Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) menilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak serius membahas Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2014. Menurut pantauan FITRA peserta sidang rapat hanya dihadiri oleh Dewan yang sama, rapat tidak dilakukan serius karena banyak anggota dewan yang bergantian keluar masuk ruang rapat. “Rapat hanya dihadiri oleh anggota Dewan yang sama, tanda tangan pun di akhir sidang penuh padahal diawal dan pertengahan sidang sepi, anggota Dewan juga kerap titip tanda tangan ke staf ahli DPR jadi ini bahwa anggota Dewan tidak serius untuk membahas RAPBN 2014” kata Direktur Advokasi & Investigasi FITRA Uchok Sky Khadafi kemarin (24/9) dalam konferensi Pers dan Diskusinya di Press Room Komplek Senayan DPR, Jakarta.
Menurut Uchok, pemantauan awal yang dilakukan oleh FITRA terhadap proses persidangan dengan agenda membahas RAPBN 2014 terhadap 93 sidang anggaran di Badan Anggaran dan Komisi-Komisi DPR sepanjang 16 Agustus hingga 12 September 2013, menunjukkan rata-rata kehadiran anggota DPR dalam sidang membahas RAPBN 2014 hanya sebesar 35 persen.
Uchok juga menegaskan pemantauan ini dilakukan bertujuan untuk memperbaiki DPR agar lebih berkualitas dan semakin baik ke depan. Beberapa sidang pembahasan RAPBN, lanjutnya, dilakukan secara tertutup. Ucok mempertanyakan hal tersebut karena pembahasan RAPBN harusnya bersifat terbuka. Selama pemantauan yang dilakukan oleh FITRA, jelasnya, ditemukan 20 sidang yang dilakukan secara tertutup. Padahal, mandat konstitusi menjelaskan pembahasan anggaran dilaksanakan secara terbuka. Akibatnya, sidang berpotensi inkonstitusional dan dapat digugat secara hukum melalui judicial review ke Mahkamah Konsitusi (MK).
“DPR seharusnya bisa lebih serius dalam mengikuti rapat atau persidangan apalagi yang dibahas ini RAPBN yang seyogyanya anggota dewan harus mengikutinya, kemudian untuk diketahui saja selama persidangan berlangsung, sebagian besar anggota Dewan hanya mendengarkan presentasi dari pemerintah, materi pembahasan sangat umum tetapi tidak mengarah pada perbaikan program serta minimnya tanggapan dari para anggota DPR. Padahal, selaku badan yang mempunyai wewenang untuk menyetujui anggaran dalam RAPBN, DPR harusnya lebih proaktif dalam menanggapi RAPBN yang sudah disusun pemerintah. Tegas Uchok.
Temuan ini belum bersifat Final karena FITRA masih akan melanjutkan pantauan pembahasan RAPBN hingga nanti disahkan oleh DPR. FITRA meminta pimpinan dan Badan Kehormatan (BK) DPR untuk memberikan sanksi tegas bagi anggota DPR yang tidak hadir dalam sidang pembahasan anggaran dengan mempublikasikan nama-nama anggota DPR yang tidak hadir dan meminta fraksi-fraksi di DPR untuk membangun strategi agar APBN 2014 benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat. FITRA merekomendasikan dibentuknya Parlementary Budget Office untuk menyokong data dan pengetauan anggota DPR dalam pembahasan anggaran. Karerna kebanyakan anggota Dewan tidak paham terhadap RAPBN
DPR juga diharapkan dapat menyusun RAPBN tandingan untuk mengimbangi usulan pemerintah yang cenderung berlandaskan tupoksi birokrat, bukan untuk kepentingan rakyat. Contohnya, untuk kendaraan dinas 2014 menghabisakan anggaran sebesar Rp509 miliar untuk 3.794 unit kendaraan. Untuk tahun 2013 anggaran kendaraan dinas menelan biaya Rp2,57 triliun untuk 18.502 unit.
Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis mengatakan penilaian sebaiknya tidak hanya ditujukan kepada DPR saja. Pasalnya, DPR selaku pihak yang memiliki wewenang penganggaran hanya menerima angka-angka yang tercantum di RAPBN sesuai yang telah disusun oleh pemerintah. “Jangan hanya melakukan pemantauan terhadap DPR, tapi lakukan juga ke pemerintah selaku pihak yang menyusun anggaran. Biar fair,” kata Harry.
Harry juga mengatakan agar LSM sekaliber FITRA jangan hanya melihat kulitnya saja, tapi lihat substansinya. “Anggota yang absennya sempurna tapi tidak tahu apa-apa dan cuma duduk di dalam, apakah lebih baik daripada anggota DPR yang kritis tapi absensinya tidak sempurna?” pungkasnya. Menurut Harry, penilaian keseriusan anggota Dewan dalam membahas RAPBN melalui kehadiran dan daftar absensi terlalu dangkal. Yang terpenting, lanjutnya, ketidakhadiran tidak membuat hak suara Dewan hilang. Bahkan, ketidakhadiran Dewan dalam sebuah sidang juga bisa diartikan sebagai sebuah sikap politik.
Redaksi : FITRA