TEMPO, Jakarta 21 Januari 2022 – Pemerintah berdalih pembangunan ibu kota negara (IKN) baru di Kalimantan Timur bakal berdampak positif terhadap pemulihan perekonomian nasional. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, mengatakan proyek IKN akan bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan nasional, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang.
“Untuk jangka pendek, pembangunan Ibu Kota dapat mendorong kegiatan ekonomi melalui investasi infrastruktur di wilayah IKN dan sekitarnya, mendorong perdagangan antarwilayah, serta penciptaan lapangan kerja,” ujar dia, kemarin.
Adapun untuk jangka menengah dan panjang, pembangunan IKN diproyeksikan dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi wilayah sekitarnya. Hal ini bisa terjadi seiring dengan meningkatnya berbagai aktivitas ekonomi serta berkembangnya sektor-sektor ekonomi baru.
Peningkatan aktivitas ekonomi ini juga diharapkan akan berdampak pada adanya potensi peningkatan pendapatan masyarakat dan aktivitas konsumsi masyarakat. “Pada gilirannya ini akan meningkatkan potensi penerimaan pajak.”
Lebih lanjut, Febrio memaparkan, proyek ibu kota baru merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam menurunkan tingkat kesenjangan ekonomi, baik antar-kelompok pendapatan maupun antar-wilayah. “Sejak 1983, produk domestik regional bruto (PDRB) Jawa dan Sumatera mendominasi hingga 80 persen produk domestik bruto (PDB) nasional.”
Dengan demikian, Febrio melanjutkan, proyek ini akan berimplikasi pada tujuan pemerataan kesejahteraan nasional. Aneka alasan itulah yang membuat proyek pembangunan ibu kota baru menjadi prioritas dalam proyek strategis nasional.
Adapun perihal lokasi, Febrio menjelaskan, Kalimantan Timur dipilih atas pertimbangan lokasi yang aman dan minim ancaman bencana, aksesibilitas lokasi yang tinggi terhadap kota yang sudah berkembang, ketersediaan sumber air baku, serta ketersediaan lahan luas milik pemerintah ataupun BUMN. “Hal ini mengurangi biaya yang dibutuhkan dan potensi konflik sosialnya rendah,” ucap Febrio.
Dalam pelaksanaannya, Febrio memastikan pembangunan IKN dilakukan sesuai dengan kebijakan konsolidasi fiskal agar defisit anggaran tak terus melebar dan tak menambah akumulasi utang. “Pelaksanaan proyek strategis IKN berjalan dalam koridor pengelolaan fiskal yang sehat dan berkelanjutan dalam jangka menengah dan panjang,” katanya.
Namun proyeksi pemerintah tersebut dinilai tak sepenuhnya realistis. Menurut Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, secara umum belanja pemerintah melalui pembangunan IKN dan pemindahan ibu kota negara memang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Terlebih jika anggaran yang dikucurkan cukup besar.
“Meski demikian, kontribusi perekonomian Kalimantan Timur sebagai pusat pemerintahan masih belum cukup signifikan dalam peningkatan kontribusi terhadap perekonomian nasional,” katanya. Sebab, kontribusi sektor administrasi pemerintah jika dilihat dari sisi produksi cenderung rendah.
Dia menjelaskan, berdasarkan kalkulasi menggunakan tabel inter-regional input-output (IRIO) Badan Pusat Statistik pada 2016, output multiplier dari Provinsi Kalimantan Timur mencapai 1,69. Artinya, jika terjadi peningkatan permintaan akhir melalui belanja pemerintah ke provinsi tersebut sebesar Rp 1, efeknya terhadap output di Kalimantan Timur hanya akan naik Rp 1,69.
“Selain itu, dengan perkiraan pusat bisnis akan tetap berlokasi di DKI Jakarta, kontribusi perekonomian Kalimantan Timur terhadap PDB nasional diperkirakan bakal tetap kurang dari 10 persen,” ujar Josua.
Pesimisme akan efek positif proyek ibu kota baru terhadap pertumbuhan ekonomi juga diungkapkan Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan. Ia tak terlalu yakin IKN bakal berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek dan menengah, mengingat proses kajian pembangunan IKN yang dilakukan relatif singkat. “Background study yang dilakukan juga prematur.”
Terlebih, dalam pembangunan proyek ini, Misbah melanjutkan, ada potensi penambahan utang baru baik oleh pemerintah maupun BUMN. Pasalnya, skema APBN akan menjadi tumpuan pendanaan di awal pembangunan. Konsekuensinya, APBN bakal kian terbebani. Apalagi pemerintah diwajibkan mengembalikan tingkat defisit maksimal 3 persen terhadap PDB pada 2023 mendatang.
“Belum lagi bila pandemi Covid-19 kembali merebak. Beban pembiayaan IKN bisa lebih besar dari perkiraan saat ini. Contoh kasus adalah pembiayaan kereta cepat Jakarta-Bandung yang anggarannya membengkak luar biasa karena pandemi,” kata Misbah.