup. Padahal, untuk menghidupkan perusahaan yang sudah mati paling sulit. “Nah, agar du­nia usaha tidak bangkrut, pemerintah harus membantunya dengan keringanan-keringa­nan sehingga pengusaha bisa menghasilkan pendapatan tinggi lagi,” katanya.

Pengamat sosial ekonomi dari Kaukus Muda Indonesia, Edi Humaidi, mengusulkan agar otoritas moneter membuat instrumen “money supply” untuk disalurkan ke sektor yang produktif. Caranya, bantuan diberikan kepada industri yang mempunyai muatan lo­kal 70 persen. Bisa juga untuk industri yang muatan lokalnya minimal 50 persen, tapi sa­ngat strategis.

Sumber: http://www.koran-jakarta.com/moratorium-pembayaran-bunga-obligasi-rekap-perkuat-ekonomi-ri/

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.