Oleh: Misbah Hasan, Badiul Hadi, Ervyn Kaffah
Wacana pemindahan ibukota yang dibahas dalam Rapat Terbatas Kabinet Kerja dan Jokowi (29/4) patut dicermati:
1. Wacana ini sudah dibahas dan dikaji sejak lama oleh kabinet-kabinet Presiden sebelumnya, tetapi hasil kajian tidak serius & tidak pernah dipublikasikan secara luas, jadi terkesan main-main & tidak transparan, termasuk Kabinet Kerja saat ini;
2. Wacana pemindahan ini justru dapat memecah konsentasi pemerintah dalam membahas isu2 yang lebih krusial, misalnya pembangunan ekonomi inklusif, penanggulangan kemiskinan, pemerataan, & perlindungan sosial bagi masyarakat miskin, dst;
3. Anggaran memindah ibukota yang ditaksir mencapai Rp 446 Triliun pasti akan mempersempit ruang fiskal pemerintah dan biasanya pemerintah ambil jalan pintas dengan pendanaan melalui Utang, ini yg musti dikritisi mengingat beban utang akan semakin berat, bunga utang Indonesia saja sudah 17% lebih dari Total Belanja APBN. APBN dalam kurun waktu 5 tahun terakhir menunjukkan tren defisit. Menjadi tidak sehat jika APBN dikuras untuk pembiayaan pemindahan ibukota, apalagi hanya digunakan untuk pembiayaan pengadaan infrastruktur awal, seperti kantor pemerintahan dan parlemen, dll.
Dalam catatan hasil analisis FITRA, pada tahun 2014 defisit APBN sebesar Rp 220,2 triliun, tahun 2015 sebesar Rp 325,2 triliun, tahun 2016 sebesar Rp 321,9 triliun pada tahun 2017 defisit sebesar Rp 349,6 triliun dan tahun 2018 Rp 287,9 triliun. Terkait dengan Utang, kajian FITRA mengenai utang menunjukkan bahwa utang BUMN jauh lebih besar dibanding dengan utang pemerintah. Per tahun 2017 utang BUMN mencapai Rp 4.825 triliun angka ini mengalami peningkatan sebesar 38% dibanding tahun 2014 yang mencapai Rp 3.488 triliun. Selama proyek-proyek yang diselenggarakan BUMN rasio pembiayaan 30% dari ekuitas dan 70% dari pinjaman;
4. Untuk melakukan pemerataan pembangunan tidak harus memindah ibukota, tapi menerapkan konsep pembangunan & pertumbuhan inklusif, terutama di wilayah timur Indonesia;
5. Konsentrasi pada pembangunan Infrastruktur pada era kabinet kerja I sudah tepat, tinggal mengisi dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah prioritas pembangunan.