Jakarta, 30 Juni 2020
Presiden Joko Widodo melampiaskan kekesalan atas buruknya kinerja para menteri menghadapi pandemi Corona atau COVID-19 dalam rapat kabinet pada 18 Juni lalu–yang videonya baru diunggah kemarin sore. Salah satu yang dipersoalkan adalah rendahnya realisasi anggaran kesehatan, yang mencapai triliunan rupiah, untuk berbagai program penanganan pandemi.
“Bidang kesehatan dianggarkan Rp75 triliun, baru keluar 1,53 persen,” kata mantan Gubernur DKI itu. Ia meminta anggaran tersebut segera dicairkan di antaranya untuk membayar tunjangan dokter dan tenaga medis lain.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan proses verifikasi di Kemenkes adalah biang keladi terhambatnya pencairan insentif tenaga kesehatan. “Saya tahu Kemenkes ingin berhati-hati. Tapi ini sudah masuk Juni 2020, jadi perlu segera belanja kesehatan,” ucap Sri Mulyani dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI, Senin (22/6/2020) lalu.
Ia lantas mengatakan sudah menyentil Kemenkes, yang dikepalai Menteri Terawan Agus Putranto, agar bekerja lebih cepat lagi.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan mengatakan Rp75 triliun yang disebut Jokowi itu sesuai Perpres 54/2020. Sementara sekarang, jumlahnya sudah naik menjadi Rp87,55 triliun dan per 16 Juni lalu realisasinya baru 1,54 persen.
Rp65,80 triliun dari anggaran jumbo itu didistribusikan untuk belanja penanganan COVID-19, insentif tenaga medis Rp5,90 triliun, santunan kematian Rp0,3 triliun, bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Rp3 triliun, anggaran gugus tugas COVID-19 Rp3,5 triliun, dan insentif perpajakan bidang kesehatan Rp9,05 triliun. Karena semuanya pos penting, Misbah tak heran bila Jokowi geram.
“Menurut saya kinerja serapannya sangat parah. Harusnya Kemenkes membuat prasyarat lebih longgar untuk tenaga kesehatan tetapi tetap transparan dan akuntabel,” ucap Misbah saat dihubungi reporter Tirto, Senin (29/6/2020).
Ia juga mengatakan pengelolaan anggaran Kemenkes penuh ironi: di satu sisi dituntut menjadi garda terdepan membasmi COVID-19, tapi di sisi lain realisasi anggarannya paling terbelakang. Kemenkeu mencatat realisasi anggaran Kemenkes per Mei 2020 hanya mencapai 2,17 persen dari APBN sesuai Perpres 54/2020, alias terendah kedua setelah Kementerian Sosial yang hanya mencapai 0,89 persen.
Semakin ironis karena anggaran kementerian ini sudah dua kali naik, dari Rp57,40 triliun menjadi Rp76,55 triliun (berdasarkan Perpres 54/2020) lalu naik lain menjadi Rp78,51 triliun (Perpres 72/2020).
Ia lantas menyarankan Presiden Jokowi segera mengambil tindakan tegas, misalnya mencopot Menkes Terawan. “Me-reshuffle Menkes karena kinerjanya buruk, termasuk kinerja serapan anggaran penanganan COVID-19,” kata Misbah.
Jokowi memang menjanjikan perombakan kabinet. Tanpa menunjuk pasti mana kementerian yang kinerjanya buruk, ia bilang akan reshuffle menteri-menteri yang tidak becus atau bahkan “membubarkan lembaga.” “Sudah kepikiran ke mana-mana saya,” kata mantan Gubernur DKI ini.
Dampak
Misbah bilang buruknya penyerapan ini dampaknya terasa betul ke tenaga medis dan masyarakat. Misalnya, tenaga kesehatan kekurangan Alat Pelindung Diri (APB) sehingga rentan terpapar virus, atau masyarakat yang harus dibebani biaya tes COVID-19 yang mahal dan tak kunjung dibuat terjangkau.
Hal serupa diungkapkan Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Berry Juliandi. Ia menegaskan tak maksimalnya realisasi anggaran bisa memperburuk penanganan COVID-19.
Uang sebesar itu, misalnya, dapat dipakai untuk pengetesan COVID-19 massal. “Tes massal belum dilakukan padahal dengan dana sebesar tadi akan sangat memungkinkan,” ucap Berry saat dihubungi reporter Tirto, Senin (29/6/2020).
Menurut Bappenas, Senin (22/6/2020) jumlah tes di Indonesia baru mencapai 11 ribu orang/minggu. Ini masih di bawah standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), yang menetapkan angka minimal 30 ribu orang/minggu.
Anggaran itu juga bisa dialihkan ke penelitian COVID-19. Sepengetahuannya, dana penelitian COVID-19 di sini sangat kecil dibandingkan total pengeluaran untuk penanganan pandemi. Padahal, poin yang diabaikan ini bisa jadi dapat mempercepat penemuan vaksin. Jika vaksin ditemukan, segera ekonomi dapat berputar seperti sediakala–yang diidam-idamkan pemerintah dan para pelaku usaha.
Berry, yang juga menjabat sebagai Juru Bicara Young Scientist Forum (YSF), menilai dana itu sudah sepatutnya segera dialihkan. Tentu selain itu pemerintah juga perlu membenahi persoalan koordinasi dan hambatan teknis yang membuat belanjanya jadi mandek. Semuanya dalam rangka menekan kurva COVID-19 yang masih merangkak naik dengan penambahan kasus harian mencapai 1.000.
Reporter Tirto telah menghubungi Sekretaris Jenderal Kemenkes Oscar Primadi untuk dimintai tanggapan, tetapi sampai artikel ini tayang belum direspons.
Sumber: https://tirto.id/kartu-kuning-untuk-terawan-buruknya-penyerapan-anggaran-covid-19-fMgl