Skip to main content

Biang lenyapnya pasal-pasal yang mengatur laporan penerimaan sumbangan dana kampanye LPSDK dalam rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum mulai terkuak. Seorang pejabat di lembaga penyelenggara pemilihan umum mengungkapkan, penghapusan kewajiban peserta pemilu untuk menyusun dan menyampaikan LPDSK tersebut diotaki oleh sejumlah fraksi di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat. “Diusulkan saat rapat konsinyering di Hotel Ayana, Jakarta,” kata sumber Tempo yang mengikuti pertemuan tersebut, Rabu, 7 Juni 2023.

Dia enggan menyebutkan fraksi di DPR yang dimaksudkan itu. Yang jelas, menurut dia, rapat konsinyering digelar tertutup beberapa hari sebelum KPU menggelar uji publik bersama kementerian dan lembaga, serta sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sipil.

Berbeda dengan rapat konsinyering yang digelar di Hotel Ayana, uji publik digelar KPU di Grand Mercure Harmoni, Jakarta Pusat, pada 27 Mei lalu. Uji publik ini mengundang belasan kementerian dan lembaga, serta sejumlah organisasi non-pemerintah. Salah satu agendanya adalah membahas aturan main baru yang akan menggantikan PKPU Nomor 34 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum.

Draf rancangan peraturan baru yang dilampirkan dalam undangan uji publik tersebut belakangan menuai kontroversi. Pasalnya, laporan dana kampanye disebutkan hanya berupa laporan awal dana kampanye (LADK) dan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK). LPSDK, yang sebelumnya wajib disusun dan diserahkan oleh peserta pemilu, dihapus.

Selama ini, PKPU No. 34/2018 mengatur bahwa setiap peserta pemilu wajib menyusun dan menyampaikan LADK, LPDSK, dan LPPDK. Secara teknis, LADK berisi laporan penerimaan dan pengeluaran dana peserta pemilu sebelum masa kampanye, LPSDK saat kampanye hingga sebelum pemilihan, dan LPPDK setelah pemilihan.

Perwakilan Koalisi Masyarakat Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas memprotes penghapusan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye di Media Center Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, 6 Mei 2023. ANTARA/Tri Meilani Ameliya 

Selasa lalu, 138 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas melayangkan protes kepada KPU. Mereka mendesak penyelenggara pemilu tetap mengatur kewajiban bagi peserta pemilu untuk menyusun dan menyampaikan LPSDK. Pemangkasan aturan tersebut dikhawatirkan menyuburkan korupsi politik selama pemilihan umum lantaran pengelolaan dana kampanye diragukan transparansi dan akuntabilitasnya.

Sumber Tempo mengatakan, dalam rapat konsinyering sebelum uji publik, Komisi II DPR mengusulkan agar LPSDK dihapus dengan alasan instrumen tersebut tak diatur spesifik dalam Undang-Undang Pemilu. “Jadi, menurut mereka, enggak perlu aturan itu dimasukkan (ke PKPU) karena waktu kampanye lebih singkat,” ujarnya.

Belakangan, draf hasil rapat konsinyering itulah yang kemudian disodorkan dalam uji publik. Draf yang sama kemudian kembali dibawa KPU dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, pada 29 Mei lalu. Dalam rapat terakhir inilah KPU secara terbuka menyampaikan alasan penghapusan LPSDKyang tak jauh berbeda dengan suara Dewan pada rapat konsinyering sebelumnya.

Kemarin, 7 Juni 2023, komisioner KPU, Idham Holik, kembali menjelaskan alasan penghapusan LPSDK. Namun dia tak menjawab tegas ketika dimintai konfirmasi ihwal rapat konsinyering di Hotel Ayana. Begitu pula soal penghapusan LPSDK yang ditengarai merupakan desakan dari Komisi II DPR.

Idham hanya mengatakan, dalam membuat aturan teknis, KPU mempunyai prinsip berkepastian hukum. “Prinsip tersebut mengharuskan penyelenggara menjalankan sesuatu yang ada di Undang-Undang Pemilu,” ujarnya.

Adapun Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia dan Wakil Ketua Komisi II Saan Mustofa tidak menjawab permintaan konfirmasi Tempo. Anggota Komisi II, Guspardi Gaus, mengatakan Dewan belum menggali soal penghapusan LPSDK oleh KPU. “Kami masih berfokus ke pembahasan anggaran,” ucapnya.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Idham Holik, di gedung KPU, Jakarta, 1 Agustus 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Bukan Aturan Janggal Pertama yang Dirumuskan di Hotel
KPU sebelumnya juga disudutkan dengan terbitnya PKPU tentang pencalonan anggota legislatif. Regulasi ini dianggap bermasalah karena mengubah metode penghitungan keterwakilan perempuan sebesar 30 persen. Seperti halnya perumusan PKPU tentang dana kampanye yang kini disorot, munculnya pasal janggal dalam PKPU pencalonan anggota legislatif diduga juga merupakan pesanan DPR dalam rapat tertutup di Hotel Ayana pada April lalu.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Mohammad Toha, mengaku sebagai inisiator perubahan itu. Dia berdalih bahwa KPU tidak boleh menggunakan hitungan sendiri dalam merumuskan sistem pembulatan kuota perempuan. “Saya yang mengusulkan dan semua anggota Komisi menyepakati usul tersebut,” ujar Toha kepada Tempo pada Kamis, 25 Mei lalu.

