Skip to main content

Struktur pengeluaran pemerintah daerah (pemda) yang lebih banyak untuk belanja pegawai menjadi pintu masuk potensi penyimpangan pengelolaan anggaran. Karena itu, pola belanja pemda harus segera dibenahi agar lebih efisien dan efektif, sedangkan pemerintah pusat diharapkan mengawasinya dengan.

Seperti diketahui, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) defisit 1,5 triliun rupiah. Pemerintah provinsi (pemprov) setempat bahkan mengeklaim, daerahnya di ambang kebangkrutan.

Manager Divisi Pelayanan Dasar dan GEDSI Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, menilai kebangkrutan sebenarnya menunjukkan adanya masalah inkonsistensi antara proses perencanaan dan penganggaran oleh pemda. Hal itu sebagai dampak dari banyaknya belanja yang tidak efektif.

“Kedua, kasus pemerintah Sulsel ini sebenarnya bukan kasus baru, misalnya banyak pemerintah daerah yang mengalami kebangkrutan, indikator yang mudah dilihat adalah komposisi belanja, di mana belanja pegawai jika di atas 60 persen maka potensi kebangkrutan daerah itu sangat besar dan belanja modal kisaran 1-15 persen,”
Badiul Hadi, Manager Divisi Pelayanan Dasar dan GEDSI

Ketiga, lanjut Badiul, kasus Sulsel momentum untuk melakukan review atas kebijakan pinjaman daerah. Dalam kasus Sulsel, pengelolaan utang jangka pendek tidak dilakukan secara hati-hati dan efektif.

“Kontrol pemerintah pusat harus diperkuat dan diperketat sehingga kasus Sulsel tidak terjadi di daerah lain,” ungkapnya.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) optimistis defisit keuangan di Sulsel dapat diatasi, terutama oleh daerah setempat. Sejumlah solusi dapat dijalankan untuk mengatasi defisit tersebut seperti penggunaan sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) tahun sebelumnya, efisiensi belanja, dan ekstensifikasi penerimaan pajak.

“Defisit itu ada pembiayaannya. Sama seperti pemerintah pusat, APBN ada defisit, kita cari pembiayaannya. Di pemerintah daerah juga, ada defisit lalu cari pembiayaannya dari mana, termasuk melalui Silpa tahun sebelumnya,” kata Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Luky Alfirman, saat media briefing di Jakarta, awal pekan ini.

Adapun Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Ditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu, Sandy Firdaus, menjelaskan defisit Sulsel berasal dari akumulasi kewajiban Dana Bagi Hasil (DBH) provinsi yang belum dibayarkan ke kabupaten/kota selama beberapa tahun.

Meski begitu, Sandy menyebutkan defisit tersebut masih bisa dikelola oleh pemerintah setempat melalui refocusing belanja. Di sisi lain, Pemprov Sulsel juga bisa menyelesaikan kewajiban utang dengan memanfaatkan aset-aset yang dimiliki.

Sementata itu, Pj Gubernur Sulsel, Bahtiar Baharuddin, mengungkapkan untuk mengatasi defisit tersebut, Pemprov Sulsel akan melakukan penghematan anggaran sebesar 1,2 triliun rupiah yang diterapkan pada semua organisasi perangkat daerah (OPD) lingkup pemprov.

Wakil Ketua DPRD Sulsel, Syaharuddin Alrif, juga memperjelas Sulsel akan mengurangi belanja APBD 2024 untuk menyelesaikan utang sehingga diharapkan keuangan Pemprov Sulsel bisa kembali dalam keadaan normal pada 2025.

Ganggu Pertumbuhan

Menanggapi soal efisien anggaran di Sulsel, Direktur Program Indef, Esther Sri Astuti, menilai penghematan anggaran dapat berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi daerah. Dia beralasan salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi daerah adalah pengeluaran pemerintah.

“Ketika pengeluaran pemerintah itu berkurang maka daya ungkit bagi pertumbuhan ekonomi juga berkurang,” terangnya.

Karena itu, menurutnya, cara paling efektif menekan defisit APBD dengan menciptakan peluang objek pajak daerah baru serta optimalisasi penerimaan dari sektor lain, termasuk pariwisata, perdagangan antardaerah atau negara, dan investasi daerah.

Sumber: https://koran-jakarta.com/awasi-ketat-belanja-pemda?page=all#google_vignette