Skip to main content

Koalisi masyarakat sipil mendorong Kepolisian Republik Indonesia menjadikan momentum kasus Inspektur Jenderal Ferdy Sambo untuk mereformasi institusi kepolisian. Paling tidak, Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melakukan bersih-bersih terhadap berbagai persoalan di lingkup internal lembaganya, salah satunya mendorong perwira polisi agar patuh menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

Urusan LHKPN ini menjadi sorotan setelah kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat ajudan Ferdydi rumah dinas Ferdy, Kompleks PolriDuren Tiga, Jakarta Selatan, 8 Juli 2022. FerdySambo ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan berencana terhadap Yosua.

Setelah penetapan tersangka, terungkap bahwa Ferdy Sambo tak patuh melaporkan LHKPN ke KPK. Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri ini baru pertama kali melaporkan LHKPN pada 2021. Laporan itu belum muncul di website LHKPN KPK hingga kini.

Peneliti dari Transparency International Indonesia, Ferdian Yazid, berpendapat bahwa keharusan melaporkan LHKPN bagi perwira polisi sudah tegas diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2017 tentang Penyampaian LHKPN di Lingkungan Kepolisian. “Peraturan tersebut mengatur kewajiban penyampaian LHKPN, misalnya melapor setiap tahun, apalagi jika dia tidak pernah melapor,” kata Ferdian, Jumat, 12 Agustus 2022.

Sesuai dengan Pasal 10 Peraturan Kapolri, perwira polisi yang tidak melaporkan LHKPN dapat dikenai sanksi etik berupa tindakan disiplin atau hukuman disiplin. Tim pengelola LHKPN yang membocorkan informasi tentang harta kekayaan pegawai negeri kepada Polri yang belum dikirim ke KPK juga dikenai sanksi etik dan pelanggaran profesi. Ketentuan sanksi secara teknis diatur dalam peraturan turunan tentang kode etik kepolisian.

Menurut Ferdian Yazid, semestinya kepolisian menindak para perwira polisi yang tak patuh melaporkan LHKPN. Di samping itu, KPK dapat merekomendasikan perwira polisi yang tak patuh menyampaikan harta kekayaan mereka. Pasal 21 ayat 1 Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pendaftaran Pengumuman dan Pemeriksaan LHKPN mengatur peran KPK dalam merekomendasikan pemberian sanksi administratif bagi penyelenggara negara yang tak melaporkan LHKPN.

“KPK dapat memberikan rekomendasi pemberian sanksi administratif kepada atasan langsung atau pimpinan lembaga,” ujar Ferdian.

Menurut catatan Tempo, tidak hanya Ferdy Sambo yang tak patuh menyampaikan LHKPN ke KPK. Hasil pengkajian pengawasan KPK di e-LHKPN pada 2022 menyebutkan tingkat kepatuhan Polri dalam melaporkan LHKPN hanya 47,85 persen dari 2.136 orang yang wajib lapor. Dari data tersebut, terdapat 1.550 orang yang sudah melapor dan 586 orang sama sekali belum menyampaikan LHKPN. Tahun sebelumnya, tingkat kepatuhan kepolisian dalam melaporkan LHKPN mencapai 82,48 persen dari 16.637 orang wajib lapor.

Tempo menelusuri nama-nama perwira tinggi Mabes Polri di website LHKPN KPK. Dari hasil penelusuran Tempo, selain Ferdy Sambo, ada enam perwira menengah dan tinggi yang belum melaporkan LHKPN ke KPK. Mereka rata-rata menduduki posisi penting di kepolisian. Pangkatnya merentang dari komisaris besar hingga jenderal bintang tiga. Tempo berupaya meminta konfirmasi ke sejumlah nama tersebut, tapi pesan yang dikirim ke mereka belum dibalas. Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, juga tak menjawab permintaan konfirmasi mengenai LHKPN tersebut.

