Oleh: Koalisi KUSUKA Nelayan
Koalisi KUSUKA Nelayan dorong pemerintah revisi Perpres 191/2014
Akses terhadap bahan bakar energi untuk nelayan dijamin oleh Undang-undang Nomor 7 tahun 2016, yang mewajibkan pemerintah untuk menyediakan sarana stasiun pengisian bahan bakar, kemudahan memperoleh BBM, termasuk memberikan subsidi. Kebijakan penyediaan BBM bersubsidi kepada nelayan kecill untuk membantu kesejahteraannya memperoleh energi murah untuk melaut, mengingat 60% – 70% biaya melaut dihabiskan untuk pembelian bahan bakar. Berdasarkan data BPS, Nilai Tukar Nelayan (NTN) bulan Mei 2022 sebesar 107.46 naik 0.69 dari bulan. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa nelayan Indonesia masih mampu membiayai pengeluaran rumah tangganya dari usaha sebagai nelayan. Meskipun demikian, nelayan tradisional cenderung berada pada level bawah piramida sosial ekonomi Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. SUSENAS (2017), 90% nelayan merupakan kategori nelayan kecil dengan 11,34% Nelayan hidup dibawa garis kemiskinan. Oleh karena itu, kebijakan BBM bersubsidi untuk nelayan kecil, dapat mengurangi ongkos melaut sebagai komponen input NTN, sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan.
Pada prakteknya, nelayan kecil dan tradisional mengalami kesulitan dalam memperoleh BBM bersubsidi. Hasil survey yang dilakukan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) bersama Koalisi KUSUKA Nelayan yang terdiri dari International Budget Partnership (IBP Indonesia), Perkumpulan Inisiatif, Seknas FITRA dan Kota Kita, pada tahun 2020 dan 2021 di 10 provinsi dan 20 Kab/Kota, menemukan sebanyak 82,8% nelayan kecil tidak memiliki akses terhadap BBM bersubsidi.
Nelayan mengalami diskriminasi akses BBM bersubsidi dengan persyaratan administrasi yang rumit. Menurut Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, sektor transportasi darat yang salah satunya kendaraan roda empat milik perorangan dapat mengakses BBM bersubsidi tanpa persyaratan administrasi. Sementara nelayan kecil diharuskan memperoleh surat rekomendasi sebagai syarat pembelian subsidi BBM. Nelayan kesulitan mengurus surat rekomendasi untuk pembelian BBM bersubsidi. Dimana untuk memperoleh surat rekomendasi, nelayan harus memiliki pas kecil (izin melaut) dan Bukti Pencatatan Kapal (BPKP) yang dikeluarkan oleh pihak pelabuhan. Untuk mengurus persyaratan administrasi tersebut, pemukiman nelayan umumnya memiliki jarak cukup jauh dari pusat layanan publik.
Kalaupun nelayan berhasil memperoleh surat rekomendasi, persoalan lain adalah ketiadaan infrastruktur stasiun pengisian bahan bakar khusus nelayan dan ketersediaan kuota BBM bersubsidi. Nelayan kecil tidak hanya bertarung dengan nelayan skala besar untuk mendapatkan BBM pada SPDN, namun juga dengan empat sektor lainnya yang berhak menggunakan solar subsidi, seperti transportasi, usaha mikro, pertanian dan pelayanan umum di SPBU. Dengan meningkatnya harga eceran BBM non subsidi, diperkirakan terjadi perpindahan konsumen ke BBM subsidi dan semakin menyulitkan nelayan kecil memperoleh BBM subsidi. Imbasnya nelayan kecil lebih memilih mengakses BBM melalui pengecer (83% responden) dengan harga yang lebih tinggi.
