Skip to main content

Sejumlah pegiat pemilu dan transparansi anggaran mengkritik lonjakan anggaran perlindungan sosial melalui program bantuan sosial (bansos) menjelang Pemilu 2024. Mereka menilai pemerintah sedang menerapkan praktik pork barrel politics atau politik gentong babi pada periode elektoral dengan tujuan merebut suara dan dukungan pemilih.

Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Gurnadi Ridwan mengatakan indikasi politik gentong babi terlihat dari lonjakan anggaran perlindungan sosial pada 2024 dibanding tahun sebelumnya pada masa pandemi. Menurut dia, lonjakan anggaran tersebut semestinya tidak perlu terjadi.

Politik gentong babi merupakan upaya calon pemimpin memberikan uang atau barang kepada masyarakat untuk memikat pemilih sekaligus mendulang suara. Cara ini biasanya dilakukan calon inkumben yang telah memiliki kekuasaan.

Dalam konteks Pemilu 2024, anak sulung Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, ikut berkontestasi sebagai calon wakil presiden. Gibran, yang saat ini masih aktif sebagai Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah, mendampingi calon presiden Prabowo Subianto, yang saat ini juga masih aktif sebagai Menteri Pertahanan.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. juga berlaga dalam kontestasi Pemilu 2024 sebagai calon wakil presiden. Dia mendampingi calon presiden yang juga mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Adapun kandidat lainnya adalah Anies Baswedan, bekas Gubernur DKI Jakarta, yang berdampingan dengan Muhaimin Iskandar, mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.

Politik gentong babi awalnya dikenal di Amerika Serikat sebagai politik iming-iming dan penggunaan sumber daya negara untuk membeli pengaruh pemilih. Istilah “gentong babi” merupakan metafora yang berangkat dari cerita di Amerika Serikat pada zaman perbudakan. Para budak berusaha memperlambat pekerjaan mereka untuk mengurangi keuntungan pemilik budak. Salah satu strategi pemilik budak memacu kinerja para budak agar bekerja serius adalah menyiapkan sup daging babi di dalam gentong. Pemilik budak lalu mengumumkan, budak yang bekerja paling giat dan cepat dipersilakan mengambil daging tersebut. Cara seperti ini kemudian direproduksi dalam dunia politik. Asumsi yang muncul dari cerita “gentong babi” ini adalah bahwa masalah ekonomi dan perut lapar tak bisa diajak berkompromi.

Politik gentong babi dijalankan dengan menggunakan sumber daya negara melalui program-program populis yang sengaja diimplementasikan pada periode elektoral dengan tujuan merebut suara dan dukungan pemilih. Aktor yang menerapkan program bansos tentunya penguasa, inkumben. Kelompok yang menjadi target sasaran program ini bisa pemilih pendukung atau bahkan pemilih yang condong ke oposisi.

Pemberian bantuan dapat dilakukan sebelum pemilihan atau mendekati masa pemilihan. Dalam politik gentong babi terjadi pertukaran barang dan jasa. Aktor pejabat mengalokasikan sumber-sumber anggaran melalui berbagai program bantuan. Sedangkan masyarakat yang merasa terbantu membalas “kebaikan” inkumben dengan cara memilihnya kembali. Inkumben mendapat keuntungan elektoral; masyarakat memperoleh bantuan.

Alokasi Anggaran Perlindungan Sosial Bertambah
Pada 2023-2024 merupakan masa persiapan Pemilu 2024. Para kandidat pemilihan legislatif ataupun calon presiden dan wakilnya mulai berkampanye pada pengujung 2023. Pada saat bersamaan, pemerintah juga sibuk menyalurkan bantuan sosial.

Alokasi anggaran perlindungan sosial untuk 2024 mencapai Rp 496,8 triliun. Alokasi anggaran 2024 lebih tinggi dibanding pada 2023 yang sebesar Rp 433 triliun. Bahkan, dibanding pada masa pandemi, alokasi anggaran perlindungan sosial 2024 tetap tertinggi. Pada 2021 anggaran perlindungan sosial terbatas Rp 468,2 triliun dan pada 2022 turun menjadi Rp 460,6 triliun. Tanpa adanya urgensi seperti pada masa pandemi, sepertinya penyaluran bantuan sosial menjelang Pemilu 2024 bisa dikatakan jorjoran.

Seorang pedagang menunjukkan amplop bantuan kemasyarakatan Presiden Joko Widodo berupa modal usaha sebesar Rp 1,2 juta, di Pasar Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Maret 2023. TEMPO/Prima mulia

Gurnadi menengarai kenaikan anggaran program perlindungan sosial tersebut berpotensi dimanfaatkan untuk meningkatkan elektabilitas calon presiden dan wakil presiden yang dekat dengan kekuasaan.

Menurut Gurnadi, merujuk pada data resmi, pemerintah tidak perlu meningkatkan anggaran perlindungan sosial. Berdasarkan angka tingkat kemiskinan pada 2022 dan 2023, dia melanjutkan, tingkat kemiskinan menurun ke level digit tunggal, yang masing-masing menjadi 9,54 persen dan 9,36 persen.

