Skip to main content

Jakarta, 3 Juli 2020

Padahal, RUU PKS sangat ditunggu-tunggu masyarakat sebagai bentuk perlindungan negara terhadap korban kekerasan seksual yang sudah pernah dibahas DPR periode sebelumnya.

Setelah resmi Badan Legislasi (Baleg) menyetujui usulan Komisi VIII mengeluarkan RUU Pengapusan Kekerasan Seksual dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, DPR menuai kecaman dari berbagai kelompok pegiat anti kekerasan seksual. DPR dinilai tidak peka terhadap kepentingan korban kekerasan seksual yang kerap dialami kalangan perempuan.

“Pencabutan RUU PKS dari Prolegnas makin memperlihatkan DPR tidak punya kepekaan terhadap korban. DPR seharusnya peka terhadap jeritan korban yang sudah mengalami kekerasan seksual,” ujar Koordinator Komite Pemilih (TePI) Indonesia, Jerry Sumampaw dalam konferensi pers Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD), Kamis (2/6/2020). GIAD terdiri dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat menyikapi nasib RUU PKS di DPR secara virtual.

Jerry mengaku tak habis pikir dengan sikap DPR yang mencabut RUU PKS dari daftar Prolegnas Prioritas 2020. Padahal RUU PKS merupakan warisan dari DPR periode 2014-2019. Dia menilai DPR memiliki dua kali rekor yakni tak mampu membahas RUU PKS. Di awal periode, DPR periode 2019-2024 malah sudah menunjukan ketidakmampuannya dalam fungsi legislasi terkait hajat hidup orang banyak

“DPR yang baru saja sudah tidak sanggup. Ini peristiwa demokrasi menyedihkan setelah pandemi Covid-19,” kata dia. (Baca Juga: Pentingnya Melanjutkan Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual)

Dia meyayangkan ketidakmampuan DPR membahas dan merampungkan RUU PKS. Padahal, DPR memiliki kewenangan yang besar untuk melaksanakan fungsi legislasi. Para pakar di bidang keilmuan masing-masing pun dapat dimintakan bantuan dan pendapatnya untuk merumuskan dan membahas RUU PKS secara baik.

Jerry mengaku khawatir dengan kinerja DPR periode 2019-2024 lantaran di tahun pertama sudah menunjukan kinerja yang menurun. Dampaknya kepercayaan masyarakat terhadap para wakil rakyat bisa semakin menurun. “Sebenarnya tak ada alasan DPR untuk mengelak tidak menuntaskan RUU PKS. DPR seharusnya mampu mengakomodir kepentingan para korban kekerasan,” katanya.

Manajer Riset Sekretariat Nasional (Seknas) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Baidul Hadi menilai penarikan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020 merupakan bentuk ketidaksiapan DPR dalam menetapkan jumlah RUU Prolegnas. Ironisnya, DPR yang menyusun, DPR pula yang mencabutnya dari prolegnas prioritas. Semestinya DPR melalui alat kelengkapannya dapat mengukur sesuai kemampuan dalam menyelesaikan pembahasan RUU.

“RUU PKS ini penting sekali sebagai bentuk perlindungan negara terhadap rakyat. Kalau tidak, ini menciderai rakyat. Komitmen ini menjadi penting agar masyarakat percaya wakil rakyat di Senayan,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti menilai mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020 sama halnya menunda pembahasan. Padahal, RUU PKS merupakan aturan yang ditunggu-tunggu masyarakat. Sebab, saat ini tidak ada payung hukum yang khusus dalam penanganan tindak pidana kekerasan seksual agar menimbulkan efek jera bagi pelakunya.

Sementara jumlah korban kekerasan seksual dari kalangan perempuan dan anak-anak tidaklah sedikit. Ray berpendapat DPR memiliki sikap yang tak wajar ketika RUU yang diharapkan masyarakat malah ditunda pembahasannya. Sementara RUU yang ditolak masyarakat, seperti RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) malah tetap bertahan di daftar Prolegnas Prioritas 2020.

Sementara peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius menilai DPR harus terus didorong membahas RUU PKS, bukan meminggirkan. Sebab, RUU PKS sudah dibahas sejak 2016-2019 oleh DPR periode sebelumnya. Namun dua tahun dalam status pembahasan, namun tak kunjung rampung. Masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020, DPR periode 2019-2024 pun di pertengahan tahun pertama sudah angkat “bendera putih”.

“Saya kira banyak kasus kekerasan yang harus dilihat oleh DPR. Ketika DPR tidak memberikan perhatian, kepedulian DPR itu kita dipertanyakan?”

Sebelumnya, Ketua Baleg Supratman Andi Agtas mengungkapkan alasan Komisi VIII meminta penarikan RUU PKS lantaran masih menunggu pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Sebab, dalam RKUHP mengatur penjatuhan hukuman pemidanaan bagi pelaku kejahatan kekerasan seksual.

Supratman berharap pasca RKUHP dirampungkan pembahasannya antara Komisi III dengan pemerintah, RUU PKS dapat lagi dimasukan dalam daftar Prolegnas prioritas. “Jadi itu alasannya kenapa Komisi VIII menarik RUU PKS,” ujarnya saat raker dengan pemerintah dan DPD belum lama ini.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5eff1e309dcef/keluarkan-ruu-pks–dpr-dinilai-tak-peka-terhadap-korban-kekerasan-seksual/

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.