Jakarta, 19 November 2021 – Kemiskinan ekstrem (kronis) menjadi isu yang kembali mengemuka akhir-akhir ini. Kemiskinan ekstrem adalah kondisi yang langka akan kebutuhan dasar manusia, termasuk makanan, air minum bersih, fasilitas sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan informasi. Pemerintah melalui berbagai kementerian, termasuk Kementerian Sosial serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, telah mencanangkan percepatan pengurangan kemiskinan ekstrem ini hingga “nol” pada 2024—sesuatu yang sangat ambisius di tengah pandemi Covid-19 yang masih belum jelas berakhir kapan. Dalam berbagai kesempatan, Menteri Desa Abdul Halim Iskandar atau Gus Menteri selalu mengkampanyekan bagaimana program, kegiatan, dan anggaran desa mampu mengatasi kemiskinan ekstrem tersebut.
Kemiskinan ekstrem di Indonesia pada September 2020 mencapai 10,2 juta jiwa, naik signifikan dibanding sebelum pandemi yang sebesar 8,2 juta jiwa pada 2019. Dari jumlah tersebut, sekitar 61,41 persen tinggal di desa dan selebihnya merupakan penduduk miskin kota. Rata-rata pendidikan tertinggi kepala rumah tangga miskin ekstrem hanya setingkat sekolah dasar (41,46 persen) dan tidak lulus sekolah dasar (28,09 persen). Pada aspek kesehatan dan infrastruktur dasar, kantong-kantong kemiskinan ekstrem menyumbang angka kematian bayi yang tinggi dengan kualitas sanitasi dan air bersih yang jauh dari layak.
Meski 46,91 persen penduduk miskin ekstrem diidentifikasi telah bekerja, mereka sebagian besar bekerja di sektor informal (72,37 persen) dan yang bekerja di sektor formal hanya 27,63 persen. Tiga sektor terbesar pekerjaan penduduk miskin ekstrem ini ada di sektor pertanian (55,22 persen), perdagangan (14,03 persen), dan industri (9,51 persen). Yang mengherankan, sebagian besar penduduk miskin ekstrem didominasi penduduk usia muda yang kurang dari 24 tahun. Jumlahnya sekitar 50,64 persen. Pada masa pagebluk Covid-19, belum semua penduduk miskin ekstrem (30,19 persen) menerima bantuan sosial karena berbagai hal dan kebanyakan karena dianggap tidak memenuhi persyaratan administratif (Bappenas, 2021).
Akuntabilitas sosial
Mengingat kemiskinan ekstrem sebagian besar terjadi di desa, Kementerian Desa mau tidak mau harus merespons dan mencari strategi agar bisa berkontribusi terhadap pengurangannya dan tidak bisa hanya mengandalkan program bantuan sosial. Penetapan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) di tingkat desa dan kawasan perdesaan memang diharapkan mampu menjadi motivasi akselerasi. Meski demikian, indikator-indikator yang ditetapkan dalam 18 tujuan SDGs desa terlihat masih mengambang dan sulit dicapai secara terukur dan akuntabel, apalagi tanpa pelibatan penuh masyarakat. Di sinilah konsep akuntabilitas sosial desa menjadi relevan.
Akuntabilitas sosial dalam konteks pembangunan desa dimaknai sebagai dorongan, keterlibatan, hingga kontrol warga desa untuk memastikan pelaksanaan program pembangunan dan anggaran desa lebih terukur dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan dan anggaran desa (Fitra, 2017). Posisi akuntabilitas sosial desa adalah penyempurna dari proses akuntabilitas vertikal yang selama ini dilakukan oleh pemerintah desa kepada supra-desa (pemerintah kabupaten dan pemerintah pusat) serta menjadi pelengkap akuntabilitas horizontal yang dilakukan pemerintah desa kepada badan permusyawaratan desa (BPD).
Akuntabilitas sosial untuk pengentasan kemiskinan ekstrem telah dipraktikkan melalui berbagai bentuk, seperti sekolah anggaran desa (Sekar Desa), pembentukan posko aspirasi dan pengaduan BPD, penyusunan maklumat pelayanan desa, serta jurnalisme warga. Sekar Desa merupakan wahana belajar bersama bagi warga desa, BPD, dan pemerintah desa tentang tata kelola pemerintahan serta anggaran desa yang baik. Tujuannya agar warga desa mampu terlibat bersama pemerintah desa dan BPD untuk menyelesaikan persoalan utama desa, khususnya pengurangan kemiskinan (ekstrem).
Keberadaan BPD, yang selama ini dianggap antara ada dan tiada, didorong untuk memainkan fungsi kontrol terhadap kinerja kepala desa dengan membentuk posko aspirasi dan pengaduan masyarakat. Berdasarkan praktik di lapangan, posko ini mampu menjangkau suara-suara kelompok rentan (miskin ekstrem) di desa yang selama ini tidak terdengar dan tak didengarkan, seperti kelompok perempuan miskin, orang lanjut usia, dan anak yang termasuk kategori kelompok miskin ekstrem di desa. Di sinilah BPD menjadi “kanal” atau bridging actors antara warga desa dengan kepala desa (pemerintah desa) dan supra-desa dalam merealisasi aspirasi mereka.
Selain jalur resmi di atas, akuntabilitas sosial juga dapat dilakukan dengan memperkuat warga desa melalui teknik-teknik jurnalisme (citizen journalism). Masyarakat dilatih oleh jurnalis profesional untuk menangkap realitas dan fakta kemiskinan ekstrem yang ada di desa menjadi berita atau foto dan video yang dimuat di media arus utama (Tempo Witness, 2019). Berita inilah yang diharapkan menjadi amplifier keseriusan pemerintah desa dan supra-desa dalam menjalankan program dan kegiatannya agar lebih akuntabel dan tepat sasaran. Jadi, jurnalisme warga merupakan alat kontrol masyarakat, partisipasi tertinggi dalam hierarki tangga partisipasi (Arnstein, 1969), terhadap proses dan pelaksanaan pembangunan di desa.
Pada akhirnya, kampanye dan strategi akselerasi pengurangan kemiskinan ekstrem yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Desa dan kementerian lainnya akan cepat menuai hasil apabila memperhatikan konsep akuntabilitas sosial, terutama di tingkat desa. Kementerian Desa dapat menjadi lokomotif pelembagaan dan replikasi praktik-praktik akuntabilitas sosial di seluruh desa di Indonesia. Caranya dengan menerbitkan regulasi dan memberikan dukungan anggaran yang memadai bagi implementasi akuntabilitas sosial desa tersebut.