Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai hasil akumulasi harta kekayaan senilai Rp56 miliar merupakan angka yang sangat fantastis bagi pejabat selevel eselon III di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Manager Riset Sekretariat Nasional (Seknas) Fitra Badiul Hadi, mengatakan pihaknya membuat simulasi, apabila pegawai tersebut sebagai eselon 1 dengan gaji pokok sebesar Rp5,2 juta dan tunjangan kinerja sebesar Rp117,3 juta maka membutuhkan waktu kurang lebihnya sekitar 30 tahun untuk mendapatkan Rp56 miliar.
Itu pun dengan catatan, selama 30 tahun, gaji dan tunjangan kinerja tersebut ditabung. Tentu, ini menunjukkan sudah tidak masuk akal.
“Apalagi untuk eselon III dengan gaji pokok Rp4,7 juta dan Tunjangan Kinerja sebesar Rp46,4 juta. Dibutuhkan hampir 98 tahun. Sungguh sulit diterima nalar sehat,” tegas Badiul Hadi kepada Media Indonesia, Minggu (26/2).
Dijelaskannya, ‘menjadi mitra terpercaya pembangunan bangsa’ adalah sepenggal kalimat dari visi DJP. Lembaga Pelaksana Kebijakan Pajak Indonesia, DJP Kemenkeu adalah sebuah lembaga besar dan penting yang dimiliki republik ini. Visi yang demikian mulia tersebut berbanding terbalik dengan terpaan isu ketidakpercayaan dari masyarakat yang melandanya.
“Semua bermula dari gaya hidup hedon salah satu petinggi Kanwil DJP di Jakarta Selatan. Melalui media sosial, masyarakat memblejeti secara komperhensif, mulai dari pelaporan harta kekayaan hingga kinerja kelembagaan DJP. Dari penelahaan LHKPN, terbukti sebanyak 13.885 pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan belum melaporkan harta kekayaan ke KPK. Selain itu, kekayaan pegawai DJP pun mendapatkan sorotan dari hasil akumulasi harta kekayaan senilai 56 miliar, angka yang sangat fantastis bagi pejabat selevel eselon III,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, kerasnya hantaman kasus ini muncul dari beragam reaksi masyarakat. Dimulai dari kasus penganiayaan anak pegawai pajak ke persoalan institusi pengelola pajak. Seluruhnya telah menunjukan bahwa selama ini masyarakat memiliki penilaian adanya ketidakberesan di internal DJP.
“Asumsi masyarakat terbukti benar,” tegasnya.
Bukan Masalah Sederhana
Ia menerangkan, persoalan yang dihadapi oleh pegawai pajak telah mendapatkan respon cepat dari Menteri Keuangan dengan mencopot jabatan pihak yang bermasalah.
Namun, Fitra melihat persoalan tidak selesai pada satu kasus saja. Sebab, masyarakat terlampau sering dihadapkan dengan fakta nir-intergritas dari Pegawai Pajak Indonesia. Paling fenomenal tentu Gayus Tambunan.
Namun tidak itu saja, ada nama-nama lain yang terjerat kasus suap, pemerasan, penyalahgunaan jabatan, dan rekayasa pajak.
“Persoalan ini harusnya bisa menjadi refleksi bagi Kementerian Keuangan, artinya ada persoalan dalam pengawasan internal Kementerian Keuangan. Sehingga menyebabkan kasus nir-intergritas ini masih terus berlanjut. Kementerian Keuangan juga perlu melakukan pengawasan dan pengecekan terhadap pegawainya yang mengalami peningkatan kekayaan secara tidak wajar. Selain juga pengawasan untuk melaporkan harta dan kekayaan kepada KPK secara tepat waktu,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan, realisasi pendapatan negara dalam APBN tahun 2022 sebesar Rp2.626,4 triliun, lebih tinggi 115,9 triliun dari target. Sedangkan pendapatan dari sektor pajak sebesar Rp1.784 triliun atau 68% dari total pendapatan. Data tersebut menunjukan DJP memiliki peran penting dalam pengelolaan pendapatan negara. Di sisi yang lain, DJP dihadapkan dengan persoalan ketidakpercayaan dari masyarakat.
“Jika tidak ada tindakan tegas, ketidakpercayaan dari masyarakat berpotensi pada turunnya angka partisipasi pembayaran dan pelaporan SPT tahunan. Selain itu, persoalan yang dihadapi oleh DJP tidak hanya menjadi tanggung jawab dari Kementerian Keuangan saja, tetapi juga berbagai pihak, termasuk keterlibatan KPK selaku lembaga antirasuah,” ungkapnya.
Pembuktian Terbalik Menurutnya, Fitra menilai persoalan ini tidak menutup kemungkinan terjadi di lembaga negara lainnya. KPK perlu untuk melakukan penelahaan komprehensif terhadap LHKPN yang dinilai tidak sebanding dengan potensi penerimaan dan memberikan ketegasan sanksi bagi pemangku kebijakan yang tidak disiplin dalam melaporan LHKPN.
LHKPN menjadi acuan meski tidak sepenuhnya bisa menjadi rujukan. Buktinya? Dari kasus pegawai DJP, masih terdapat harta kekayaan yang tidak dilaporkan seperti kendaraannya. Oleh karena itu, diperlukan sistem yang saling terkait dalam melakukan pengawasan kinerja baik kinerja kelembagaan dan kinerja aparaturnya.
Karena itu, lanjutnya, dari semua catatan sengkarut ini, agar persoalan yang melulu menjadi rapor merah melanda negara ini berdampak pada seluruh aspek, maka Seknas Fitra menyatakan KPK perlu melakukan cek LHKPN secara random untuk mengetahui validitas laporan keuangan pejabat.
“Bila diketahui ada kekayaan gendut pejabat, perlu ada mekanisme pembuktian terbalik bagi pejabat bersangkutan bahwa kekayaannya didapat secara legal,” ujarnya.
Kemudian pemerintah melakukan review Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2015 Tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Selain itu, lanjutnya, Kementerian Keuangan menindak para pejabat dan pegawai yang memiliki kekayaan diluar kewajaran dan memamerkan ke publik baik oleh pejabat itu sendiri maupun anggota keluarga.
“Aparat penegak hukum (KPK/Kepolisian/Kejaksaan,dll) melakukan pengusutan terhadap kekayaan para pejabat, khususnya di Ditjen Pajak, Kemenkeu,” tegasnya.