Skip to main content

Paska terbitnya Inpres No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan APBN dan APBD TA 2025, sejumlah kementerian mengalami pemotongan anggaran yang signifikan. Salah satu Kementerian yang paling terdampak dari hal tersebut adalah KemenPPPA yang terkena pemotongan anggaran sejumlah Rp 146.886.424.000 atau 48,6 persen dari pagu awal TA 2025 yang diusulkan oleh KemenPPPA. Meskipun tidak sebesar pemotongan anggaran seperti di Kementerian PUPR yang mencapai 70%, namun kebijakan ini memangkas hampir semua anggaran program KemenPPPA. Sehingga, dapat dipastikan KemenPPPA tidak dapat melaksanakan tupoksinya. Padahal, tren anggaran KemenPPPA dari tahun 2018 sampai dengan 2025 menunjukkan grafik yang fluktuatif dan tidak ada kenaikan yang signifikan, bahkan terjadi penurunan yang drastis usai ditetapkannya Inpres No. 1 Tahun 2025.


Upaya penyelenggaraan perlindungan yang komprehensif terhadap perempuan dan anak seharusnya sejalan dengan komitmen anggaran dari Pemerintah. Hingga kini, Indonesia masih menjadi negara yang rawan terjadi kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Jumlah penduduk perempuan di Indonesia sebanyak 136.384.674 orang dan sebanyak 85 juta anak, merupakan jumlah terbesar keempat di dunia. KemenPPPA mencatat berdasarkan data dari Sistem Informasi Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) sejak tahun 2020 sampai dengan 2023, jumlah korban kekerasan terhadap Perempuan terus meningkat. Pada tahun 2020, tercatat sebanyak 17.574 Perempuan yang menjadi korban kekerasan. Di tahun 2023, meningkat drastis hingga mencapai 26.161 orang. Sementara, pada tahun 2024 per 11 Desember turun menjadi 22,113 orang perempuan, dan sebanyak 28.831 Kasus Kekerasan Terhadap Anak. Data SIMFONI-PPA Per 1 Januari 2025 terdapat sebanyak 3.303 jumlah kasus kekerasan dengan rincian korban perempuan sebanyak 2.862 orang, dan korban laki-laki sebanyak 660 orang.

Berdasarkan data di atas, maka upaya perlindungan terhadap Perempuan dan Anak secara komprehensif sangat urgent dilakukan. Terkait hal tersebut, terdapat 2 fungsi penting KemenPPPA dalam penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak. Pertama, Penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi tingkat nasional, lintas provinsi dan internasional. Kedua, penyediaaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus yang memerlukan koordinasi tingkat nasional dan internasional.

Di tahun 2025, Pagu Anggaran KemenPPPA kembali sebesar Rp. 300.654.181.000,- terdiri dari Rupiah Murni sebesar Rp. 295.322.233.000,- dan dana hibah Rp. 5.331.948.000,-. Dari besaran Pagu tersebut, sebanyak Rp. 225.689.253.000,- atau 75% merupakan DAK Non Fisik Perlindungan Perempuan dan Anak dan DAK Fisik Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak yang ditujukan untuk mencapai tujuan Prioritas Nasional menurunkan kekerasan terhadap perempuan dan anak, meningkatkan cakupan dan kualitas layanan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dan Perkawinan Anak. DAK tersebut terdiri dari DAK Non Fisik sebesar Rp. 132 M untuk 304 daerah peruntukan bagi layanan korban KtPA, TPPO, ABH dan Perkawinaan anak. DAK Fisik sebesar Rp. 93.689.253.000,- untuk renovasi UPTD PPA dan Rumah Perlindungan Sementara (RPS) serta penyediaan sarpras UPTD PPA/RPS, dengan penerima sebanyak 40 daerah.

Pada awalnya, Menteri Keuangan menerbitkan Surat Nomor: S-37/MK.02/2025 perihal Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga dalam Pelaksanaan APBN TA 2025 tertanggal 24 Januari 2025 yang menetapkan besaran anggaran belanja KemenPPPA TA 2025 sebesar Rp. 160.699.000.000,- atau sebesar 53,45% dari total anggaran. Dengan besaran yang ditetapkan oleh Kemenkeu ini, maka anggaran KemenPPPA yang tersisa hanya Rp. 99.337.728.000,-.

Kemudian terjadi perubahan, berdasarkan hasil Rapat kerja Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI pada hari Kamis, 13 Februari 2025, efisiensi dari semula sebesar Rp. 160.699.000.000,- (53,45%) turun menjadi Rp. 146.886.424.000,- (48,86%) diambil dari belanja barang sebesar Rp. 145.323.274.000,- dan belanja modal Rp. 1.563.153.150.000,-. Maka pagu anggaran KemenPPPA yang tersisa menjadi Rp. 153.767.757.000,- terdiri dari Anggaran Murni sebesar Rp. 148.435.809,- dan hibah sebesar Rp. 5.331. 948.000,-. Namun sangat disayangkan, sisa anggaran tersebut tidak diprioritaskan untuk penyelenggaraan perlindungan kepada korban.

