Skip to main content

Kasus korupsi beruntun pegawai perpajakan telah meruntuhkan kepercayaan publik. Tertangkap satu, anehnya bisa muncul pula ”seribu” pelaku lainnya.

Praktik korupsi itu mengikis rasa percaya masyarakat. Puncak ketidakpercayaan itu menyusul penangkapan tiga pegawai Kantor Pajak Pratama Palembang, Sumatera Selatan, 6 November 2023. Mereka diduga menerima suap terkait pemenuhan kewajiban pajak di beberapa perusahaan pada 2019-2021.

Warga Palembang, Rudi (47), mengatakan, tak lagi percaya terhadap petugas pajak. Selama ini warga terus dituntut membayar berbagai macam pajak, tetapi para petugasnya malah merampok uang rakyat.

”Kami telah mematuhi semua kewajiban pajak. Tetapi, petugas pajaknya ternyata tidak jera (korupsi). Begitu terus sejak zaman Gayus,” kata Rudi, Kamis (16/11/2023).

Rudi mencontohkan soal pajak penghasilan. Kalau telat bayar, warga akan terkena denda. Bahkan, sudah bayar pajak penghasilan sekalipun, masyarakat masih dituntut untuk melapor.

Warga lain, Habibi (34), menyebut dugaan korupsi di Kantor Pratama Pajak Palembang amat memalukan dan membuat miris warga Palembang. Itu diyakini akan memicu menurunnya kepercayaan warga terhadap semua kewajiban perpajakan mereka.

”Perusahaan-perusahaan yang menyuap petugas untuk mendapat pengurangan pajak seharusnya malu dengan rakyat kecil yang jujur membayar pajak. Tidak tertutup kemungkinan nantinya bakal semakin banyak perusahan nakal seperti itu,” ujar Habibi.

Saat kasus mafia pajak Gayus terkuak pada awal 2010 timbul reaksi keras dari masyarakat dengan mencuatnya ajakan untuk tidak membayar pajak. Reaksi serupa kembali muncul saat kasus Rafael Alun terungkap pada awal tahun ini.

Puncaknya, tiga pegawai KPP Palembang ditangkap atas dugaan suap pemenuhan kewajiban pajak sejumlah perusahaan pada 2019-2021. Tiga tersangka itu adalah RFG dan NWP yang merupakan pegawai negeri sipil (PNS) di KPP Palembang. Selain itu, kasus tersebut juga melibatkan RFH sebagai salah satu pejabat Kantor Pajak Pratama Palembang.

Modus yang mereka lakukan adalah mengurangi nilai pajak yang seharusnya dibayarkan perusahaan-perusahaan bermasalah kepada negara. Atas jasa jahat itu, mereka mengeruk imbalan dari sejumlah perusahaan.

Manajer Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Badiul Hadi mengatakan, munculnya sejumlah kasus korupsi pajak menunjukkan lapuknya sistem pengawasan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Akibat pengawasan yang lemah, korupsi menjalar dari pusat sampai daerah.

Awal 2023 mencuat nama Rafael Alun Trisambodo, bekas pejabat eselon III Ditjen Pajak, yang diduga menerima gratifikasi Rp 16,6 miliar. Ia juga diduga melakukan pencucian uang dalam bentuk berbagai macam aset yang nilainya lebih dari Rp 58 miliar.

”Saat merespons kasus Rafael, Kementerian Keuangan berjanji akan melakukan pencegahan agar kasus serupa tidak terjadi lagi. Namun, faktanya korupsi di lingkungan Ditjen Pajak terjadi lagi dan lagi,”

Badiul Hadi, Manager Pelayanan Dasar dan GEDSI

Selain kasus Rafael, ada pula setumpuk kasus besar lain di Ditjen Pajak yang pernah menarik perhatian publik. Menengok beberapa tahun ke belakang, ada nama-nama seperti Angin Prayitno, Handang Soekarno, dan Gayus Tambunan.

Angin adalah bekas Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak. Dia ditangkap KPK pada medio 2021 karena menerima gratifikasi sebesar Rp 44,1 miliar dari 10 perusahaan dalam kurun 2014-2019.

Adapun Handang adalah bekas Kepala Subdirektorat Bukti Permulaan Ditjen Pajak yang ditangkap KPK pada akhir 2016. Ia menerima imbalan Rp 1,9 miliar dari Direktur PT EK Prima Indonesia untuk menghilangkan tagihan pajak senilai Rp 78,5 miliar.

Mundur lagi ke belakang, pada 2010 publik dikejutkan oleh kasus mafia pajak Gayus. Bekas pegawai negeri sipil di Ditjen Pajak itu punya kekayaan hingga Rp 100 miliar. Padahal, dengan status dia sebagai pegawai golongan IIIA, gajinya hanya Rp 12,1 juta per bulan.

Jika dihitung dengan besaran gaji tersebut, kekayaan Gayus setara dengan gajinya selama 688,7 tahun. Dalam persidangan, dia mengakui, kekayaannya tersebut berasal dari suap dan gratifikasi yang diberikan sejumlah perusahaan.

Sejak mencuatnya skandal pajak yang melibatkan Gayus, Kemenkeu berupaya melakukan sejumlah langkah reformasi birokrasi di lingkungan Ditjen Pajak. Gaji atau remunerasi untuk pegawai dinaikkan untuk mendorong perbaikan kinerja dan mengurangi keinginan untuk melakukan korupsi. Meski demikian, sampai sekarang masih saja ditemukan pegawai pajak yang melakukan korupsi.

Menurut Badiul, korupsi utamanya terjadi karena faktor sistemik. Ia menilai pengawasan di Ditjen Pajak masih lemah. Inspektorat Jenderal Kemenkeu dan KPK seharusnya membangun sistem pengawasan bagi kekayaan pejabat yang terindikasi memiliki kekayaan gemuk.

”Kenaikan gaji pegawai pajak tidak serta-merta menjamin korupsi tidak terjadi lagi. Soal kesejahteraan memang penting, tetapi yang paling penting adalah memastikan petugas dan fungsi pengawasan dijalankan secara efektif,” ujar Badiul.

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sumsel Vanny Yulia Eka Sari mengatakan, pihaknya telah memeriksa dua saksi dengan inisial MA dan BT dari Bank Mandiri terkait dugaan korupsi di Kantor Pajak Pratama Palembang. Sejauh ini, kejaksaan masih melakukan pemeriksaan kepada saksi-saksi terkait untuk pendalaman alat bukti.

”Karena kalau mau tempur ke pengendalian (sebelum berkas para tersangka diserahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang), kami harus menyiapkan senjata yang kuat,” kata Vanny.

Menurut Badiul, penolakan pembayaran pajak perlu dilihat sebagai ungkapan rasa tidak percaya warga kepada Ditjen Pajak. Fenomena itu juga harus dimaknai sebagai kritik terhadap pejabat yang abai kepada rakyat dan menyalahgunakan wewenang dengan melakukan korupsi.

”Gejala distrust masyarakat terhadap Ditjen Pajak harus segera disikapi secara serius oleh Kemenkeu. Jika tidak, masyarakat akan melakukan perlawanan,” ujar Badiul.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/11/15/tikus-tikus-pajak-tertangkap-satu-muncul-seribu