Jakarta, 03 Oktober 2022 – Lonjakan inflasi yang memuncak pada September ini, bukan hanya dipicu kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), tetapi juga karena akumulasi kebijakan di masa lalu mulai awal reformasi setelah krisis moneter 1998 dan pada masa pandemi Covid-19.
Kebijakan membiarkan obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (OR BLBI) tetap melekat di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang secara bunga berbunga harus dibayar 400 triliun rupiah per tahun memaksa Pemerintah harus menarik utang yang tidak produktif. Sebab, utang yang ditarik untuk membayar bunga utang ke para konglomerat.
Utang yang tidak produktif untuk membayar bunga OR BLBI itulah yang memiskinkan 270 juta rakyat Indonesia.
Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi di Jakarta, Senin (3/10) mengatakan persoalan subsidi oleh negara kepada para konglomerat penerima BLBI seharusnya dihentikan. Hal itu agar negara fokus membiayai berbagai program penguatan perekonomian rakyat.
“Jangan lagi kita membayar bunga dengan utang baru, sampai berapa lama kita bisa lakukan. Indonesia sekarang dipaksa hanya bisa keluarkan green bond sehingga 6 GW batubara nganggur,”
Badiul Hadi, Manager Data dan Riset Seknas FITRA
Selain kesalahan dari krisis moneter lalu, selama era reformasi juga Pemerintah sangat bergantung pada impor, terutama pangan dan energi. Dua komoditas ini, sekarang harganya di pasar global melonjak tajam.
Kebergantungan Indonesia pada berbagai impor pangan yang rata-rata nilainya mencapai 15 miliar dollar AS per tahun dan energi terutama bahan bakar fosil menyebabkan inflasi yang kini mengancam perekonomian nasional.
“Pemerintah harus berhenti mengambil jalan pintas memenuhi kebutuhan pangan melalui impor, sementara potensi pangan dalam negeri belum dioptimalkan,”
Badiul Hadi, Manager Data dan Riset Seknas FITRA
Pemerintah katanya harus memikirkan pembangunan pangan yang bekelanjutan dengan pemberdayaan petani dan optimalisasi pangan lokal.
Kedaulatan Pangan
Peneliti dari Mubyarto Institut, Awan Santosa mengatakan, impor sebagai solusi instan yang terus dilakukan itu tidak sejalan dengan upaya mewujudkan kedaulatan pangan. “Upaya mengatasi kemiskinan salah satu diantaranya adalah melalui implementasi agenda kedaulatan pangan dengan peningkatan kapasitas produksi pangan lokal dan pengaturan tata niaga pangan yang adil dan demokratis,” kata Awan.
Dia juga menyorot penggunaan utang secara tidak produktif, termasuk yang digunakan untuk kredit properti karena tidak bersentuhan dengan kehidupan riil masyarakat. Utang yang tidak ptoduktif itu mengakibatkan rupiah merosot, sehingga Pemerintah dan Bank Indonesia mencetak duit untuk menutupi defisit anggaran.
Lebih lanjut Badiul mengatakan inflasi yang naik tinggi karena kebergantungan pada impor.
“Inflasi salah kita, kredit 1000 triliun rupiah malah disalurkan ke properti, padahal Indonesia masih masuk kategori 100 negara miskin,”
Badiul Hadi, Manager Data dan Riset Seknas FITRA
Sementara itu, pemerintah baru akan alokasikan kredit untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebesar ratusan triliun rupiah.
“Kenapa baru sekarang? Kalau untuk properti gampang, sebaliknya kalau ke UMKM susah sekali, itu pun belum tentu benar dicairkan,”
Badiul Hadi, Manager Data dan Riset Seknas FITRA
Jadi utang tidak ptoduktif, karena selain bayar bunga utang OR BLBI, juga untuk beli barang impor, bukan untuk pembangunan, apalagi buat takyat. Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang disalurkan sebagai kompensasi dan untuk menjaga daya beli, tidak bisa menutupi kemiskinan, karena hanya seperti plester, hanya menutup luka sementara, tidak bisa bertahan lama.
Sementara itu, Peneliti dari Asosiasi Ekonomi dan Politik (AEPI), Salamuddin Daeng mengatakan akibat dari kebijakan yang kurang berpihak pada rakyat itu, maka sektor pertanian mati karena tidak bisa bersaing dengan barang impor. Seiring dengan itu, produksi pangan dunia merosot karena perang dan perubahan iklim. Sedangkan populasi dunia terus meningkat, sehingga banyak negara membatasi ekspor pangan karena memprioritaskan rakyatnya sendiri.
“Jadi kita punya uang sekalipun tidak akan mampu membeli pangan, apalagi tidak punya duit. Industri kita mati, di sektor industri dasar maupun industri nilai tambah, karena high cost economy ditambah lagi dengan pemerasan dan pungli. Dari atas sampai bawah dan seluruh sektor. Biaya produksi mahal, biaya usaha risiko tinggi karena tidak ada kepastian hukum, industri kita tidak efisien seperti Korea Selatan, Vietnam dan Australia,” kata Salamuddin.
Kebergantungan barang impor pun semakin besar mulai dari barang dasar dan konsumsi, mulai dari peniti, cangkul, handuk apalagi motor dan mobil. “Industri dalam negeri sangat tidak kompetitif dan akhirnya mati sehingga lapangan kerja berkurang,” kata Salamuddin.
Jangan Dipolitisir
Dalam upaya mengurai permasalahan mendasar tersebut, kerapkali beberapa pengamat menyalahkan pembangunan infrastruktur dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang digagas Presiden Jokowi. Mereka menilai infrastruktur dan IKN belum mendesak dan menghabiskan banyak anggaran.
Pandangan tersebut jelas keliru, karena negara mana pun tidak akan bisa membangun ekonominya tanpa ditopang infrastruktur yang memadai. Mereka juga dinilai tidak sadar kalau Nusantara itu bukan hanya Pulau Jawa saja. Pembangunan infrastruktur harus dipeluas dan masif ke pulau-pulau di luar Jawa.
“Siapa yang tidak suka IKN dibangun? Jawabnya, ya semua developer property, semua kreditur bank yang tersangkut di sektor itu, dan semua yang terkait bubble property. Mereka semua tidak suka, karena kalau bangun di luar Pulau Jawa harganya lebih murah. Kalau bangun properti di Jawa apalagi Jabodetabek yang sudah padat, otomatis harganya melambung tinggi,”
Badiul Hadi, Manager Data dan Riset Seknas FITRA
Pembangunan infrastruktur, IKN, dan kereta cepat tambah Badiul sebaiknya jangan dipolitisir untuk kepentingan kelompok tertentu yang menikmati keuntungan. Masa depan Indonesia harus dibangun dan ditata dengan baik melalui perencanaan yang komprehensif dengan menggunakan teknologi dan pendekatan yang manusiawi.
“Sebelum melangkah jauh, ada tiga hal mendasar yang harus dibenahi agar pendapatan meningkat, sehingga cukup anggaran untuk membiayai pembangunan dan menyejahterakan rakyat agar tidak terus berkubang dalam kemiskinan,”
Badiul Hadi, Manager Data dan Riset Seknas FITRA
Sumber: https://koran-jakarta.com/utang-tidak-produktif-blbi-miskinkan-270-juta-rakyat?page=all