Kuasa hukum Ferdy Sambo, Arman Hanis, juga tak merespons permintaan konfirmasi Tempo. Juru bicara KPK bidang pencegahan, Ipi Maryati Kuding, mengatakan Ferdy baru melaporkan LHKPN pada 2021. Tapi dokumen LHKPN Ferdy belum bisa dipublikasi karena ada proses pelengkapan dokumen yang masih harus dipenuhi. “Kami telah menyampaikan hasil verifikasi dan kelengkapan yang harus disampaikan. Setelah diperbaiki dan dinyatakan lengkap secara administratif, akan dipublikasi melalui situs web e-LHKPN dan terbuka untuk umum,” kata Ipi ketika dimintai konfirmasi, kemarin.

Saat dimintai konfirmasi mengenai pejabat kepolisian lainnya yang tak melaporkan LHKPN, Ipi menyarankan agar Tempo mengakses situs web e-lhkpn.kpk.go.id. Ia juga menjelaskan, pada tahun berjalan 2022, jenis pelaporannya khusus, yaitu ketika memulai menjabat atau mengakhiri sebuah jabatan. Sedangkan pelaporan pada 2021 merupakan pelaporan periodik yang wajib disampaikan pada 2022.

Hal tersebutlah yang menyebabkan jumlah wajib lapor dari institusi kepolisian berbeda pada 2021 dan 2022. Pada 2021, wajib lapor mencapai 16.637 orang dan pada 2022 hanya 2.136 orang. “Jadi, kalau bicara kepatuhan, data yang digunakan adalah data 2021,” kata Ipi.

Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Gurnadi Ridwan, berpendapat bahwa ketidakpatuhan petinggi Polri dalam melaporkan LHKPN menjadi indikasi munculnya niat jahat, yaitu diduga ada upaya memperkaya diri dengan cara atau hasil dari kejahatan. “Makanya agak aneh bila ada pejabat kepolisian tidak melaporkan LHKPN tapi memiliki harta banyak, padahal dia juga dilarang berbisnis,” kata dia.

Genurut Gurnadi, semua pejabat negara, khususnya penegak hukum, wajib melaporkan harta kekayaan ke negara. Hal ini merupakan bentuk transparansi dan akuntabilitas kepada masyarakat. Tujuannya untuk menjamin harta dan kekayaan yang mereka peroleh didapat dengan cara sah dan legal, serta untuk menghindari kecurigaan publik.

Kamaruddin Simanjuntak, kuasa hukum keluarga Brigadir Yosua, menduga motif pembunuhan Yosua karena berhubungan dengan urusan uang, khususnya tata kelola narkotik yang ditengarai melibatkan Ferdy Sambo, yang juga Ketua Satuan Tugas Khusus Polri atau dikenal dengan sebutan Satgassus Merah Putih sebelum dibubarkan dua hari lalu. Indikasinya, kata Kamaruddin, Satgassus Merah Putih itu dibubarkan setelah Ferdy Sambo dinyatakan sebagai tersangka pembunuhan Brigadir Yosua.

“Makanya PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) harus terlibat untuk melacak rekening mereka semua,” kata Kamaruddin.

Peneliti dari Public Virtue Research Institute (PVRI), Raafi N. Ardikoesoema, menduga Ferdy Sambo tak patuh menyampaikan LHKPN akibat adanya budaya impunitas di institusi penegak hukum. “Seolah-olah jadi tidak masalah kalau tidak melaporkan LHKPN,” katanya.

Raafi juga mempertanyakan privilese yang didapat Ferdy Sambo ketika menjadi pejabat tinggi kepolisian. Misalnya, fasilitas pengawalan melekat atau aide de camp serta bentuk pengawalan lainnya. “Dalam kasus ini, kita bisa melihat secara terbuka bagaimana ajudan dan kendaraan patroli pengawalan ditugaskan untuk urusan pribadi di luar kepentingan dinas,” kata Raafi. Dia berpendapat, kegiatan pengawalan untuk kepentingan pribadi merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang, yang seolah-olah dianggap lazim.