Skip to main content

Jakarta, 7 Mei 2019

Ingat, korupsi pada saat bencana, ancaman hukumannya pidana mati!” Pernyataan itu disampaikan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait pengawasan anggaran penanganan pandemi Covid-19. RDP virtual itu dipimpin oleh Ketua Komisi III DPR, Herman Hery, Rabu pekan lalu.

KPK memperingatkan, besarnya alokasi dana yang disiapkan pemerintah untuk penanggulangan pandemi Covid-19 bukan tidak mungkin menimbulkan potensi penyelewengan. Dari tambahan belanja pemerintah pusat pada APBN 2020 sebesar Rp405,1 triliun, sebesar Rp110 triliun atau 27% akan dialokasikan untuk jaring pengaman sosial, termasuk dialokasikan untuk bansos kepada masyarakat yang terdampak Covid-19.

Demikian juga dari hasil refocusing kegiatan dan realokasi anggaran pemerintah daerah per 16 April 2020, total anggaran yang direalokasikan yaitu sebesar Rp56,57 triliun atau sebesar 5,13% dari total APBD 2020 Rp1.102 triliun. Dari Rp56,57 triliun tersebut sebesar Rp17,5 triliun atau sekitar 31% dialokasikan untuk belanja hibah/bansos dalam upaya mengatasi dampak pandemi Covid-19 di daerah.

Untuk mencegah tindak pidana korupsi dalam penyelewengan dana bansos, KPK telah menerbitkan Surat Edaran nomor 11 Tahun 2020, tanggal 21 April 2020. Surat edaran itu berisi tentang Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data non-DTKS dalam pemberian Bantuan Sosial kepada masyarakat dalam upaya mengatasi dampak pandemi Covid-19.

“DTKS yang dikelola oleh Kementerian Sosial merupakan basis data yang selama ini digunakan untuk pemberian bantuan sosial kepada masyarakat secara nasional,” kata Firli seperti dilaporkan Wahyu Wahid Anshory dari Gatra. Firli menjelaskan, melalui pelaksanaan rencana aksi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK), DTKS telah dipadankan dengan data kependudukan di Direktorat Jenderal Kependudukan Dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). KPK, menurutnya, menyadari bahwa dalam hal ini keterandalan data sebagai dasar pemberian bantuan sangat penting

KPK meminta institusi pemerintah untuk mengadministrasikan dan memublikasikan segala bentuk sumbangan dan bantuan yang diterima terkait penanggulangan pandemi. Kemudian KPK juga mengingatkan agar bantuan sosial (bansos) yang diberikan pemerintah daerah dalam upaya penanganan dampak pandemi tidak dimanfaatkan untuk kepentingan praktis dalam pilkada serentak 2020.

Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Muhammad Yusuf Ateh, mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan koordinasi dengan Kejaksaan dan KPK serta Badan Pengawas Keuangan (BPK) yang tergabung dalam Gugus Tugas. “Kita semua kompak dalam melakukan pengawasan,” tuturnya saat dihubungi Drean Muhyil Ihsan dari Gatra, Senin lalu.

BPKP juga saat ini telah membuka pengaduan bagi siapa saja yang memiliki bukti adanya indikasi penyimpangan atau bahkan penyelewengan dana bansos di daerah. Bahkan, Yusuf Ateh melanjutkan, pihaknya juga telah melakukan sosialisasi hingga level Kejati dan Kejari untuk nantinya berfungsi sebagai pengawas di lingkup Kabupaten/Kota. “Kita sudah sepakat dengan KPK dan Kejaksaan kalau ada yang berani begitu (melakukan penyelewengan), kita sikat habis,” ia menegaskan. Lebih lanjut, Yusuf mengaku telah melihat ada beberapa indikasi penyimpangan yang terjadi di lapangan dan telah ditangani oleh pihaknya. Meski begitu, Yusuf Ateh belum melihat ini sebagai penyelewengan karena kasus yang terjadi hanya sebatas kesalahpahaman dan tidak terjadi secara sistematis. “Sejauh ini tidak ada yang mengarah pada tindak korupsi dan sebagainya. Permasalahan sekarang ini kan hanyamasalah data saja,” kata Yusuf.

Seketaris Jenderal (Sekjen) Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, mengatakan bahwa dalam catatan institusinya ada beberapa potensi penyelewengan dana penanganan pandemi Covid-19. Pertama, terkait dengan pendataan yang serampangan, sehingga penerima bantuan sampai sekarang salah sasaran. “DTKS yang digunakan tidak update, dan tidak terverifikasi dengan baik,” kata Misbah kepada M. Almer Sidqi dari Gatra

Kedua, penggelapan dana bantuan, yaitu dengan adanya pemotongan dan pemungutan liar. Jumlah bantuan yang diterima masyarakat pun berbeda-beda dan tidak sesuai yang dijanjikan. Ketiga, politisasi bantuan terkait dengan pilkada yang akan tetap dilakukan pada Desember 2020 mendatang. “Misalnya, menempelkan foto di bantuan yang diberikan, seakan-akan itu bantuan dari mereka, padahal itu anggaran APBN, APBD, bahkan APBD Desa,” ujarnya.

Selanjutnya, konflik kepentingan dari para pelaksana bantuan. Seperti yang terjadi pada kasus Kartu Pra-Kerja. Misbah menegaskan bahwa wilayah yang paling potensial untuk melakukan politisasi bantuan di daerah-daerah adalah di daerah yang akan melakukan pemilihan kepala daerah (pilkada). Di mana figurfigur politiknya bisa melaju lagi di kontestasi mendatang. “Praktikpraktik yang sudah muncul di Klaten dan Jember. Ini harus dipantau oleh pemerintah pusat,” ujarnya.

Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Alwan Ola Riantoby, memandang penyalahgunaan dana bansos tidak mesti berkaitan dengan korupsi. Ada persoalan yang lebih serius dibandingkan dengan markup anggaran atau data penerima bansos yang fiktif. Yaitu, pembentukan opini yang seolah-olah menunjukkan bahwa bansos diberikan atas kebijakan kepala daerah. Hal tersebut, katanya, sangat mungkin dilakukan oleh kepala daerah petahana yang akan maju dalam pilkada serentak. Mereka berusaha membangun opini bahwa bantuan yang diberikan adalah hasil usaha dari kepala daerah yang berpihak kepada masyarakat. “Jadi seakan-akan membangun politik pencitraan dari bansos itu, mereka menumpang nama untuk anggaran Covid-19 ini,” kata Alwan saat dihubungi Dwi Reka Barokah dari Gatra.

Alwan menuturkan, tidak elok jika ada kepala daerah yang masih memanfaatkn kondisi pandemi ini untuk kepentingan politiknya. Apalagi, pemberian bansos yang dimanfaatkan untuk pencitraan itu berasal dari APBD yang merupakan hak masyarakat. Meski demikian, Alwan tak menampik jika korupsi dari dana bansos itu ada. Penyelewengan anggaran memang biasa terjadi di birokrasi pemerintah. “Bisa saja markup anggaran digunakan untuk kepentingan politiknya,” kata Alwan

Sumber: Gatra Edisi 7-13 Mei 2020

PDF: https://seknasfitra.org/wp-content/uploads/2020/05/gatra-fitra.pdf

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.