Skip to main content

Jakarta, 17 Februari 2022 –

Di tengah desakan dan tuntutan dunia internasional untuk memacu transisi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT), beberapa pejabat pemerintah dinilai kerap melontarkan besarnya pembiayaan sebagai salah satu tantangan untuk menjalankan program tersebut.

Seiring dengan itu, tawaran dari berbagai lembaga pembiayaan internasional terus mengalir dengan dalih tingkat bunga yang rendah karena berkaitan dengan pembiayaan energi hijau.

Padahal sudah ada komitmen global terutama dari negara-negara maju untuk membantu negara-negara seperti Indonesia yang berniat melakukan program dekarbonisasi termasuk memberhentikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara dan beralih ke energi terbarukan.

Pakar Energi Terbarukan dari Universitas Brawijaya, Malang, Suprapto, yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Rabu (16/2), mengatakan pendanaan transisi ke energi bersih lebih baik difokuskan dengan menagih komitmen global, terutama negara-negara maju agar mereka membiayai program dekarbonisasi.

“Memang lebih baik seperti itu (menagih komitmen global). Seperti yang baru saja diluncurkan program oleh Kementerian (ESDM), untuk memberi insentif kepada bisnis maupun rumah tangga yang mau memasang sel surya atap,” kata Suprapto.

Insentif tersebut diperoleh dari kerja sama dengan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Program Pembangunan atau United Nations for Development Program (UNDP) guna mengejar target bauran energi 23 persen pada 2025.

“Jadi, cara-cara seperti ini ke depan lebih bisa dikembangkan lagi dengan dukungan komitmen negara-negara maju untuk mengakselerasi transisi energi kita,” kata Suprapto.

Dalam kesempatan terpisah, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan transisi ke energi hijau jangan dijadikan alasan seolah-olah Indonesia tidak punya sumber pembiayaan sehingga harus menarik utang baru.

Bila pemerintah mendesain seperti itu karena terus disodori kesempatan oleh berbagai lembaga internasional seperti Bank Dunia untuk berutang maka transisi energi yang tujuannya baik bagi masa depan, justru menimbulkan masalah baru karena disalahgunakan untuk menambah tumpukan utang.

“Energy transition mechanism jangan sampai menjadi ruang baru bagi pemerintah mendapatkan utang baru. Pemerintah Indonesia harus meminta komitmen negara-negara maju untuk mendanai program dekarbonisasi,” tegasnya.

Pemerintah harus mengoptimalkan strategi yang sudah di susun, yaitu carbon price, carbon market, serta carbon tax dan reneweble energy, sehingga program transisi energi berjalan baik dan efektif.

Apalagi, saat ini semakin banyak lembaga internasional yang concern terhadap pengembangan energi hijau. Apabila tidak dimanfaatkan, justru akan merugikan Indonesia. “Momentum itu harus dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan memaksimalkan pendanaan global, bantuan yang bukan utang untuk memperkuat APBN,” kata Badiul.

Selain menggunakan instumen yang telah disusun, pemerintah juga perlu mendorong keterlibatan dunia usaha untuk mempercepat transisi energi dari batu bara ke energi yang bersih.

“Sebab, tanpa peran aktif pelaku usaha, transisi ini juga sulit berjalan. Pemerintah tak bisa berjalan sendiri tanpa dunia usaha,” katanya.

Jadi Contoh

Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menerima sejumlah pimpinan Bank Dunia (World Bank) di Istana Merdeka, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut membahas berbagai agenda, mulai dari pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19, mekanisme transisi energi, Presidensi G20 Indonesia, hingga isu-isu kawasan.

Seperti dikutip dari keterangan Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden, pimpinan Bank Dunia yang hadir dalam pertemuan itu, yakni Managing Director of Operations Bank Dunia Axel Van Trotsenburg, Vice President East Asia and Pasific Region Bank Dunia Manuela V. Ferro, serta Country Director Bank Dunia di Indonesia Satu Kahkonen.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, yang turut mendampingi Presiden, mengatakan dalam pertemuan itu juga membahas bagaimana Indonesia bisa menjadi contoh penerapan transisi energi, komitmen untuk melaksanakan Perjanjian Paris, hingga menurunkan karbon sesuai dengan nationally determined contribution (NDC) Indonesia.

Untuk mencapai ambisi emisi bersih di dunia, Indonesia, kata Menkeu, memerlukan dukungan internasional terutama dalam hal pendanaan dan kerangka kebijakan.

“Presiden Jokowi dalam pertemuan dengan Bank Dunia menekankan komitmen Indonesia sangat kuat, tidak ingin hanya bicara saja,” kata Menkeu.

Sumber: https://koran-jakarta.com/pemerintah-harus-tagih-komitmen-dekarbonisasi?page=all