Penyusunan anggaran dalam APBN dari tahun ke tahun belum menyentuh rakyat sepenuhnya. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) masih bernuansa kepentingan politik tertentu, baik pribadi, kelompok, maupun golongan yang dibawa oleh anggota Dewan tanpa memperhatikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Anggaran APBN bukan hanya sekedar perwujudan pengelolaan keuangan saja tetapi merupakan wujud dari kedaulatan rakyat.
Begitu pandangan Sekjend Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), Yenny Sucipto dalam Konferensi Persnya bertajuk “Kritik Terhadap DPR Dalam Kebijakan APBN” di Restoran Bumbu Desa Cikini, Jakarta, Senin (10/3). “Dalam praktik dilapangan, APBN lebih banyak dipenuhi oleh kepentingan politik ketimbang memperhatikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,” kata Yenny. Yenny melanjutkan, ada beberapa poin penting yang menjadi catatan pihaknya terhadap kerja DPR dalam melaksanakan fungsi budgeting dalam membuat kebijakan APBN. Pertama, DPR dinilai diam dan menyetujui kebijakan anggaran belanja yang tidak berpihak pada rakyat. Dewan tidak maksimal dalam melaksanakan fungsi budgetingnya karena meyetujui APBN sebagai produk kebijakan anggaran belanja yang tidak bersentuhan dengan rakyat. Kedua, DPR dinilai tidak menggunakan fungsi budgetingnya untuk mensejahterakan rakyat. Akibatnya terjadi ketimpangan alokasi dalam APBN seperti anggaran kesehatan berkisar 2 persen dari APBN, sektor pertanian hanya berkisar 3-4 persen dari APBN, infrastruktur hanya berkisar 10 persen sedangkan untuk cicilan dan bunga utang mencapai 20 persen. “Padahal kesehatan merupakan hak konstitusional rakyat yang harus diperjuangkan oleh DPR,” jelasnya. Ketiga DPR tidak berpihak pada rakyat hal ini dibuktikan lewat kebijakan pemerintah dalam menurunkan subsidi energiyang tidak diimbangi dengan kenaikan anggaran kesejahteraan sosial. DPR juga membiarkan alokasi subsidi non energy stagnan dan cenderung diturunkan. Bahkan DPR menyetujui pencabutan beberapa subsidi yang langsung menyangkut kehidupan rakyat miskin seperti subsidi kedelai dan minyak goreng. Keempat fungsi budgeting DPR dalam memperjuangkan kemandirian daerah dalam pembangunan dinilai tidak optimal. Menurut Yenny DPR menyetujui transfer daerah selama 5 tahun terakhir rata-rata hanya mencapai 31 persen, termasuk diulur-ulurnya pembahasan UU Pemda mengenai penyelenggaraan urusan sejak tahun 2009 dan UU perimbangan keuangan.
Kelima DPR dinilai tak pernah serius dalam melakukan pembahasan dalam pengelolaan BUMN, Yenny mengatakan DPR seolah-olah sengaja menjadikan BUMN sebagai “sapi perahan’ termasuk pengelolaan laba yang ditahan di BUMN sebesar Rp 407,5 triliun. Laba yang ditahan tersebut berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan karena tidak ada aturan atau regulasi yang jelas dalam pengelolaan laba untuk ekspansi tersebut.
Keenam, DPR seharusnya mampu melakukan tekanan terhadap pemerintah terkait laba yang ditahan. Yenny berpendapat laba yang ditahan tersebut mestinya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Setidaknya DPR dapat menarik laba yang ditahan pada tahun anggaran 2012 sebesar Rp 405,7 triliun untuk menutup defisit sebesar Rp 80 triliun dalam pembahasan APBN-P 2013. “ini tidak perlu ada justifikasi dengan menambah utang baru sebesar Rp 63,4.” Terangnya.
Ketujuh, DPR malah menyetujui kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dari pemerintah. Kedelapan, APBN dijadikan program dan proyek titipan oleh DPR untuk kepentingan politik. Buktinyam ada kenaikan dana optimalisasi hingga mencapai Rp 26,9 triliun dari Rp 13 triliun, kenaikan dana penyesuaian hingga mencapai Rp 87,9 triliun pada APBN 2014. “Kenaikan dana ini dilakukan tanpa dibarengi dengan evaluasi penggunaan oleh K/L di tahun sebelumnya dan tanpa dasar yang jelas dalam penetapannya,” tegas Yenny. Dengan demikian FITRA menghimbau masyarakat untuk memliih wakil rakyat yang berkualitas dan mempunyai kemampuan serta keberpihakan dalam merumuskan kebijakan APBN yang berpihak pada rakyat dan tidak memilih caleg yang tidak memiliki kualitas dalam menjalankan fungsi budgeting.
Redaksi : FITRA