Skip to main content

Pandemi Covid-19 telah memukul berbagai sektor kehidupan di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Khusus pada sektor kelautan dan perikanan, nelayan kecil menjadi komunitas yang merasakan dampak paling parah. Berdasarkan data BPS, dampak pandemi terasa oleh nelayan dari mulai bulan Februari hingga April.

Hal tersebut terjadi karena harga ikan di sebagian wilayah turun akibat penurunan jumlah konsumsi masyarakat dan penurunan ekspor. Penurunan harga berdampak pada tidak sebandingnya antara pendapatan nelayan dan dana operasional melaut.

Secara kuantitas, masyarakat Indonesia yang bermata pencaharian sebagai nelayan pada tahun 2014-2017 berjumlah diantara 2,7juta menurun menjadi 2,6 juta. Sedangkan pada tahun 2018, terjadi penurunan cukup dratis pada jumlah masyarakat Indonesia yang bermata pencaharian sebagai nelayan, yaitu 2,01 juta.

Dari jumlah tersebut, produksi perikanan Nasional pada tahun 2019 mencapai 7,5 juta dari taget.8,4 juta. Pada tahun 2020, target produksi perikanan tangkap sebanyak 8,02 juta ton. Namun akibat pandemi Covid-19, pemerintah melakukan revisi target menjadi 7,7 juta ton.

Produksi perikanan dari tahun 2014-2019, rata-rata 6 tahun nilai volume produksi perikanan mencapai 169 Triliun per tahunnya. Namun nilai produksi perikanan tersebut tidak sebanding dengan tingkat kesejahteraan nelayan. Dari 2 juta nelayan, 25% nya berpotensi menjadi miskin.

Data tersebut didukung dari hasil Survei Susenas pada tahun 2017, menunjukkan adanya kecenderungan tingkat kemiskinan agregat tertinggi nelayan, dibandingkan rata-rata perdesaan dan sektor pertanian lainnya

Sumbangsih PNBP sektor perikanan dalam kurun waktu 2014-2020 tidak pernah menyentuh angka 1 Triliun. Padahal jika merujuk pada jumlah produksi dengan rata-rata 6 juta ton per tahun dan nilai produksi mencapai 168 Triliun per tahunnya, target PNBP sektor kelautan tidak pernah lebih dari 1% atau tepatnya 0,36% dari total potensi, bahkan realisasinya pun tidak pernah melampaui target yang direncanakan dalam Renja KKP.

Seknas Fitra melihat ada berbagai faktor yang menyebabkan realisasi PNBP sektor keluatan tidak maksimal, seperti:

  1. Dasar penentuan PNBP berdasarkan tonase kapal, jenis kapal, kekuatan mesin dan alat tangkap. Tidak mengacu pada jumlah produksi Ikan. Akibatnya berapapun hasil tangkapan nelayan dalam satu tahun tetap dihitung berdasarakan skala kapal, produktivitas kapal dan HPI. Berbeda dengan skema PNBP di sektor kehutanan, dasar penentuannya berdasarkan jumlah produksi kayu.
  2. Rendahnya target dan realisasi PNBP perikanan tangkap diduga penetapan formula terutama PHP (Pungutan Hasil Perikanan) tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. PHP dikenakan pada saat perusahaan memperoleh atau memperpanjang surat ijin penangkapan ikan (SIPI).