Skip to main content

Jakarta, 10 Oktober 2020

Foto : ANTARA/APRILLIO AKBAR
MORATORIUM PEMBAYARAN UTANG I Deretan permukiman semi permanen penduduk miskin dengan latar belakang gedung bertingkat di kawasan Kuningan, Jakarta. Akibat pandemi Covid-19, Indonesia dipastikan memasuki resesi ekonomi. Pemerintah tidak perlu sungkan untuk minta keringanan kepada kreditor berupa pemotongan utang.

Seruan Bank Du­nia akan adanya potensi krisis baru akibat pandemi Covid-19 harus diwaspadai dan dijadi­kan sebagai bahan evaluasi da­lam mengelola keuangan nega­ra. Sebab, dari seruan tersebut, setidaknya ciri-ciri negara yang ekonominya mulai memasuki spiral pertumbuhan ekonomi lemah mirip dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini.

Tiga poin penting yang di­sampaikan Presiden Bank Du­nia, David Malpass, itu terlihat pada defisit anggaran yang be­sar, pembayaran utang membe­bani keuangan negara, serta me­lonjaknya kredit macet di bank.

Perekonomian nasional In­donesia sendiri, defisit angga­rannya sangat besar yaitu diper­kirakan mencapai 1.039,2 triliun atau 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sedang­kan pembayaran bunga utang tahun ini diproyeksikan sebe­sar 338,8 triliun rupiah. Begitu juga ratusan triliun kredit yang berpotensi macet, namun dire­laksasi melalui restrukturisasi. Sementara total utang pemerin­tah per Agustus 2020 mencapai 5.594,9 triliun rupiah.

Menyikapi perkiraan ketidak­pastian ekonomi yang mening­kat itu, Bank Dunia mengimbau negara kreditor untuk memberi­kan keringanan pembayaran utang termasuk kemungkinan membatalkan utang atau mora­torium kepada negara penerima pinjaman.

“Kita harus mengurangi ting­kat utang, bisa melalui keringan­an atau pembatalan utang,” kata Malpass kepada harian bisnis Handelsblatt dalam sebuah wa­wancara.

Selain Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) melalui Dewan Eksekutif pada 2 Oktober lalu kembali menye­tujui penangguhan pembayar­an utang 28 negara anggotanya untuk enam bulan kedua mela­lui skema yang dikenal dengan Catastrophe Containment and Relief Trust (CCRT).

Persetujuan tersebut meng­ikuti tahap enam bulan per­tama terhitung sejak 14 April hingga 13 Oktober 2020 yang disetujui pada 13 April 2020, dan memungkinkan pencairan dana hibah dari CCRT untuk pembayaran pelunasan utang yang memenuhi syarat yang jatuh tempo kepada IMF dari 14 Oktober 2020 hingga 13 Ap­ril 2021. Dananya diperkirakan mencapai sebesar SDR 161 juta atau sekitar 227 juta dollar AS.

Dengan tunduk pada keter­sediaan sumber daya yang cu­kup di CCRT, keringanan pem­bayaran utang dapat diberikan untuk periode total dua tahun, hingga 13 April 2022 yang diper­kirakan mencapai hampir SDR 680 juta atau 959 juta dollar AS.

Bantuan pada pembayar­an utang akan membebaskan negara-negara anggota IMF dari langkanya sumber daya keuangan untuk membiayai upaya medis memerangi dam­pak pandemi Covid-19.

Dalam persetujuan tahap pertama, Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, me­luncurkan upaya penggalang­an dana yang mendesak agar CCRT bisa memberikan keringanan pembayaran utang hingga maksimal dua tahun.

“Ini akan membutuhkan ko­mitmen sekitar SDR satu miliar atau sekitar 1,4 miliar dollar AS,” kata Georgieva.

Sejauh ini, donatur telah memberikan kontribusi hibah dengan total sekitar SDR 360 juta, termasuk dari Inggris, Je­pang, Jerman, Belanda, Swiss, Norwegia, Tiongkok, Meksiko, Swedia, Bulgaria, Luksemburg, dan Malta.

