Memperingati International Women Day, 8 Maret 2025 oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA)
Hari Perempuan Internasional bukan sekadar perayaan, tetapi juga momen refleksi terhadap kemajuan dan tantangan yang dihadapi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam kebijakan anggaran publik. Tanpa anggaran yang berpihak pada perempuan, kesetaraan gender hanya akan menjadi wacana tanpa perubahan nyata. Momentum ini harus menjadi pengingat bagi seluruh pemangku kepentingan bahwa perjuangan menuju penghapusan kemiskinan pada perempuan dan keadilan gender harus didukung oleh komitmen anggaran yang konkret, transparan, dan berkeadilan.
Prabowo berjanji untuk memperkuat kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, dan penyandang disabilitas. Namun janji dalam Asta Cita keempat ini masih sekedar aksesoris tanpa komitmen anggaran yang nyata. Saat ini jumlah perempuan Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 9,20 persen pada 2024 (BPS). Ini artinya, masih terdapat 8,71 juta perempuan dan 3,97 juta anak perempuan yang hidup tidak layak (miskin) dan menjadi ‘PR’ besar pemerintah untuk mengatasinya. Dalam 5 tahun terakhir (2021-2025), Anggaran Perlindungan Sosial rata-rata mencapai Rp270 triliun (12%) dari Total Belanja Pemerintah Pusat, namun belum secara signifikan berimplikasi terhadap kemiskinan yang dihadapi perempuan.
Pendataan kemiskinan yang dilakukan pemerintah selama ini masih menyisakan persoalan dan banyak merugikan perempuan – termasuk anak, lansia, dan perempuan penyandang disabilitas. Hal ini disebabkan karena sering terjadinya inclusion dan exclusion error data kemiskinan (perempuan miskin yang seharusnya berhak tapi tidak terdaftar dalam DTKS, tetapi banyak warga yang tidak berhak justru terdaftar dalam DTKS), sehingga banyak program perlindungan sosial dan pengentasan kemiskinan tidak tepat sasaran.
“Perempuan miskin, dengan beragam kerentanannya mengalami dimensi kemiskinan yang lebih luas. Perempuan miskin mengalami insiden kemiskinan paling tinggi, mengalami kemiskinan yang lebih dalam dan buruk, lebih rentan mengalami kemiskinan yang lebih dalam dan buruk, menanggung beban yang lebih berat dalam kemiskinan, menghadapi tantangan lebih banyak untuk keluar dari kemiskinan. Lebih rentan jatuh miskin ketika berperan sebagai kepala keluarga, dan cenderung mewariskan kemiskinan kepada anak-anak mereka ketika menjadi kepala keluarga atau sering disebut kemiskinan lintas generasi” kata Arrum, peneliti FITRA (sebagaimana dikutip dalam penelitan Sylvia Chant, 2006 dan Misbah Hasan, 2022).
Perempuan pesisir dan Perempuan Disabilitas merupakan kelompok yang paling rentan mengalami kemiskinan dan bahkan miskin ekstrim. Situasi ini disebabkan belum terbukanya ruang partisipasi penuh pada perempuan pesisir. Berbagai persoalan dasar seperti air bersih, sanitasi dan lingkungan di pesisir tidak menjadi focus pemerintah. Program Strategis Nasional (PSN) selama ini masih berfokus pada pembangunan infrastruktur yang mendukung ekonomi dan industry. Pembangungan infrastruktur untuk pemenuhan hak dasar atas air bersih, sanitasi dan lingkungan pesisir belum mendapat perhatian yang cukup. Sementara program-program pemenuhan hak Perempuan Disabilitas dalam berbagai K/L belum dijalankan sebagai formalitas belaka tanpa komitmen anggaran yang kuat.
Kondisi ini terlihat dari semakin menurunnya Anggaran Responsif Gender (ARG) Pemerintahan Prabowo. Berdasarkan data Direktorat Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Kementerian PPN/BAPPENAS proporsi Anggaran Responsif Gender (ARG) terhadap total belanja Kementerian/Lembaga (K/L) tahun 2025 mengalami penurunan yang sangat drastis. Tahun 2021 total ARG sebesar Rp55,46 Triliun (5,4%) dari APBN. Mengalami kenaikan pada tahun 2022 menjadi Rp 63,61 Triliun (6,7%). Tahun 2023 mengalami kenaikan menjadi Rp70,02 Triliun (7%). Terjadi penurunan yang cukup besar pada tahun 2024 menjadi Rp43,25 Triliun (4%). Pada Pemerintahan Prabowo kembali mengalami penurunan yang cukup drastis menjasi hanya sebesar Rp26,3 T riliun (2,7%) dari total APBN 2025. Jumlah K/L yang tagging ARG juga menurun hanya 31 K/L. Hal ini tentu berdampak pada kepastian program yang menyasar perempuan, terutama program pada perempuan miskin.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) dan Komnas Perempuan (Komnas HAM) mengalami pemangkasan anggaran yang sangat besar. Pemangkasan ini mengakibatkan kedua lembaga ini tidak dapat melaksanakan fungsinya sesuai kewenangannya. Kemen-PPPA mengalami pemangkasan hingga 53% dari pagu Rp300,6 milyar menjadi Rp 160,69 milyar. Sementara anggaran Komnas Perempuan dipangkas hingga 47% dari pagu Rp160,5 milyar. Tersisa hanya Rp74,2 milyar. Pemangkasan anggaran ini jelas menunjukkan Prabowo tidak berkomitmen untuk mewujudkan janjinya dalam Asta Cita Keempat. Tanpa komitmen anggaran janji untuk memperkuat kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, dan penyandang disabilitas hanya aksesoris belaka. Perempuan Indonesia patut untuk menggugat janji ini. Mengambil tema Peringatan Hari Perempuan Internasinal 2025 mari Kita wujudkan “Akselerasi Aksi”, dan ” Untuk SEMUA Perempuan dan Anak Perempuan: Hak, Kesetaraan, Pemberdayaan”.
Untuk itu, Seknas FITRA merekomendasikan:
Presiden dan Wakil Presiden harus membagi kerja yang lebih akurat dan jelas dalam menangani persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan di Indonesia, antara lain: kemiskinan, diskriminasi, ketidakadilan, stigma, dan kekerasan.
Pemerintah pusat, daerah, maupun desa harus membuka ruang-ruang partisipasi bagi perempuan marginal untuk terlibat dalam setiap pengambilan kebijakan dan penganggaran.
Kementerian Sosial bekerja sama dengan Kementerian PPPA, Tim Percepatan Penurunan Kemiskinan perlu serius memperluas cakupan program perlindungan sosial, terutama difokuskan bagi perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan dan rentan miskin – termasuk Perempuan Kepala Rumah Tangga, Perempuan Lansia, Anak Perempuan, dan Perempuan dengan Disabilitas.
Pemerintah pusat dan daerah harus memastikan jalannya program perlindungan sosial semakin transparan, akuntabel, dan kredibel sehingga tepat sasaran (dapat dirasakan manfaatnya oleh perempuan miskin dan kelompok rentan). Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengembalikan besaran anggaran bagi Kemen-PPPA dan Komnas Perempuan (Komnas HAM) sebagaimana pagu awal 2025 atau justru ditambah. Termasuk menekankan pentingnya tagging ARG bagi pemerintah demi memastikan ketercapaian program yang responsif gender.