Bercermin pada pemerintahan sebelumnya, BUMN selalu menjadi sapi perahan dan dimanfaatkan oleh elit-elit politik atas ketidaktranparannya pengeluaran dan pemasukan BUMN dalam mengelola laba. Selain itu, BUMN juga tidak miliki persentase berapa jumlah laba minimal yang mesti disetor ke negara dari usaha-usaha yang dikerjakan BUMN. Hal tersebut diungkapkan Sekjend Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) Yenny Sucipto dalam Konferensi Persnya kemarin (02/11) di Dapur Selera, Jakarta.
Menurut Yenny pengelolaan BUMN itu perlu perombakan dan memasukan aturan jumlah minimal penerimaan pada sistem di BUMN. “Ini menjadi PR yang sangat berat bagi pemerintahan Jokowi untuk membawa BUMN menjadi agen pembangunan Presiden Jokowi akan mendapat kesulitan membuat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi agen pembangunan bagi perubahan bangsa Indonesia. Sebab masih banyak elit-elit politik yang merongring kegiatan usaha-usaha yang dikerjakan BUMN” terang Yenny
Ditambahkannya lagi menurutnya kita tidak punya regulasi berapa laba yang ditahan untuk ekspansi pengembangan bisnis dan tidak punya regulasi untuk mengatur penyertaan modal kepada BUMN. “Yang juga perlu diperjelas adalah mengenai UU PT dan UU BUMN” Ungkap Yenny. Menurutnya, selama ini selalu menggunakan UU PT jika mengambil keputusan untuk mengembangkan usahanya.
Dia mencontohkan, pada 31 Desember tahun 2012 Indonesia memiliki keuntungan dari 141 BUMN itu sebesar Rp 150 triliun dan itu hanya disetor ke negara hanya 24 persen atau sekitar 30 triliun. “Sisanya ditahan. Tetapi tidak ada transparansi dan akuntabilitas laba itu ditahan untuk ekspansi pengembangan bisnis apa? Berapa persen laba itu yang ditahan. Itu tidak ada,” jelasnya.
Ia menambahkan tidak transparan dan akuntabel itu bisa menjadi celah untuk bisa dikorupsi oleh elit-elit politik. Ia mengatakan jika Jokowi ingin membuat BUMN itu menjadi agen perubahan maka sistem transparansi dan akuntabilitas perlu di bangun./RedaksiFITRA
Jakarta 3 November 2014