Oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran dan Indonesian Parliamentary Center
Revisi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan disahkan menjadi Undang-Undang (UU) pada rapat paripurna. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyambut beberapa point yang masuk dalam Rancangan Undang-Udang (RUU) tersebut seperti pengaturan Sumber Daya Manusia (SDM) di BUMN untuk memberikan peluang bagi penyandang disabilitas dan keterlibatan Masyarakat setempat. Kemudian juga, perkerja perempuan diberi peluang untuk menduduki posisi jabatan direksi, dewan komisaris atau jabatan strategis lain di BUMN.
Dalam melihat dua substansi di atas, FITRA menganggap ketentuan revisi di atas sebagai prinsip afirmatif. Tanpa afirmasi dari BUMN tersebut, pekerja disabilitas berpotensi kesulitan bersaing dengan non-disabilitas dalam mendapatkan akses pekerjaan di BUMN. Konteks persaingan ini, bukan terkait kompetensi seseorang antara disabilitas dan non-disabilitas, akan tetapi persepsi dari Perusahaan yang lebih memprioritaskan untuk merekrut pekerja non-disabilitas. Namun, prinsip afirmasi ini perlu juga memperhatikan kebutuhan masing-masing ragam disabilitas, termasuk memperhatikan adaptasi pola kerja Perusahaan yang responsif terhadap disabilitas. Contoh, apakah infrastruktur Perusahaan BUMN telah aksesibel terhadap penyandang disabilitas fisik, dan apakah iklim kerjanya responsif terhadap penyandang disabilitas sensorik. Berikut catatan kritis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terkait revisi UU BUMN:
- Pengaturan pengaturan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dapat menjadi solusi pengelolaan keuangan BUMN. BPI Danantara idealnya dapat mengakselrasi kinerja BUMN untuk lebih menghasilkan dividen bagi negara. Namun tantangannya soal kewenangan PBI Danatara yang rentan tumpang tindih dengan kewenangannya Kementerian BUMN. PBI Danatara sebagai Lembaga baru, juga akan berhadap dengan konflik kepentingan dari pengelola BUMN sebelumnya, superholding ini berpotensi mendapatkan handangan dari oligarki yang menikmati status quo kondisi BUMN yang nyaris tidak berkinerja dengan maksimal.
- Pengaturan kekayaan BUMN yang dipisahkan dari kekayaan negara untuk memudahkan aksi korporasi. Tahun 2024, setidaknya Rp 27,4 T digelontorkan negara untuk PMN bagi BUMN. Seknas Fitra menilai, pemisahaan kekayaan BUMN untuk mempermudah aksi korporasi merupakan hal yang lumrah, namun akan menjadi bola liar, yang apabila tidak terdapat Batasan yang jelas terkait aksi korporasi, alih-alih mendapatkan manfaat malah menimbulkan kerugian negara yang terindikasi tindakan korupsi. Hal ini seringkali terjadi, sulit melihat kejernihan dalam aksi korporasi yang mana BUMN tersebut diisi oleh aktor-aktor politik bagian dari balas jasa politik.
Kemudian dari segi proses legislasi berdasarkan pemantauan Indonesian Parliamentary Center dari segi formil penyusunan legislasi DPR RI dan Pemerintah selalu mengabaikan partisipasi publik dalam proses pembahasan. Perlu diketahui bahwa RUU BUMN tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahunan dan tidak masuk dalam carry over dari pembahasan sebelumnya hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai urgensi dan justifikasi penyusunannya. Penyusunan RUU di luar Prolegnas seharusnya memenuhi kriteria tertentu, seperti keadaan darurat atau kebijakan strategis nasional, yang perlu dijelaskan lebih lanjut oleh pembentuk UU.
Selain itu, RUU BUMN melompati tahapan penyusunan yang harusnya dilakukan seperti tidak di harmonisasi terlebih dahulu di Badan Legislasi sehingga proses pembentukan UU ini dinilai cacat prosedural. Substansi dalam RUU BUMN berisiko tumpang tindih dengan regulasi yang sudah ada, seperti UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta regulasi sektoral lainnya. Hal ini menunjukkan kurangnya kajian mendalam dalam tahap harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan, yang dapat berujung pada inkonsistensi hukum.
Di lihat dari transparansi pembahasan RUU BUMN tidak dipublikasikan kepada publik terkait naskah akademik dan draft RUU, sehingga menghambat akses publik dalam memberikan masukan. Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2022 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mensyaratkan bahwa naskah akademik harus tersedia untuk dikaji oleh masyarakat sebelum proses pembahasan lebih lanjut di DPR. Jika RUU BUMN diproses dalam waktu yang singkat tanpa diskusi yang memadai, ada risiko legislasi yang bersifat reaktif dan tidak berbasis pada kebutuhan jangka panjang. Legislasi yang terburu-buru sering kali menghasilkan regulasi yang tidak implementatif dan berpotensi menimbulkan permasalahan di kemudian hari.
Selain itu, terdapat beberapa catatan yang harus menjadi perhatian agar revisi UU BUMN tidak menjadi legislasi semu (Pseudo law):
- Pemerintah harus memperbaiki tata kelola BUMN agar dapat memberikan sumbangsih bagi pendapatan negara dan perekonomian nasional. Hal ini menjadi penting di tengah kondisi pendapatan negara yang mengalami defisit sampai 2,5 – 2,9 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau sekitar Rp 800 triliun.
- BUMN harus bebas dari konflik kepentingan; hal ini menjadi penting agar keputusan bisnis yang dibuat tidak merugikan negara dan mencegah terjadinya korupsi. Belajar dari kasus PT Timah Tbk dengan Pemerintah Kabupaten Bangka negara diperkirakan mengalami kerugian mencapai Rp300 triliun. hal tersebut terjadi akibat akibat buruknya tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) selama 5 tahun.
- Pejabat tinggi BUMN harus diisi dengan orang yang memiliki kompetensi, hal ini menjadi penting agar kedepan BUMN menjadi entitas bisnis yang profesional, efisien dan berdaya saing global. Selama ini, pejabat tinggi BUMN terkesan hannya menjadi sapi perah atau bagi-bagi jabatan.
- RUU BUMN sebaiknya dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas agar memiliki legitimasi kuat dalam proses pembentukannya.
- Penyusunan RUU harus dilakukan dengan waktu yang cukup, agar substansi dapat dikaji secara menyeluruh dan Menghindari pembahasan yang terburu-buru, agar regulasi yang dihasilkan tidak menjadi problematik di kemudian hari.
- DPR RI dan Pemerintah harus melakuan regulatory impact assessment (RIA) sebelum melakukan revisi terhadap UU BUMN.