Skip to main content

JAKARTA – Rencana pemerintah menaikkan tarif kereta rel listrik (KRL) komuter, yang sudah dikaji sejak awal tahun ini, berakhir antiklimaks setelah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan tidak akan ada perubahan tarif hingga 2023. Sebagai gantinya, Budi mendengungkan gagasan pengenaan tarif nonsubsidi bagi masyarakat mampu.

Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, menyebutkan gagasan itu muncul untuk memastikan subsidi kewajiban pelayanan publik (public service obligation/PSO) yang digelontorkan pemerintah bagi masyarakat kurang mampu bisa lebih tepat sasaran. “Saat ini, pembiayaan PSO dinikmati semua pengguna KRL tanpa memandang tingkat kemampuan membayar,” ucapnya kemarin.

Menurut Adita, subsidi PSO diberikan untuk memastikan tarif KRL terjangkau dan layanannya berjalan dengan baik. Masalahnya, biaya operasional KRL terus naik di tengah tarif yang stagnan. “Dengan kenaikan biaya operasional dan belum adanya rencana kenaikan tarif, perlu dilakukan berbagai upaya agar besaran PSO tepat sasaran,” ujarnya.

Masalah kenaikan tarif KRL memang terus menjadi perbincangan sejak awal tahun ini. Adita mengungkapkan Kementerian Perhubungan telah mensurvei kesanggupan dan kemauan membayar para penumpang KRL pada awal 2022. Hasilnya, dia mengklaim, mayoritas konsumen KRL menyatakan tidak berkeberatan jika tarif naik.

Kajian kenaikan tarif KRL kembali dimatangkan setelah jumlah penumpang KRL beranjak pulih. Namun ia mengakui perlu ada studi terbaru untuk melihat respons masyarakat terhadap tarif anyar kereta komuter. “Tingkat mobilitas masyarakat sekarang sudah lumayan berbeda (dibanding saat survei). Jadi, memang harus dikaji (ulang),” tutur Adita.

Senada dengan Adita, Direktur Jenderal Kereta Api Kementerian Perhubungan, Risal Wasal, sebelumnya menyatakan sempat mengkaji besaran tarif yang pas agar tidak memberatkan masyarakat, tapi tidak membebani anggaran negara. Sebagai catatan, ia mengimbuhkan, tarif KRL hari ini merupakan hasil hitungan pada 2015.

“Padahal biaya operasional KRL Jabodetabek terus meningkat akibat inflasi. Karena itu, besaran subsidi PSO pun terus bertambah,” kata Risal.

Ia menilai kenaikan jumlah subsidi PSO tersebut kontraproduktif terhadap program-program pembangunan pemerintah. Risal mengatakan anggaran subsidi PSO akan lebih produktif jika disalurkan untuk pembangunan prasarana dan peningkatan pelayanan perkeretaapian di seluruh Indonesia.

“Namun kami memahami bahwa ekonomi masyarakat sangat terkena dampak akibat pandemi. Karena itu, kami melakukan pengkajian lebih lanjut untuk menimbang penyesuaian tarif ini,” ujar dia pada 13 Desember lalu. Dua pekan berlalu, pemerintah akhirnya memutuskan tidak menaikkan tarif, tapi akan mengenakan skema baru tarif KRL.

Diwawancarai lagi pada Selasa, 27 Desember lalu, Risal menuturkan skema tersebut akan dimatangkan secepatnya dengan target pelaksanaan pada kuartal II 2023. Adapun pembedaan tarif KRL dilakukan dengan sistem kartu atau pembayaran yang berbasis data tertentu. Hingga saat ini, Kementerian Perhubungan masih mengkaji sumber data itu untuk memilah penumpang mampu dan tidak mampu.

Beberapa opsi data yang akan dipakai adalah data kependudukan dari Kementerian Dalam Negeri dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial dari Kementerian Sosial. “Kami akan pakai data yang terbaik,” ujar dia.

Subsidi PSO Terus Meningkat

Penumpang KRL Commuter Line berjalan menuju peron di Stasiun Manggarai, Jakarta, 13 Mei 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Berdasarkan catatan Tempo, realisasi subsidi PSO KRL selalu lebih besar dari yang diprogramkan. Misalnya, realisasi subsidi PSO pada 2020 sebesar Rp 1,65 triliun dari alokasi awal Rp 1,55 triliun. Begitu pula realisasi subsidi PSO pada 2021 yang mencapai Rp 2,14 triliun, lebih tinggi dari alokasi Rp 1,99 triliun.

Adapun pada 2022, pemerintah secara keseluruhan mengalokasikan anggaran subsidi PSO sebesar Rp 3,2 triliun di bidang kereta api, baik kereta ekonomi maupun perintis. Khusus untuk KRL, alokasi subsidi diberikan kepada 220,33 juta orang penumpang, naik dari 166,36 juta penumpang pada 2021.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan, tak sepakat dengan anggapan bahwa PSO yang diberikan selama ini tidak tepat sasaran karena juga dinikmati masyarakat mampu. Musababnya, masyarakat mampu tersebut sejatinya telah banyak dikenai pajak, dari pajak penghasilan, pajak pendapatan, hingga pajak bumi dan bangunan.

“Ketika orang tersebut mau menggunakan KRL dibanding mobil pribadi, seharusnya ini menjadi poin positif karena turut mengurangi emisi karbon dan tidak menggunakan BBM bersubsidi,”

Misbah Hasan, Sekretaris Jenderal FITRA

Bahkan, Misbah berpendapat, layanan publik seperti KRL semestinya disubsidi penuh tanpa memandang status sosial.

Supaya Masyarakat Meninggalkan Kendaraan Pribadi
Guru besar bidang transportasi dari Universitas Indonesia, Sutanto Soehodho, mengingatkan bahwa tujuan pengenaan tarif terjangkau pada angkutan umum tanpa memandang status sosial bertujuan menarik orang meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke sarana angkutan massal, termasuk bagi kalangan menengah ke atas.

“Jadi, tujuan penggunaan transportasi umum itu bukan semata angkutan yang murah, tapi juga kita ingin lebih banyak orang menggunakan kendaraan umum daripada kendaraan pribadi,” ujar Sutanto.

Setali tiga uang, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, mengatakan, alih-alih memikirkan cara mengurangi subsidi PSO, pemerintah semestinya meningkatkan jumlahnya seiring dengan peningkatan kapasitas dan daya angkut KRL.

“Sebab, makin banyak pengguna KRL, makin besar keuntungannya bagi masyarakat dan perekonomian,” tutur dia. Dari sisi ekonomi, berkurangnya penggunaan kendaraan bermotor pribadi akan menekan subsidi BBM. Sedangkan dari sisi lingkungan, hal tersebut akan mengurangi kemacetan dan polusi udara.

Melihat gagasan diskriminasi tarif yang disampaikan Kementerian Perhubungan, Yusuf menyimpulkan kebijakan transportasi publik makin salah arah dan kontradiktif dengan upaya memperbaiki lingkungan. Ketimbang memberikan subsidi kendaraan listri sebesar Rp 5 triliun, ia berpendapat lebih baik pemerintah menambah alokasi subsidi PSO kereta api.

Sumber: https://koran.tempo.co/read/berita-utama/479295/alasan-kemenhub-membedakan-tarif-tiket-krl-komuter