Jenis BBM yang digunakan oleh nelayan bukan hanya jenis solar. Hasil survei KNTI bersama koalisi KUSUKA menyebut bahwa 29% nelayan menggunakan jenis premium. Berdasarkan Kepmen ESDM No.37.K/HK.02/MEM.M/2022 BBM Jenis Pertalite RON 90 menjadi Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan dan jenis BBM Premium RON 88 hilang mengakibatkan nelayan kecil pengguna premium beralih ke pertalite. Beberapa daerah di Timur Indonesia menggunakan jenis pertalite (NTB, Aceh, Kaltara)
Kesulitan akses BBM bersubsidi bagi sektor perikanan menimbulkan persoalan kredibilitas anggaran BBM bersubsidi. Hasil kajian Perkumpulan Inisiatif (2021) menunjukkan, dalam lima tahun terakhir (2016-2020) rerata realisasi BBM solar bersubsidi sektor perikanan hanya mencapai 26% dari kuota yang disediakan. Padahal kuota sektor perikanan hanya 12% dari seluruh kuota yang tersedia untuk empat sektor lainnya. Pada sisi lain, BPH MIGAS tidak mampu melakukan kontrol terhadap penggunaan BBM bersubsidi. Pada tahun 2020 misalnya kuota solar subsidi sebesar 15.310.000 kilo liter yang terbagi untuk sektor transportasi 78,9 %, perikanan 12,5%, pertanian 7,69% dan untuk usaha mikro serta layanan umum masing-masing dibawah 1%. Namun dalam realisasinya, BPH Migas hanya mampu melaporkan penggunaan solar subsidi untuk sektor transportasi, perikanan dan layanan umum, sementara sektor lainnya tidak terdeteksi penggunaannya atau diduga lebih banyak terserap ke sektor transportasi.
Berdasarkan data copyright@bphmigas2020 kuota subsidi solar untuk lima sektor tahun 2020 sebesar 15.310.000 kilo liter. Kemudian berdasarkan surat BPH Migas Nomor 3.Peng/KM.05/SBPH/2022 tertanggal 1 April 2022 dalam hal tanggapan permohonan data dan informasi, realisasi subsidi BBM solar untuk lima sektor tahun 2020 sebesar 14.006.852 kilo liter. Hal ini berarti prosentase realisasi subsidi solar lima sektor tahun 2020 sebesar 91%. Adapun perbandingan kuota dan realisasi subsidi BBM solar di tahun 2020 sebagai berikut:
Dari gambaran kuota dan realisasi subsidi BBM solar tahun 2020, sektor transportasi darat paling tinggi realisasinya menyerap subsidi BBM solar. Realisasinya 12,895,148 kilo liter melebihi kuota yang ditetapkan 11,561,331 kilo liter. Selanjutnya transportasi laut yang realisasinya 594,854 kilo liter melebihi kuota yang ditetapkan 524,926 kilo liter. Namun sektor perikanan, realisasinya lebih rendah dibandingkan dengan kuota yang ditetapkan. Pada tahun 2020, realisasi subsidi BBM solar sektor perikanan sebesar 27% atau 516.394 kilo liter dari kuota yang ditetapkan 1.921.155 kilo liter. Potret ini menggambarkan bahwa ada hambatan akses nelayan untuk mendapatkan subsidi BBM solar.
BBM solar bersubsidi juga tidak tepat sasaran. hasil studi di tingkat global menunjukan subsidi BBM yang hanya dinikmati oleh 7% nelayan skala kecil dan selebihnya untuk sektor perikanan skala besar (Schuhbauer, Skerritt, et al, 2020). Di Indonesia, Solar subsidi dinikmati 34,8 juta atau 72% rumah tangga desil 6 teratas, dan hanya 21% masyarakat dengan desil 4 kebawah yang merasakan manfaat subsidi solar (BKF, 2021).
Berdasarkan persoalan di atas, Koalisi KUSUKA meminta Pemerintah:
1. Merevisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 dan perubahannya (termasuk peraturan turunannya) dengan memasukkan kebijakan afirmasi ketersediaan akses BBM bersubsidi solar dan pertalite kepada nelayan kecil dengan kapal 10 GT ke bawah;
2. Mempermudah akses BBM bersubsidi dengan menggunakan kartu KUSUKA yang menjadi alat kontrol kuota BBM subsidi yang direalisasikan untuk nelayan kecil dengan ukuran kapal 10 GT ke bawah;
3. Menjadikan Kartu KUSUKA sebagai alat untuk mendistribusikan Bantuan Langsung Tunai khusus untuk nelayan kecil dengan ukuran kapal 10 GT ke bawah dan mengintegrasikan dengan program lainnya seperti asuransi dan akses perbankan.