Kebijakan Masa Lalu Membebani APBD Lamongan
Oleh Madekhan Ali*
Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) selalu saja menjadi dokumen yang mencemaskan. Tentu saja kecemasan ini berlaku bagi Kepala Daerah yang mennghadapi banyak temuan “kasus” pengelolaan APBD-nya. Untuk tahun pemeriksaan 2011, yang telah dinyatakan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) di antaranya Pemprov. Jawa Timur ataupun Pemkab Pacitan, tentu mereka patut berbangga dan mendapat apresiasi publik. Ini artinya, pada dua entitas pengelola keuangan negara tersebut, sedikit sekali ditemukan persoalan pengelolaan keuangan negara (APBD).
Bagaimana dengan Lamongan? Medio 2012 kemarin diributkan oleh sejumlah temuan LHP BPK RI, yang setidaknya menurut penulis belum menggembirakan dan tidak mencapai target. Atas realisasi APBD 2011, Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Lamongan Tahun 2011 mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Sejumlah pihak berpendapat, masih cukup bagus mendapatkan opini WDP. Mending daripada BPK menyatakan disclaimer (tidak berpendapat) akibat laporan keuangan yang tidak bisa dinilai menurut Standar Akuntansi Pemerintah. Ketika BPK menyatakan opini disclaimer, hampir dipastikan adanya permasalahan berat dalam pengelolaan keuangan daerah atau lembaga negara. Namun, bukankah Pemkab. Lamongan telah bertekad di awal tahun 2011 untuk menyabet predikat audit BPK atas pengelolaan keuangannya: Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)? Mengapa target predikat prestisius dalam pengelolaan keuangan daerah tersebut tidak tercapai?
Setidaknya, dengan membaca hasil pemeriksaan BPK atas pelaksanaan APBD Lamongan 2011, terungkap bagaimana kasus-kasus masa lalu masih membebani Kepala Daerah hari ini. Sementara dengan analisis atas LPJ APBD 2011, ternyata pengelolaan APBD kabupaten juga masih jauh untuk bisa dikatakan berkualitas.
Beban Kasus Masa Lalu
Sangat sulit bila hari ini ditargetkan adanya kemajuan kinerja Pemkab. Lamongan di dalam meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan daerah. Setdaknya dari catatan BPK 2011, masih banyak temuan kasus periode lalu yang belum tuntas dalam tindak lanjut (penyelesaian). Miliaran rupiah belum bisa dikembalikan ke kas daerah dari kasus-kasus yang bersumber dari APBD Lamongan.
Meski sejak tahun 2000 sudah diungkap BPK, Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset (DPPKA) Lamongan belum juga mampu menyelesaikan penagihan Rp. 592 juta kategori kredit bermasalah. Belum lagi kredit macet sebesar Rp. 1,3 miliar yang sepertinya tidak pernah diotik-atik Pemkab di waktu lalu hingga saat ini. Meski telah juga dipersalahkan publik, tidak ada sedikitpun sinyal positif dari Pabrik Pupuk Maharani, kasus Sapi bibit/kereman, apalagi dari Asosiasi Petambak Lamongan (ASPELA) yang sudah bisa dikatakan dalam kategori pengemplang utang.
Selain DPPKA, tentu patut disoroti adalah kinerja Dispertanhut, Dinas Perikanan, dan Dinas Peternakan Lamongan. Melihat macet penyelesaian kasus tersebut sejak tahun 2001, tentunya secara langsung berpotensi merugikan keuangan daerah. Hal ini tidak terjadi, bila Dinas-Dinas penanggung jawab proyek tidak selalu beralibi pada minimnya sumberdaya untuk menyelesaikan kasus yang ada.
Realisasi Nihil Prestasi
Sementara terhadap realisasi APBD 2011, dari sudut pandang temuan BPK RI maka salah satu temuan yang sangat memprihatinkan bagi kita adalah kasus di Dinas Pertanian dan Kehutanan. Dana bergulir penguatan modal kebun bibit Permanen sebesar Rp. 200 juta ternyata tidak diperuntukkan untuk masyarakat petani. Dana sebesar Rp. 200 juta malah hanya dikelola sendiri oleh pegawai Dinas Pertanian dan kehutanan. Kasus demikian tentu melanggar hukum, sangat disayangkan dan ironis bagi Dinas Pertanian dan Kehutanan sebagai ujung tombak kesejahteraan petani.
Target Pendapatan Asli Daerah (PAD) Lamongan 2011 tidak tercapai, dimana hanya terealisasi Rp. 99,5 miliar atau hanya tercapai 93% dari target Rp. 106 miliar. Hal ini jelas diakibatkan oleh rendahnya kinerja instansi pengumpul pendapatan daerah di lingkup Pemkab Lamongan.
Adalah bermasalah bila dari Pengelolaan WBL tahun 2011 hanya diterima Rp. 11,2 miliar. Jelas sulit diterima akal bahwa setelah ditargetkan penerimaan dari WBL Rp. 12,2 miliar, mengapa Pemkab. Lamongan sudah merasa puas dengan diberi penyisihan hasil WBL Rp. 11,2 miliar? Padahal jumlah tersebut adalah sama dengan penerimaan dari WBL pada Tahun 2010 silam.
Selain WBL, masih banyak aspek kinerja pengumpulan pendapatan daerah Lamongan yang sangat tidak proporsional, dan rawan tindak korupsi. Bila mau ditelusuri, dari retribusi sampai pajak daerah akan banyak ditemukan bagaimana realisasinya masih jauh dari potensi yang sesungguhnya.
Di sisi belanja daerah, hal yang tidak patut di tahun 2011 salah satunya pada belanja honor pegawai DPPKA. Untuk belanja honorarium, Dinas ini sampai merealisasikan 108,7 persen dari alokasi belanja. Selain melanggar aturan plafon tertinggi belanja, publik pasti berpendapat tidak pantas bila melambungnya belanja honorarium DPPKA ini, tidak diimbangi ketercapaian target Dinas ini dalam pengumpulan PAD.
Kenyataan demikian cukup paradoks dan irrasional di tengah alokasi dana untuk kebutuhan gaji maupun honor pegawai setiap tahun yang selalu naik 15%. Bertambah miris bila mengingat setiap tahun pula terjadi penurunan anggaran untuk sarana prasarana kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya, aparatur daerah wajib semakin bekerja keras mengumpulkan, dan penuh amanah mengelola APBD, karena di dalamnya terhimpun dana masyarakat, yang tidak ada peruntukan lain, kecuali untuk kesejahteraan masyarakat.
Dari temuan LHP BPK RI terhadap Laporan Keuangan Lamongan 2011, masih membuktikan bahwa tekad mendapatkan opini terbaik WTP masih jauh dari upaya nyata. Aparatur daerah masih bekerja layaknya ketika pencitraan kepemimpinan masa lalu yang bisa kukuh melindungi berbagai kekurangan mereka. Sementara saat ini, perputaran roda menjadikan semua pencitraan itu semakin menjadi beban. Wallahu ’alam bissawab..
*Pegiat advokasi kebijakan Anggaran di PRAKARSA LAMONGAN