Pemilu baik itu Legislatif yang telah berlangsung 9 April lalu dan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 9 Juli mendatang selalu saja ada potensi kerawanan dalam pengelolaan keuangan negara, baik dalam pengelolaan APBN, APBD, BUMN. Disebut rawan, karena tradisi elit Politik kita dalam bertarung untuk memperebut jabatan publik, seperti jabatan Presiden, tidak akan mau mengeluarkan modal sendiri, demikian disampaikan Direktur Advokasi dan Investigasi Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) Uchok Sky Khadafi. Mencermati tradisi elite politik dalam bertarung yang tidak ingin merugi dengan modal sendiri. Uchok menjelaskan modal untuk membiayai kegiatan polotik dalam memperebutkan jabatan publik biasanya diambil dari modal alternatif alias modal gratis yang bersumber dari keuangan negara atau sumber lainnya. “ Hal inilah yang setelah kami cermati dan terbilang sangat rawan. Harus diwanti-wanti sejak awal” ujarnya. Dijelaskan lebih lanjut, modal untuk berebut jabatan politik bisa dilihat dari hasil audit BPK pada semester II tahun 2010 atau setelah pesta demokrasi selesai pada pemilu sebelumnya (2009) lalu. Untuk itu FITRA mendesak Bawaslu dan KPU segera melakukan audit dua kali kepada anggaran kampanye pilpres. “Untuk itu pilpres tahun 2014 ini, publik harus mengawasi keuangaan negara ini, jangan sampai dipergunakan modal untuk memenangkan kandidat atau calon presiden tertentu” terang Uchok anggaran negara untuk tahun 2014 ini. APBD untuk 516 daerah berjumlah Rp.822.9 Triliun dan untuk APBN sebesar Rp.1.842Triliun.
FITRA juga meminta kepada Bawaslu dan KPU untuk segera melakukan audit dua kali kepada anggaran kampanye Pilpres. Audit pertama adalah audit penerimaan atau sumber anggara kampanye. “Kalau belum jelas sumber anggaran kampanye “delete” saja kandidat capres, kedua, KPU jangan menetapkan pemenang capres sebelum selesai diaudit dana belanja kampanye. Agar persaingan memperebutan jabatan presiden ini, jauh dari money politik dambaan demokrasi” ungkap Uchok. /Redaksi FITRA