Kini, polemik beralih ke rancangan PKPU tentang dana kampanye. Penghapusan LPSDK dinilai sebagai bentuk kemunduran dalam penyelenggaraan pemilu. “Penghapusan LPSDK oleh KPU telah memperlihatkan niat buruk komisioner untuk merusak integritas pemilu,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana. “Padahal aturan itu dibuat untuk pemenuhan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan jujur.”

Kurnia mempersoalkan dalih KPU bahwa LPSDK tidak diatur dalam Undang-Undang Pemilu. Menurut dia, alasan ini menyesatkan. Sebab, KPU merupakan lembaga independen yang diberi kewenangan membuat aturan sendiri sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang. “Pertanyaan sebaliknya, apakah LPSDK bertentangan dengan undang-undang? Kan tidak,” kata Kurnia.

Uji Publik Aturan Dana Kampanye Dianggap Formalitas
Koalisi Masyarakat Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas menilai KPU tidak serius menjamin partisipasi publik dalam penyusunan rancangan PKPU dana kampanye. Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia yang menjadi anggota Koalisi, Mike Verawati Tangka, mengatakan salah satu indikator ketidakseriusan tersebut adalah penyelenggaraan uji publik pada 27 Mei yang terkesan hanya formalitas.

Mike bercerita, KPU mengirim undangan uji publik pada Jumat malam, 26 Mei lalu, atau sehari sebelum uji publik digelar. Akibatnya, sejumlah perwakilan organisasi non-pemerintah tak dapat menghadiri uji publik tersebut.
Menurut Mike, undangan yang mendadak itu juga menyebabkan publik tak dapat mempelajari secara komprehensif rancangan PKPU yang disiapkan KPU. “Semestinya draf dipublikasikan jauh-jauh hari agar dapat dipelajari,” kata dia. “Agar kami bisa mencermati aturan yang tidak pas bisa diberi masukan.”

Hal senada diutarakan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyanti. Menurut dia, Perludem baru mendapat undangan tersebut pada malam sebelum pelaksanaan uji publik pada pagi hari. “Kalau mepet seperti ini, tentu sulit untuk bisa menghadiri, apalagi undangannya membahas tiga draf PKPU,” ujarnya. “Untuk memberi masukan, kan perlu mempelajarinya lebih dulu seperti apa isinya.”

Persoalan lain malah dihadapi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Manager Advokasi Sekretaris Nasional Fitra, Ervyn Kaffah, mengatakan organisasinya bahkan belum menerima undangan uji publik. Namun, dari undangan yang beredar, nama Fitra tercatat dalam daftar peserta yang diundang.

Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melakukan aksi menolak PKPU 10 pasal 8 ayat 2 di kantor Bawaslu RI, Jakarta, 8 Mei 2023. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Ervyn mengingatkan, aturan LPSDK telah diterapkan sejak Pemilu 2014 hingga 2019. Bahkan penyelenggaraan pilkada juga menerapkan regulasi tersebut. Aturan LPSDK, kata dia, sebenarnya merupakan usulan masyarakat sipil untuk memenuhi substansi pemilu adil, jujur, dan berintegritas. Regulasi tersebut bisa dibuat meski tidak tertuang dalam Undang-Undang Pemilu karena KPU mempunyai independensi dalam menyusun aturan teknis yang sesuai dengan prinsip dan substansi pemilu.

“Penghapusan aturan ini sangat mengherankan. Apakah KPU sekarang sesat paradigma dan logika sehingga berani menghapus aturan itu?” Kami mendesak agar aturan LPSDK ini dikembalikan lagi.”

Ervyn Kaffah, Manager Kampanye dan Advokasi Publik

Komisioner KPU, Idham Holik, mengatakan sumbangan dana kampanye tetap wajib dilaporkan, baik dalam bentuk LADK maupun LPPDK. Sebagai pengganti LPSDK, kata dia, selama masa kampanye, KPU bakal membuat sistem informasi dana pemilu yang sifatnya harian. “Jadi, setiap perseorangan atau perusahaan atau kelompok berbadan hukum yang menyumbang, harus di-input ke Sidakam (Sistem Informasi Dana Kampanye). Nah, nanti itu kami input dalam website Info Pemilu,” ujarnya.

Idham paham akan kekhawatiran banyak kalangan atas dihapusnya LPSDK. Namun dia memastikan tetap berkomitmen mewujudkan transparansi dana kampanye peserta pemilu. “Khawatir boleh, tapi harus tetap rasional,” katanya. “Apa bukti komitmen kami soal transparansi dana kampanye? Kami akan meminta peserta pemilu memperbarui penerimaan sumbangan mereka.”

sumber: https://koran.tempo.co/read/berita-utama/482539/biang-perubahan-aturan-dana-kampanye