Peneliti Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Badiul Hadi menyatakan, pemerintah bisa mengambil sejumlah opsi agar persoalan utang proyek Whoosh atau Kereta Cepat Jakarta-Bandung tak menjadi beban fiskal permanen.
Menurutnya, pemerintah bisa melakukan refinancing terpisah dari APBN untuk solusi persoalan tersebut. “Dengan skema konsorsium baru atau penjualan sebagian saham ke investor strategis,” kata Badiul saat dihubungi, Selasa, 21 Oktober 2025.
Selain itu, opsi lainnya adalah pemerintah melakukan restrukturisasi pinjaman bilateral dengan syarat renegosiasi bunga dan tenor pinjaman kepada pihak Tiongkok.
Tak cuma itu, Badiul menilai pemerintah memiliki pula solusi berupa audit forensik dan evaluasi BPKP/BPK untuk memastikan transparansi pembengkakan biaya dan menegaskan tanggung jawab korporasi.
“Jika tetap melibatkan APBN, harus ditempatkan sebagai penyertaan modal negara (PMN) bersyarat, dengan mekanisme akuntabilitas yang ketat dan target pengembalian yang terukur,” ujarnya.
Ia menambahkan, gagasan kereta cepat memang mencerminkan ambisi modernisasi Indonesia di sektor transportasi. Namun sejak awal, menurutnya, proyek tersebut diwarnai ketidakkonsistenan antara rasionalitas publik dan politik.
“Meskipun dijanjikan tanpa dana APBN melalui skema B2B Indonesia–Tiongkok, dalam praktiknya pembengkakan biaya membuat risiko dan beban keuangan justru beralih ke negara,” ucapnya.
Sejak awal, lanjutnya, proyeksi penumpang dan skema pengembalian investasi proyek itu terlalu optimistis.
“Studi kelayakannya lemah karena mengabaikan moda transportasi yang sudah ada seperti tol Cipularang dan KA Argo Parahyangan,” kata Badiul.
Akibatnya, sejak awal proyek tersebut menunjukkan ketimpangan antara biaya dan manfaat bagi publik. “Tetapi manfaatnya cenderung elitis.”
Beban utang proyek kereta cepat yang mencapai Rp 54 triliun, kini dialihkan ke APBN. Hal tersebut menandakan pergeseran tanggung jawab dari korporasi ke negara.
Padahal, sejak awal pemerintah menegaskan proyek itu tidak akan membebani keuangan publik.
“Masuknya penjaminan utang dan subsidi bunga ke fiskal negara menunjukkan lemahnya manajemen risiko dan konsistensi kebijakan, sekaligus membuka pertanyaan serius soal transparansi dan akuntabilitas pengelolaan proyek strategis nasional,” ucapnya.
Badiul menegaskan, penggunaan APBN untuk menutup pembengkakan biaya proyek komersial menciptakan moral hazard dan precedent buruk.
“Negara tidak boleh menjadi penanggung risiko dari keputusan bisnis yang tidak prudent, karena fungsi APBN adalah untuk layanan publik, bukan bailout korporasi,” ucapnya.
Masalah lingkungan
Proyek Whoosh itu tak hanya memunculkan persoalan utang jumbo. Dalam catatan “PR” proyek tersebut juga diduga berdampak buruk terhadap lingkungan dan warga, sepertinya hilangnya mata air dan mengeringnya sumur-sumur warga.
Diduga dampak pengerjaan terowongan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung beberapa tahun lalu, sejumlah sumur gali warga mengering di Kampung Cibonteng, Desa Sumurbandung, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Untuk memperoleh air, warga pun terpaksa bergantung kepada sumur bor yang tak gratis.
Mengeringnya sumur-sumur gali warga Cibonteng diungkapkan Kurniawan Siswara (50), Ketua RW 01 Cibonteng, Rabu 17 September 2025 lalu.
“Rampung terowongan ieu, sumur warga janten saraat (Setelah pengerjaan proyek terowongan selesai, sumur-sumur warga mengering),” ujarnya. Peristiwa itu terjadi pada sekira akhir 2021.
Cibonteng memang menjadi salah satu area proyek terowongan Whoosh itu. Terowongan dibangun menerobos dari wilayah Cihanjuang dan Pangleseran tembus hingga kawasan Sasaksaat.
Kurniawan mengungkapkan, nyaris semua warga Cibonteng yang memiliki sumur gali mengering airnya karena diduga terdampak proyek terowongan tersebut.
Kurniawan salah satunya. Awalnya, ia memiliki sumur gali sedalam 8-10 meter di dalam rumahnya. Sumur yang menjadi sumber pasokan air bersih tersebut mengering setelah pengerjaan terowongan.
Awalnya, ia memiliki sumur gali sedalam 8-10 meter di dalam rumahnya. Sumur yang menjadi sumber pasokan air bersih tersebut mengering setelah pengerjaan terowongan.
Saat itu, Kurniawan masih tak percaya hilangnya air terjadi akibat proyek tersebut. Ia kemudian membuat sumur gali lagi di area sawah di luar tempat tinggalnya sedalam 12 meter.
Air sempat keluar dari sumur baru tersebut namun menghilang. Kurniawan kemudian menggali lagi hingga kedalaman sumur mencapai 15 meter.
Kejadian yang sama terulang. Air sempat muncul lalu raib kembali. Ia lalu kembali membuat sumur gali lagi di wilayah RW 02 Cibonteng.
“Sasasih ayaan (Air hanya muncul selama sebulan),” tuturnya. Setelah itu, air menghilang lagi. Hilangnya air di sumur-sumur gali dirasakan pula oleh sejumlah warga Cibonteng lainnya. Warga bahkan sempat akan melakukan unjuk rasa karena persoalan tersebut.
Pemerintah Desa Sumurbandung akhirnya memberikan bantuan untuk pembuatan dua titik sumur bor masing-masing di wilayah RT 03 dan RT 02 di wilayah RW 02 Cibonteng.
Kurniawan tak mengetahui apakah biaya pembuatan dua sumur bor tersebut dari pemerintah atau pihak Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Yang jelas, kedalaman kedua sumur bor tersebut mencapai 42 meter.
Kendati telah ada bantuan dua sumur bor, pasokan air tetap dinilai masih kurang. Pasalnya, banyak warga yang menggunakan air itu. (*)




