Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk transparansi Anggaran (Seknas FITRA) bersama dengan Koalisi APBN pada Kamis (8/1) lalu menggelar Konferensi Pers bertema “ Quo Vadis BUMN Dalam Roadmap RPJMN 2015-2019 : BUMN Sebagai Agen Pembangunan?” dalam Konferensi pers tersebut Sekjend FITRA Yenny Sucipto menegaskan konteks BUMN yang mejadi nawacita yang secara operasional dalam RPJMN diarahkan pada peningkatan pelayanan publiK BUMN pada masyarakat khususnya penyediaan bahan kebutuhan pokok seperti pangan, energy, layanan perumahan dan transportasi yang memadai “ Peningkatan daya saing BUMN dengan memantapkan struktur BUMN yang diarahkan untuk peningkatan efektifitas pelayanan itu juga bagian dari operasional RPJMN yang perlu diarahkan” tegas Yenny.
Selain itu ditambahkannya lagi operasional RPJMN juga diarahkan untuk membangun kapasitas dan kapabilitas BUMN dalam bentuk perusahaan dan ukuran yang optimal yang ditujukan bagi kelangsungan dan pengembangan BUMN tertentu. “dengan merintis pembentukan dana amanah pengembangan BUMN itu juga bagian dari arah sasaran operasional dalam RPJMN, Utang Indonesia yang terus bertambah dinilai perlu diwaspadai. Apalagi, kebijakan utang dalam RPJMN 2015-2019 dinyatakan agar menjaga rasio di bawah 30 persen, serta turun hinggu 21,1 persen di 2019” tukasnya.
Ditambahkan lagi oleh Yenny selain target utang tersebut juga termasuk mengupayakan keseimbangan primer (primary balance) terus menurun hingga tahun 2019. Serta menjaga defisit anggaran dibawah 3 persen dan pada tahun 2019 menjadi surplus 1,2 persen PDB. Namun, ada beberapa hal yang harus disoroti dalam rencana RPJMN di masa pemerintahan Joko Widodo, Salah satunya, mengubah penyusunan format APBN defisit yang menjadi legitimasi penarikan utang-utang baru dan praktik privatisasi BUMN.
Yenny dan Koalisi APBN (Dani Setiawan dari Koalisi Anti Utang (KAU) dan Ah Maftuhan dari Perkumpulan Prakarsa) dalam konferensi persnya juga memberikan catatan kritis terkait RPJM 2015-2019, yang pertama kebijakan ekonomi nasional dalam konstitusi Indonesia diarahkan untuk mendukung BUMN dalam mengembangkan dirinya sehingga dapat menyerap tenaga kerja. Kedua, Perlu adanya strategi kebijakan ke depan mengenai keanggotaan Indonesia dalam IMF dan IBRD dalam menjaga BUMN dari intervensi asing.
Ketiga Penting untuk pemerintah memiliki strategi kebijakan kedepan untuk membentengi kekuatan modal internasional dalam pengendalian ekonomi Indonesia. Keempat, Seharusnya arah strategi kebijakan dalam reformasi keuangan negara mampu mendorong perombakan format APBN khususnya dalam kebijakan pembiayaan pos penerimaan privatisasi. Karena dalam praktek privatisasi wajib menurut UU APBN namun bertentangan dengan konstitusi “Seharusnya pemerintah melindungi peran BUMN sebagai motor pembangunan dalam melaksanakan ekonomi kerakyatan di Indonesia” terang Yenny.
Ditambahkannya lagi catatan kritis yang kelima yakni dicantumkannya pos penerimaa privatisasi dalam APBN anggaran negara “sebenarnya dalam hal ini pemerintah dan DPR telah memberi ruang bagi intervensi pemodal dalam struktur kebijakan anggaran yang memungkinkan mereka menguasai factor-faktor produksi yang penting dan strategis” tambah Dani.
Dani juga mengungkapkan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir Kementerian BUMN telah memproses 25 privatisasi BUMN minoritas. Nilainya telah diperoleh sebesar Rp 53,4 T, dimana sebesar Rp 42,6T masuk dalam modal BUMN dan sisanya Rp 10,9 T masuk dalam APBN. Masih mengarahnya pemanfaatan pinjaman langsung dalam struktur pembiayaan kepada BUMN juga menjadi catatan kritis FITRA bersama Koalisi APBN.
Redaksi FITRA
9 Januari 2015