Skip to main content

Program Komponen Cadangan yang digadang-gadang pemerintah sebagai pendukung kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) disinyalir memicu fraud atau kecurangan dalam penganggaran. Dugaan ini muncul setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah masalah dalam laporan keuangan Kementerian Pertahanan Tahun Anggaran 2021, khususnya yang berhubungan dengan program Komponen Cadangan. Ada penggunaan anggaran ratusan miliar rupiah yang dinilai menyalahi perundang-undangan.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pelanggaran administrasi oleh Kementerian Pertahanan atas pelaksanaan program Komponen Cadangan berpotensi terjadi kecurangan. Itu jelas sangat bisa fraud karena itu pelanggaran hukum, terutama kalau menyangkut keuangan negara, kata Usman, kemarin, 1 November 2022.

Usman mengatakan, dugaan skandal dalam pelaksanaan Komponen Cadangan ini tak hanya dilihat dari pelanggaran administrasi yang ditemukan BPK. Harus ada penelusuran lebih jauh untuk memastikan kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum. Apalagi diketahui bahwa belanja di kementerian sektor pertahanan acapkali erat dengan praktik korupsi. Terutama dalam penganggaran dan belanja alutsista untuk pertahanan negara.

Dalam laporan keuangan Kementerian Pertahanan tahun 2021, BPK menemukan berbagai kegiatan yang menelan anggaran sebesar Rp 531,96 miliar. Sekitar Rp 235,26 miliar di antaranya digunakan untuk pembentukan Komponen Cadangan. Namun penggunaan anggaran itu sepenuhnya tidak didukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021.

Tahun lalu, Kementerian Pertahanan memang melaksanakan pembentukan Komponen Cadangan yang secara keseluruhan menelan biaya sebesar Rp 774,76 miliar. Untuk program itu, Kementerian merekrut sedikitnya 2.500 warga sipil dan membeli sekitar 2.500 senapan serbu. Belanja tersebut masuk dalam rangkaian belanja tiga komponen, yaitu, alat komunikasi dan perlengkapan perorangan lapangan, kendaraan, serta senapan serbu.

Upacara Penetapan Komponen Cadangan TA. 2022 di Lapangan Udara Suparlan, Batujajar, Bandung, Jawa Barat, 8 September 2022. Youtube Kemehan RI

BPK mendapati, semestinya barang-barang yang sudah didatangkan tersebut telah tercatat sebagai aset tetap dengan nilai minimal Rp 230,57 miliar. Terutama dalam pengadaan kendaraan dan senapan serbu senilai Rp 582,99 miliar yang semestinya tercatat sebagai aset tetap. Akibatnya, BPK mendapati potensi sengketa dan permasalahan hukum terhadap aset senilai Rp 527,27 miliar yang telah dikuasai oleh Kementerian Pertahanan.

Usman menjelaskan, potensi masalah yang disebut oleh BPK perlu menjadi sorotan. Apalagi kebijakan penganggaran di sektor pertahanan kerap memicu penyimpangan. Hal ini terjadi karena pemerintah tak memiliki garis besar arah pertahanan nasional. Kalau mau sungguh-sungguh membangun strategi pertahanan, termasuk pasukan Komcad, seharusnya ada kebijakan strategis yang dihasilkan dari proses yang benar, kata dia.

Persoalannya, sejak awal Kementerian Pertahanan dinilai tergesa-gesa dalam perencanaan dan pembentukan Komponen Cadangan. Terlebih ketika pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN). Undang-undang ini dijadikan payung hukum pembentukan Komponen Cadangan. Menurut Usman, aturan tersebut dibuat tanpa proses penggodokan kebijakan yang didasarkan pada arah strategis pertahanan negara.

Tidak mengherankan bila pasukan Komponen Cadangan terkesan prematur karena tak memiliki tujuan arah pertahanan, bahkan tidak didukung oleh APBN pada 2021. Sehingga perencanaan penganggaran terkesan dilakukan secara serampangan. Saya kira, ketika ada maladministrasi, terbuka kemungkinan korupsi itu terjadi, kata Usman. Apalagi sektor pertahanan sangat banyak korupsi yang tak terungkap.

Peneliti Imparsial, Hussein Ahmad, menyebutkan, sejak awal, organisasi masyarakat sipil sudah mengingatkan ihwal potensi masalah yang ditimbulkan akibat pelaksanaan program Komponen Cadangan yang tergesa-gesa. Terutama ketika negara mengalami keterbatasan anggaran. Alih-alih efisiensi anggaran dengan dalih perampingan struktur, adanya Komcad justru membebani anggaran, ucap Hussein.

Menurut dia, pendanaan Komponen Cadangan juga rawan diselewengkan karena sumber pendanaan berasal dari APBN serta anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Bahkan ada pula bantuan anggaran yang merupakan sumbangan dari pihak swasta. Karena alasan tersebut, masyarakat sipil mengajukan gugatan judicial review atas Undang-Undang PSDN ke Mahkamah Konstitusi. Namun belakangan Mahkamah Konstitusi menolak seluruh gugatan mereka.

Dosen ilmu hukum tata negara Universitas Bung Hatta, Helmi Chandra, menyebutkan potensi penyalahgunaan anggaran muncul ketika BPK menemukan ketidakjelasan dalam proses penganggaran. Ketidakjelasan anggaran adalah pintu masuk terjadinya korupsi, ucap Helmi. Potensi korupsi dapat berbentuk penggunaan dana yang tidak sesuai dengan peruntukan, kemudian juga berpotensi mark-up

Persoalan ini disebabkan oleh munculnya UU PSDN yang memberi kewenangan pemerintah melakukan mobilisasi sipil untuk tujuan pertahanan negara. Menurut Helmi, kata mobilisasi seolah-olah tindakan pengerahan dan penggunaan serentak sumber daya nasional serta sarana dan prasarana nasional untuk pertahanan. Sehingga pemerintah dapat menganggarkan banyak hal, termasuk pertahanan bela negara, penataan Komponen Pendukung, pembentukan Komponen Cadangan, dan penguatan Komponen Utama.

“Temuan BPK tersebut menunjukkan bahwa penganggaran Komponen Cadangan tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel. Maka berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi,”

Badiul Hadi, Manajer Riset dan Data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)

Hadi meminta BPK jeli dalam menyoroti potensi korupsi dalam penganggaran Komponen Cadangan. Khususnya pada pos utama belanja perekrutan anggota. Salah satu di antaranya adalah ketentuan uang saku anggota Komponen Cadangan sebesar Rp 5,8 juta hingga Rp 10 juta. Itu contoh celah potensi korupsi kalau enggak dilakukan pengawasan dengan baik. Selain itu, pos belanja barang dan jasa sangat penting diawasi.

Tempo berupaya meminta konfirmasi kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sejak pekan lalu, tapi belum mendapatkan tanggapan. Surat yang dikirim kepada sejumlah bawahannya juga belum ditanggapi, termasuk kepada Kepala Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal TNI Taufiq Shobri dan Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan Laksamana Pertama Supo Dwi Diantara.

Adapun Letnan Kolonel Susanto, dari bagian hubungan masyarakat Kementerian Pertahanan, mengatakan bahwa atasannya, Taufiq Shobri, akan menjelaskan tentang penggunaan anggaran Komponen Cadangan tersebut. Dia menjanjikan Tempo untuk mewawancarai Shobri. Namun hingga berita ini ditulis, jawaban itu urung diberikan.

Sumber: https://koran.tempo.co/read/nasional/477703/anggaran-komponen-cadangan-rawan-dikorupsi