Anggaran untuk layanan pendampingan, penjangkauan, dan rehabilitasi yang sangat dibutuhkan korban tidak tersedia. Artinya, Para Menteri, Wamen dan staf KPPA tetap mendapatkan gaji meskipun program tidak dilakukan. Anggaran yang berdampak langsung untuk perempuan dan anak korban kekerasan justru ditiadakan. Kebijakan ini menunjukkan rendahnya keberpihakan KemenPPPA kepada perempuan dan anak korban kekerasan, karena kebijakan efisiensi hanya menyasar anggaran program yang berdampak langsung kepada korban.
Pandangan FITRA terkait dampak terbitnya Inpres No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan APBN dan APBD TA 2025 terhadap upaya penyelenggaraan perlindungan yang komprehensif terhadap perempuan dan anak, yaitu sebagai berikut:

Pemberian Tukin bagi KemenPPPA tanpa adanya pelaksanaan program merupakan pemborosan anggaran dan melanggar azas proporsionalitas

  • Penggunaan sisa anggaran yang bersumber dari Rupiah Murni sebesar Rp. 82.7 M diperuntukkan untuk pemberian gaji dan Tunjangan Kinerja (Tukin) Pegawai KemenPPPA+KPAI. Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Penghitungan KInerja Pegawai Negara Sipil, tukin diberikan berdasarkan capaian kinerja dan evaluasi jabatan. Penilaian Kinerja dilakukan melalui evaluasi kinerja terhadap hasil kerja dan perilaku kerja dan kehadiran Pegawai setiap bulan. Artinya dengan tidak adanya alokasi anggaran untuk program maka penilaian kinerja atas hasil kerja Pengawai tidak dapat dilakukan. Maka pemberian tukin tanpa adanya program kerja yang dilakukan tidak hanya memboroskan anggaran tetapi juga melanggar azas proporsionalitas yaitu penyelenggaraan Manajemen ASN mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasa 2 huruf b UU No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Seharusnya, KemenPPPA mengambil efisiensi dari anggaran tunjangan kinerja, bukannya dari anggaran program.
  • Tertutupnya akses Perempuan dan Anak untuk mendapatkan perlindungan yang komprehensif Sebanyak Rp. 132 M atau 75% Pagu Anggaran KemenPPPA merupakan DAK Fisik dan DAK Non Fisik yang diperuntukkan bagi penyelenggaraan perlindungan yang komprehensif terhadap perempuan dan anak korban kekerasan. DAK Non Fisik diperuntukkan tiga program. Pertama, Pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kedua, Penanganan Kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ketiga, Penguatan Data dan Kapasitas Kelembagaan Perlindungan Perempuan. Sementara efisiensi sebesar Rp. 146.886.424.000.- (48,86%) justru menguras anggaran yang langsung terdampak pada perempuan dan anak korban kekerasan. Dengan efisiensi ini korban di 302 daerah di Indonesia tidak lagi dapat mengakses layanan perlindungan dari KemenPPPA. Khususnya bagi daerah-daerah yang tinggi angka kekerasan terhadap perempuan seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kondisi ini akan meningkatkan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tidak tertangani
  • Adanya potensi peningkatan Indeks Ketimpangan Gender (IKG) di sejumlah wilayah di Indonesia KemenPPPA berkontribusi terhadap pengawalan isu gender pada lintas sektor, yang akan berpengaruh terhadap nilai IKG di setiap daerah di Indonesia. Efisiensi anggaran ini akan memiliki implikasi terhadap kerja-kerja KemenPPPA di daerah dan nasional yang sangat menentukan kualitas hidup perempuan dan anak, serta perlindungan mereka dari kekerasan.

Ketiga kondisi di atas akan berdampak pada tidak tercapainya tujuan nasional dalam menurunkan kekerasan terhadap perempuan dan anak, meningkatkan cakupan dan kualitas layanan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dan Perkawinan Anak. Jika hal tersebut diabaikan, maka negara gagal negara dalam memberikan perlindungan yang komprehensif terhadap perempuan dan anak korban kekerasan. Perempuan dan anak korban kekerasan terabaikan dan tidak mendapatkan haknya atas perlindungan dan pemulihan.
Maka berdasarkan uraian di atas FITRA merekomendasikan:

  • Menganulir kesimpulan Rapat kerja Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI pada Kamis, 13 Februari 2025 yang memutuskan efisiensi sebesar Rp. 146.886.424.000.- (48,86%) anggaran KemenPPPA;
  • Mengidentifikasi ulang sumber efisiensi dari anggaran program yang tidak berdampak langsung terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Salah satunya anggaran tunjangan kinerja, dikarenakan menurunnya target kinerja yang diakibatkan tidak adanya anggaran program;
  • Mengecualikan anggaran yang berdampak langsung terhadap perempuan dan anak dari efisiensi yaitu dengan tidak melakukan efisiensi terhadap Anggaran DAK Fisik dan DAK Non Fisik yang diperuntukkan bagi penyelenggaraan perlindungan yang komprehensif terhadap perempuan dan anak korban kekerasan sebesar Rp. 132 M untuk 302 daerah di Indonesia.