Dalam rangka memperingati Hari Anti-Korupsi Internasional yang jatuh pada tanggal 9 Desember 2014, sejumlah elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Anti-Mafia Tambang mendesak pemerintah Jokowi-JK untuk memberantas korupsi di sektor ekstratif.
“Kami mendesak pemerintah Jokowi-JK memberantas korupsi di sektor ekstratif dan salah satunya pertambangan karena kami menduga sektor ini merupakan sektor yang paling korup sebagai akibat dari buruknya tata kelola tambang,” ujar Sekretaris Nasional Fitra Yenny Sucipto dalam keterangan persnya mewakili Koalisi Anti-Mafia Tambang, Senin (8/12).
Koalisi Anti-Mafia Tambang terdiri sejumlah organisasi tingkat nasional, seperti ICW, Seknas Fitra, TII, Pattiro, IPC, dan Article 33 Indonesia. Selain itu tergabung juga beberapa organisasi atau lembaga tingkat daerah, seperti Walhi daerah dan Jatam daerah di region Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali -Nusa Tenggara, Sulawesi dan Papua.
Yenny menunturkan bahwa kajian global yang dilakukan OECD menunjukkan bahwa industri yang paling korup adalah sektor ekstraktif dan salah satunya dari sektor pertambangan (OECD, 2/12/2014).
Di Indonesia, katanya korupsi di sektor pertambangan ini terbukti dengan banyaknya pejabat negara, politisi, dan birokrat yang diadili atas kasus korupsi pertambangan.
“Indikasi korupsi di sektor pertambangan ditunjukkan dengan ditemukannya Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang bermasalah, seperti tidak CnC (clear and clean), tidak memiliki NPWP, perusahaan fiktif, dan berada di kawasan hutan konservasi dan lindung,” tandasnya.
Koalisi Anti-Mafia Tambang, lanjut Yenny menemukan besarnya potensi kehilangan penerimaan negara dari sektor tambang dari tahun 2010 sampai 2013 di 13 Provinsi sebagai akibat dari IUP bermasalah mencapai Rp 4 triliun, yang terdiri dari Rp. 931 milyar dari land rent (iuran tetap) dan Rp. 3.1 triliun dari kurang bayar royalti 4.725 IUP.
Wilayah terbesar yang berkontribusi terhadap potensi kehilangan penerimaan Negara dari land rent adalah Wilayah Kalimantan dengan total mencapai Rp 574,9 miliar dan Rp. 2,3 triliun dari kurang bayar royalti.
“Sementara Wilayah Sumatera dari land rent sebesar Rp 186,7 miliar dan Rp. 510,7 miliar dari royalti. Untuk Wilayah Sulawesi dan Maluku Utara potensi kerugian Negara dari land rent mencapai Rp 169,5 miliar dan dari royalty mencapai Rp. 226 milyar,” tambahnya.
Konsekuensi dari hilangnya potensi penerimaan di atas mengakibatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan hanya sebesar 4% dari total PNBP dari Tahun 2006 hingga 2014. Target pemerintah ini sebenarnya masih sangat rendah bila didasarkan pada potensi yang ada, mengingat regulasi sektor pertambangan di Indonesia yang masih belum stabil setelah penerapan biaya keluar ekspor mineral.
Oleh karena itu, Koalisi, kata Yenny, meminta aparat penegak hukum, khususnya KPK, untuk melakukan penindakan terhadap pelanggar izin dan penyelanggara Negara yang terlibat dalam korupsi di sektor tambang. Pemerintah selaku pemberi izin, menurutnya harus segera menghentikan operasional pertambangan di kawasan konservasi dan menindak tegas pemegang IUP yang tidak Clear and Clean.
“Proses ini tanpa menghilangkan proses penegakan hukum atas pelanggaran yang dilakukan, misalnya pajak, kerusakan lingkungan, dan lain-lain,” tuturnya.
Dia juga menharapkan agar Pemerintah menghentikan sementara aktivitas perusahaan pemegang IUP di lapangan yang belum membayar hutangnya, melaksanakan fungsi pengawasan yang ketat, mengelola penerimaan dari penyewaan lahan dan royalti secara transparan dan akuntabel dan mengembangkan skema pengelolaan wilayah paska pencabutan dengan proses yang transparan dan partisipatif serta diikuti dengan kegiatan rehabilitasi lahan.
“Jokowi-JK perlu merealisasikan pembentukan satgas anti-mafia Sumber daya alam seperti yang tercantum dalam Nawacita dan melakukan #BlusukanTambang dalam upaya penataan perizinan dan penegakan hukum di sektor minerba,” pungkasnya.
Sumber : http://www.beritasatu.com
11-12-2014