Skip to main content

Oleh: Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran

Sejak dilantik pada 20 Oktober 2024, pemerintahan Prabowo-Gibran mendapatkan sorotan karena membentuk banyak kementerian dan lembaga (K/L) baru yang kemudian oleh sejumlah kalangan disebut sebagai kabinet “gemoy”. Banyaknya jumlah K/L baru dalam pemerintahan Prabowo-Gibran diduga untuk mengakomodasi kepentingan politik Koalisi Indonesia Maju Plus atau biasa disebut KIM+. Hal tersebut kemudian memunculkan kehawatiran akan postur birokrasi yang dinilai tidak efisien dan efektif dalam menghadapi berbagai tantangan dan terbatasnya anggaran negara. Selain itu, minimnya repersentasi perempuan dalam jajaran menteri juga menjadi sorotan publik dan menimbulkan pertanyaan soal keberpihakan pemerintahan Prabowo-Gibran kepada kelompok perempuan.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo memotret sejumlah kebijakan anggaran yang kontra produktif, antara lain:

1. Program Makan Bergizi Gratis
Pemerintah meluncurkan program makan bergizi gratis yang ditargetkan untuk menjangkau lebih dari 83 juta orang pada tahun 2029. Program ini dimulai dengan pembagian 570.000 porsi makanan pada hari pertama dan melibatkan 190 dapur di lebih dari 20 provinsi, dengan fokus awal pada anak-anak sekolah dan ibu hamil. Meskipun bertujuan baik, program ini menimbulkan kekhawatiran mengenai transparansi dan potensi konflik kepentingan, terutama terkait penggunaan dana pribadi Presiden Prabowo untuk membiayai program tersebut. Beberapa ekonom mengkritik langkah ini karena berisiko tidak transparan dan dapat menciptakan konflik kepentingan.

2. Pengenaan PPN 12% pada Barang dan Jasa Mewah
Pemerintah memberlakukan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang hanya dikenakan pada barang dan jasa mewah, seperti kendaraan bermotor mewah, hunian mewah, dan barang-barang mewah lainnya. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat, mengendalikan inflasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Presiden Prabowo menegaskan bahwa PPN 12% hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah yang dikonsumsi oleh golongan masyarakat mampu. Akan tetapi, kebijakan tersebut dikawatirkan akan memicu kenaikan harga barang jasa lainnya yang berdampak pada penurunan kesejahteran masyarakat menengah-bawah dan membuat pelaku usaha lebih berhati-hati dalam melakukan aktifitas ekonomi (investasi).

3. Pembentukan Dana Kekayaan Berdaulat yang dikelola Presiden
Pemerintah berencana membentuk dana kekayaan berdaulat yang akan dikelola langsung oleh Presiden Prabowo. Dana ini bertujuan untuk mengkonsolidasikan aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang totalnya hampir mencapai $570 miliar, guna membiayai proyek-proyek pemerintah dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, rencana ini menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi intervensi politik dan transparansi pengelolaan dana, serta dampaknya terhadap kinerja sektor-sektor strategis negara.

4. Penggunaan Dana Pribadi untuk Pembiayaan Kegiatan Negara
Presiden Prabowo menggunakan dana pribadinya untuk membiayai beberapa program pemerintah, termasuk program makan bergizi gratis. Langkah ini menimbulkan kritik dari ekonom yang khawatir tentang transparansi dan potensi konflik kepentingan, serta menciptakan preseden buruk dalam tata kelola keuangan publik.

Selain kebijakan anggaran, FITRA juga menyoroti beberapa pernyataan publik menteri yang menimbulkan kontroversi, yaitu:
1. Yandri Susanto, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Yandri Susanto mengakui telah menggunakan kop surat Kementerian Desa untuk undangan acara pribadi dan bermuatan politis.
2. Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM
Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa peristiwa 1998 bukan pelanggaran HAM berat karena tidak melibatkan genosida dan pembersihan etnis.
3. Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Bahlil Lahadalia meraih gelar doktor dari Universitas Indonesia dalam waktu singkat, yaitu 18 bulan. Kecepatan studi ini memicu perdebatan mengenai standar pendidikan doktoral di Indonesia.
4. Natalius Pigai, Menteri Hukum dan HAM
Natalius Pigai mengusulkan anggaran Kementerian Hukum dan HAM ditingkatkan menjadi Rp 20 triliun untuk memperkuat program-program HAM di Indonesia. Akibat pernyatan tersebut, banyak kalangan yang meraguka pemahaman Menteri Hukum dan HAM dalam merancang anggaran publik.
5. Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan
Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono menyatakan bahwa pemasangan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir utara Banten bersifat ilegal dan tidak memiliki izin resmi. Ia menegaskan bahwa pembangunan tersebut tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku. Padahal keberadaan pagar laut tersebut sudah ada sejak tahun 2024, hal tersebut menunjukan lemahnya pengawasan yang dilakukan KKP.
6. Satryo Soemantri Brodjonegoro, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi
Satryo Soemantri Brodjonegoro membantah tuduhan prilaku sewenang-wenang seperti pemecatan ASN terkait masalah WiFi di rumah dinas. Ia menjelaskan bahwa rotasi dan mutasi pegawai dilakukan sesuai prosedur dan tidak ada pemecatan terkait isu tersebut.
7. Miftah Maulana Habiburrahman (Gus Miftah)
Gus Miftah menjadi sorotan setelah mengolok-olok penjual es teh dengan kata-kata “goblok” di depan publik. Peristiwa ini menuai kritik dan mendorong klarifikasi dari pihak terkait. Dan akhirnya Miftah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, karena dinilai tidak dapat memberikan teladan yang baik.

Dari penjelasan diatas, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) merekomendasikan:
1. Presiden Prabowo untuk melakukan evaluasi K/L secara kelembagaan agar menghindari tumpang tindih fungsi, tugas serta kewenangan; apa lagi kondisi keuangan negara mengalami keterbatasan untuk mendukung kinerja kabinet gemoy. Selain itu, banyaknya pembantu presiden yang melakukan blunder baik dalam pembuatan kebijakan dan pernyataan publik, sekiranya dilakukan evaluasi bahkan di-reshuffle jika dinilai tidak memberikan kinerja yang optrimal.
2. Jika Presiden atau pejabat negara menggunakan dana pribadi untuk kegiatan negara, penting untuk memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas. Pembiayaan negara sebaiknya tetap bersumber dari anggaran negara yang jelas dan terkontrol. Hal ini bertujuan agar tidak adanya politik balas jasa.
3. Pemberlakuan penaikan PPN 12% meski dengan ketentuan untuk produk-produk tertentu, pada kenyataannya memiliki imbas yang sangat besar pada daya beli masyarakat. Ketidak jelasan kebijakan ini menghantui masyarakat akan kenaikan harga-harga bahan pokok di pasar.