Sedikitnya empat orang meninggal di Kabupaten Lanny Jaya, Papua karena kelaparan. Hal itu karena dalam satu bulan terakhir warga di dua kabupaten mengalami gagal panen karena kekeringan.
Peneliti pertanian yang juga pengajar di Universitas Papua, Mulyadi kepada wartawan BBC News Indonesia mengatakan terganggunya ketahanan alam di Papua disebabkan faktor manusia, bukan iklim. “Warga Papua itu kan mayoritas petani dan peladang yang tinggal di pegunungan selama ribuan tahun, jadi kalau mereka kelaparan itu aneh, berhadapan dengan iklim yang berubah-ubah begitu sudah biasa,” kata Mulyadi.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Papua, Wiliam Manderi mengatakan timnya kini tengah berada di lokasi untuk mengecek kepastian di lapangan seperti apa. “Baik itu kerusakannya maupun kerugiannya, lalu kebutuhan apa yang harus dipantau dan ditanggulangi,” kata Wiliam.
Menurutnya, lokasi kejadian cukup sulit untuk dicapai, dua jam terbang dengan pesawat dari Jayapura, disambung kurang lebih dua jam berjalan kaki. Dari laporan sementara diketahui sedikitnya empat orang meninggal dunia, sementara sekitar 500 orang kelaparan.
Organisasi pemerhati lingkungan hidup, Walhi mencatat gagal panen warga dipicu peristiwa embun beku di dataran tinggi Lanny Jaya. Sedangkan, masyarakat sangat bergantung pada hasil kebun mereka. “Di sana satu-satunya sumber makanan mereka adalah dari hasil berkebun,” kata Direktur Eksekutif Walhi Papua, Maikel Primus Peuki.
Menanggapi bencana kelaparan tersebut, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi mengatakan negara dari satu rezim ke rezim berikutnya telah mengabaikan pembangunan pertanian sesuai dengan kearifan lokal guna mencapai kemandirian pangan. “Kalau sekarang masih ada yang mati kelaparan, tidak masuk akal apalagi sudah hampir 77 tahun merdeka. Kelaparan itu bukan mendadak,” kata Badiul.
Sementara di wilayah perkotaan, bank-bank jor-joran menyalurkan kredit properti sampai ribuan triliun rupiah. Dengan kredit macet yang belum pernah dibuka dan terus di jadwal ulang (plafondering) itu menunjukkan kalau sistem keuangan negara dan perbankan mengabaikan pembangunan rakyat.
“Kalau hal paling utama yakni mengisi perut saja tidak benar, apalagi pendidikan, perumahan, dan kesehatan. Keluhan di Papua itu hanya di satu tempat. Bisa jadi jumlahnya lebih banyak sebenarnya yang kelaparan. Sementara yang di Jakarta pesta pora, rakyat di daerah diabaikan,” katanya.
Pemerintah jelasnya tidak bisa melepas tanggung jawab dengan berdalih kalau hal itu sudah menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah (Pemda) karena otonomi daerah.
“Kalau tidak peduli terus rakyat mati kelaparan itu bukan karena otonomi, tapi itu sama saja menganggap daerah yang terkena bencana sebagai negara lain, bukan NKRI. Walaupun otonomi, kalau terancam kelaparan seharusnya diperhatikan. Rakyat mati kelaparan itu bukan mendadak. Perlu 10 sampai 14 hari bagi manusia untuk mati kelaparan dan perlu tujuh hari untuk bisa tahu cukup tidaknya makanan,” katanya.
Dia pun menyangsikan angka kemiskinan, jangan-jangan angka sebenarnya bisa 100 juta penduduk.
Hentikan Pembayaran Bunga Obligasi Rekap
Badiul pun meminta Pemerintah agar cepat merespons masalah kelaparan di Papua sehingga tidak meluas dan makin banyak korban jiwa. Dan penyelenggara negara harus menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap sebesar 400 triliun rupiah per tahun hingga tahun 2043 dan mempercepat penagihan piutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia untuk memperkuat pembiayaan melalui APBN.
Pemerintah jelasnya perlu melakukan terobosan pengelolaan APBN untuk membiayai program pengentasan kemiskinan dan kelaparan agar kasus di pegunungan Papua tidak terjadi. Misalnya dengan mempercepat penagihan piutang BLBI, kemudian dialokasikan untuk mengatasi persoalan kelaparan.
Daerah-daerah khusus seperti wilayah pegunungan Papua, perlu diperkuat pembiayaan penyediaan pangan, setidaknya untuk penanganan jangka pendek.
Kuncinya, pemerintah harus merespons kasus kelaparan masyarakat agar tidak ada korban meninggal lagi. Selain dari sisi anggaran Pemerintah juga bisa memperkuat pengembangan pangan lokal sebagai alternatif memenuhi ketersedian pangan masyarakat misalnya sagu, sorgum, mocaf, dan lain sebagainya.
“Pemerintah perlu memastikan ketersedian lahan pertanian/kebun rakyat, misalnya dengan memberikan perlindungan tanah ulayat di Papua yang selama ini dikelola untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat,” kata Badiul.
Diminta pada kesempatan berbeda, Pengamat Kebijakan Publik Narasi Institut, Achmad Nur Hidayat, mengatakan kekeringan di Distrik Kwiyawage, Lanny Jaya, Provinsi Papua adalah sebuah ironi. Sebagai negara berasas Pancasila, Pemerintah belum melaksanakan sila kelima yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan sosial atau pemerataan kehidupan itu berada di tangan pemerintah. “Masa orang kaya disubsidi lewat bunga obligasi rekap sementara orang miskin dibiarkan mati.
Bereskan BLBI
Lihat penerima BLBI sekarang lebih kaya dibanding saat banknya kolaps dulu,” katanya. Hal itu karena utangnya ditanggung rakyat sementara kekayaannya dibawa ke luar negeri.
“Masa piutang perampok BLBI tidak ditagih tapi rakyat dipajaki terus. Imbas kerusakannya ini sangat mengakar dan mendalam,” katanya.
Kalau BLBI tidak dibereskan, maka akan menjadi momok pemerintahan Jokowi yang tersisa dua tahun lagi. “Satgas BLBI gimana, orang punya utang tidak ditagih tapi dibilang lunas. Jangan mengira rakyat mati kelaparan hanya berita sementara terus akan hilang. Ini peringatan bahwa ini kebusukan sistem yang tidak adil,” katanya.
Selain obligasi rekap dan BLBI, ratusan triliun rupiah tiap tahun yang seharusnya bisa untuk membangun rakyat miskin, hanya digunakan untuk menutup perbankan. Mereka pesta pora untuk membiayai ratusan mal, harga properti jadi bubble dan kredit properti yang tidak produktif. Di sisi lain impor pangan terus berjalan sehingga mematikan sekror riil. “Ini masalah bertahun-tahun,” katanya.
Sumber: https://koran-jakarta.com/rakyat-sampai-mati-kelaparan-bukan-mendadak-terjadi?page=all