Pasca-masa pandemi, dia melanjutkan, perekonomian juga mulai membaik. Kondisi ketenagakerjaan nasional yang dibarengi pula dengan perbaikan infrastruktur dan layanan dasar di level daerah terus membaik. Perbaikan itu pun berdampak positif terhadap semakin membaiknya kondisi ketimpangan yang terlihat dari Rasio Gini yang menurun pada 2021 menjadi sebesar 0,381 dan stabil pada 2022. Apalagi pemerintah mengklaim program mereka sudah on the track sesuai dengan target,” ujarnya. Jadi alokasi anggaran perlindungan sosial tidak perlu ditingkatkan.”

Gurnadi menilai program yang penting untuk ditingkatkan adalah pemberdayaan masyarakat berupa bantuan modal untuk usaha mikro dan kecil serta alokasi yang mendorong terbukanya lapangan pekerjaan. “Bantuan sosial kan sifatnya jangka pendek,” ujarnya. “Hal yang kita harapkan adalah program jangka panjang dan bisa menjawab permasalahan di masyarakat.”

Menurut dia, peningkatan anggaran perlindungan sosial perlu dikawal dan diawasi. Sebab, lonjakan anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan berpotensi menimbulkan masalah. Salah satunya, kerawanan alokasi anggaran tersebut dikorupsi sehingga penerima manfaat tidak mendapat bantuan dengan alokasi yang sebenarnya.

Dalam kesempatan terpisah, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayoga mengatakan praktik politik gentong babi memang marak menjelang pemilu dengan tujuan menarik pemilih. Praktik yang kerap terlihat adalah pemberian barang atau bantuan sosial yang meningkat dari pemerintah. “Masalahnya, penindakan terhadap politik gentong babi berupa pemberian bansos sulit dilakukan,” ujarnya. Sebab, kata dia, pemberian dana bansos itu tidak disertai dengan ajakan secara eksplisit yang bisa dikategorikan sebagai bagian dari kampanye.

Meski begitu, Egi mengatakan, penggunaan anggaran publik untuk taktik pemenangan calon inkumben atau yang didukung kekuasaan sangat berbahaya. Sebab, mereka melegalkan pemanfaatan dana publik hanya untuk kepentingan elektoral pemenangan pemilu. Dana publik yang seharusnya bisa untuk pemberdayaan dan pembangunan menjadi hilang karena praktik tersebut,” ujarnya.

Publik Dibuat Bias terhadap Posisi Kandidat
Dosen hukum kepemiluan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan politik gentong babi bisa berbentuk program bantuan jangka pendek yang berdampak langsung pada kehidupan pemilih. Misalnya, penyaluran bansos, bantuan langsung tunai, hibah, ataupun program infrastruktur. Pelaksanaan program tersebut didekatkan waktu pelaksanaannya dengan hari pemungutan suara.

Program-program tersebut kemudian diklaim sebagai program individu dari politikus atau kandidat peserta pemilu. “Tentu saja hal itu sangat berbahaya karena rentan memanipulasi kebenaran dan tidak menyampaikan informasi secara utuh,” ujar Titi.

Politik gentong babi, Titi melanjutkan, sudah lama berlangsung di Indonesia, terutama inkumben yang berkompetisi kembali atau kerabat inkumben maju dalam pemilu dan pilkada. Publik dibuat bias oleh posisi kandidat sebagai pejabat publik atau kontestan pemilu. Penyimpanan program negara disamarkan sehingga publik jadi sulit membedakan. Tentu ini merugikan peserta pemilu yang tidak punya akses,” katanya.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion Dedi Kurnia Syah mengatakan praktik politik gentong babi seakan-akan membuat pemerintah atau penguasa sebagai pihak yang paling bisa mensejahterakan masyarakat. Padahal materi yang mereka gunakan untuk mensejahterakan itu bersumber dari dana publik,” ujarnya.

Praktik semacam itu, Dedi melanjutkan, berisiko terhadap demokrasi elektoral bangsa Indonesia. Praktik ini semakin subur karena masyarakat dipupuk untuk berharap dari bantuan jangka pendek itu. “Tujuan politik gentong babi hanya untuk menarik sebanyak-banyaknya masyarakat kelas menengah bawah yang minim literasi dan tidak mempunyai orientasi ke depan untuk pembangunan yang lebih baik,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, juru bicara Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Cyril Raoul Hakim, mengatakan pemerintah memang bisa menciptakan pemanfaatan anggaran negara untuk kepentingan elektoral, seperti program bantuan sosial. “Bansos memang masih dibutuhkan. Tapi harus terarah dan tidak disalahgunakan,” ujarnya. Karena itu, dia melanjutkan, semua pihak perlu mengawasi penggunaan anggaran dan pendistribusian bantuannya.

Cyril menduga pemanfaatan bantuan sosial ditunggangi kepentingan politik elektoral oleh pemerintah. Pemanfaatan itu terlihat dari pernyataan seorang menteri di kabinet Presiden Jokowi, yang menakut-nakuti, jika presiden yang terpilih bukan dari yang mereka dukung, bantuan sosial akan hilang. Cyril mengatakan pejabat negara harus tahu etika. Jangan mengklaim bansos pemberian pemerintah karena itu sebenarnya uang rakyat.”

Adapun juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Andre Rosiade, serta Wakil Sekretaris TKN Prabowo-Gibran, Saleh P. Daulay, belum merespons saat dihubungi Tempo, kemarin. Demikian juga politikus Partai Keadilan Sejahtera Wisnu Wijaya. PKS merupakan salah satu partai pendukung pasangan Anies-Muhaimin.

Sumber: https://koran.tempo.co/read/berita-utama/486532/apa-itu-politik-gentong-babi?utm_source=WhatsApp