Senin, 24/7. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran mengkritisi kebijakan terbaru yang diterbitkan dan telah disahkan oleh Presiden Jokowi. PP Nomor 18 tahun 2017tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada 2 juni 2017 dipandang anomali pada situasi anggaran negara yang tengah defisit.
Direktur FITRA Yenny Sucipto menyampaikan, ”Naiknya tunjangan anggota DPRD se-Indonesia melalui PP 18 tahun 2017 tentu menjadi anomali ditengah defisit anggaran. Kenaikan tunjangan DPRD tentu harus menyesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Jika daerah ingin menaikan tunjangan anggota legislatif maka daerah perlu memperhatikan ruang fiskal”.
Selanjutnya, pada konferensi pers yang berlangsung di Kantor Sekretariat Nasional FITRA, Yenny menunjukkan data 12 provinsi dengan IKF (Indeks Kapasitas Fiskal) tinggi, 6 provinsi dengan IKF sedang, dan dan 16 provinsi dengan IKF rendah. Berdasarkan kota, terdapat 47 kota dengan IKF tinggi, 36 kota dengan IKF sedang, dan 10 kota dengan IKF rendah. Dan berdasarkan kabupaten, terdapat 104 kabupaten dengan IKF tinggi, 95 kabupaten dengan IKF sedang, dan 216 dengan IKF rendah.
Turut hadir sebagai narasumber pada konferensi pers Lucius Karus, Peneliti FORMAPPI dan Riesqi Rahmadiansyah, Advokat Publik. Keduanya menguatkan temuan FITRA bahwa berdasarkan peta ruang fisikal tersebut FITRA menyarankan daerah (kab/kota) dengan kondisi ruang fisikal rendah dan memiliki ketergantungan tinggi terhadap DAK dan DAU untuk menolak PP 18 tahun 2017. Jika tidak, PP tersebut bisa merepotkan pemerintah daerah dalam mengatur belanjanya, bahkan APBD terancam bangkrut (defisit). FITRA juga tidak yakin dengan adanya kenaikan tunjangan anggota DPRD se-Indonesia bisa mengurangi praktik korupsi atau membuat kinerja anggota Dewan meningkat. Hal ini bisa dilihat dari kasus anggota Dewan yang terjerat praktik KKN dan lemahnya kinerja legislasi di beberapa daerah. Jika pemerintah daerah tetap melaksanakan PP 18 tahun 2017 dengan kondisi keuangan daerah yang tidak mendukung, tentu akan membuat porsi belanja di daerah tidak produktif dan pembiayaan anggaran menjadi tidak efesien.
Besar Kenaikan Tunjangan
Berdasarkan peta ruang fisikal tersebut FITRA menyarankan daerah (kab/kota) dengan kondisi ruang fisikal rendah dan memiliki ketergantungan tinggi terhadap DAK dan DAU untuk menolakPP 18 tahun 2017. Jika tidak, PP tersebut bisa merepotkan pemerintah daerah dalam mengatur belanjanya, bahkan APBD terancam bangkrut (defisit). FITRA juga tidak yakin dengan adanya kenaikan tunjangan anggota DPRD se-Indonesia bisa mengurangi praktik korupsi atau membuat kinerja anggota Dewan meningkat. Hal ini bisa dilihat dari kasus anggota Dewan yang terjerat praktik KKN dan lemahnya kinerja legislasi di beberapa daerah. Jika pemerintah daerah tetap melaksanakan PP 18 tahun 2017 dengan kondisi keuangan daerah yang tidak mendukung, tentu akan membuat porsi belanja di daerah tidak produktif dan pembiayaan anggaran menjadi tidak efesien.
FITRA juga membuat simulasi yang hasilnya adalah jumlah belanja pegawai yang harus dibanyarkan Negara atau daerah jika di total bisa mencapai Rp. 689,3 miliar, jumlah ini belum termasuk dengan tunjangan komisi, tunjangan kelengkapan, Belum lagi biaya kesehatan, tunjangan keluarga, tujangan reses, rumah dinas, dan kendaraan dinas.
FITRA menilai, tanpa adanya kenaikan tunjangan, pendapatan dan fasilitas yang diperoleh anggota legislatif terbilang sudah lebih dari cukup. Seharusnya DPRD yang merupakan perwakilan dari rakyat bisa lebih sensitif terhadap kondisi ekonomi saat ini, terutama di daerah 3T. keluarnya PP 18 tahun 2017 Ini menjadi bukti bahwa pemerintahan baik di eksekutif atau legislatif, tidak memiliki komitmen terhadap visi peningkatan kualitas dan efesiensi anggaran ditengah menurunnya kondisi ekonomi.
Pada akhirnya, FITRA menyatakan menolak PP 18 tahun 2017 karena tidak memiliki nilai urgensi, dan cenderung bermotif politis; kenaikan tunjangan DPRD dibeberapa daerah (kab/kota) dapat membahayakan APBD terutama di daerah dengan ruang fisikal yang rendah. Oleh sebab itu kepala daerah harus mengkritisi kebijakan pemerintah dengan akuntabel; dan mendorong agar sebagai wakil rakyat, DPRD harus berhemat. Gaji dan tunjangan saat ini dirasa sudah sebih cukup. *
Jakarta 24/07/2017