Paling Rentan

Para Direktur Eksekutif lem­baga tersebut mengatakan CCRT telah memberikan keri­nganan utang atas kewajiban kepada IMF yang jatuh tempo selama 14 April hingga 13 Okto­ber 2020 untuk membantu anggota termiskin dan paling rentan mengatasi pandemi dan akibatnya.

Para direktur sependapat bahwa keringanan utang membantu negara penerima memberikan kesehatan darurat, dukungan sosial dan ekonomi untuk mengurangi dampak pandemi pada kehidupan dan mata pencaharian.

Dengan melihat ketersedia­an sumber daya yang ada maka para direktur eksekutif menye­tujui bantuan hibah kepada 28 negara anggota yang meme­nuhi syarat dengan pembayar­an utang yang jatuh tempo se­lama 14 Oktober 2020 hingga 3 April 2021.

Adapun negara-negara yang mendapat keringanan itu, an­tara lain Afghanistan, Benin, Burkina Faso, Central African Republic, Chad, Comoros, Con­go DR, The Gambia, Guinea, Guinea-Bissau, Haiti, Liberia, Madagaskar, Malawi, Mali, Mo­zambik, Nepal, Nigeria, Rwan­da, São Tomé and Príncipe, Sierra Leone, Solomon Islands, Tajikistan, Togo, dan Yaman.

Menanggapi seruan Bank Dunia dan IMF itu, Manajer Ri­set Seknas Fitra, Badiul Hadi, kepada Koran Jakarta, Selasa (6/10), mengatakan pemerintah RI harus berupaya memulihkan ekonomi dengan mendorong moratorium utang yang mem­bebani keuangan negara.

“Seruan Bank Dunia harus jadi momentum meringankan keuangan dengan mengajukan pemotongan utang karena In­donesia akan segera memasuki resesi ekonomi, jangan sungkan untuk mengajukan,” kata Badiul.

Moratorium utang, jelas­nya, lebih tepat ketimbang te­rus menarik pinjaman untuk membiayai defisit APBN yang membengkak. Jika tidak diikuti dengan strategi pengelolaan utang yang tepat, akumulasi utang akan terus membengkak dan berpotensi menjadi jebak­an utang (debt trap).

“Moratorium dan pemotongan utang harus dilakukan agar tidak mengarah ke kondisi yang buruk seperti gagal bayar atau default. Default menyebabkan reputasi negara lebih buruk ke­timbang meminta moratorium,” katanya.

Terlalu Terlena

Dihubungi terpisah, Direk­tur Eksekutif Center Budget­ting Analys, Uchok Sky Khadafi, mengungkapkan saat ini peme­rintah sudah terlena dengan cara mudah yaitu menerbitkan Surat Utang Negara (SUN).

“Mana mau pemerintah minta moratorium, yang ada dibenak mereka, kalau masih bisa terbitkan SUN atau cari utang baru, buat apa minta moratorium, tidak dapat utang baru, masih ada BI untuk bur­den sharing. Sampai kiamat pun mereka tidak akan mau minta moratorium. karena dianggap kertas utang Indonesia masih ada yang mau beli,” ujar Uchok.

Pemerintah, katanya, seha­rusnya tidak berpangku kepada utang, tetapi mencari sumber pembiayaan lain seperti meng­gali piutang negara yang belum tertagih, contohnya Bantuan Li­kuiditas Bank Indonesia (BLBI).

“Piutang pemerintah sebe­narnya masih banyak, tapi abai menagih sehingga banyak yang pura-pura lupa karena piutang-piutang itu punya kekuatan po­litik, sehingga pemerintah tidak bisa menekan. Buku lama yang mencatat piutang BLBI itu se­harusnya dibuka dan ditagih lagi,” tutupnya.

Sumber: http://www.koran-jakarta.com/saatnya-moratorium-dan-minta-pemotongan-utang/

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.