Oleh: Ray Rangkuti (Direktur LIMA), Badi’ul Hadi (Manager Riset, Seknas FITRA), Arif Susanto (Pengamat Politik), Arif Nur Alam (Direktur IBC), Kaka Suminta (Koordinator KIPP), Alvin Nicola (Peneliti TII).
DPR telah memutuskan untuk merevisi dua UU. Yakni UU MD3 dan UU KPK. Berbeda dengan UU MD3 yang memang ramai dibicarakan bukan ini, revisi UU KPK seperti dipaksakan. Sama sekali tidak ada informasi apapun soal rencana revisi ini. Dan tak berhenti di situ, DPR bahkan menjanjikan revisi UU ini dilaksanakan dalam 3 minggu ke depan.
Kalau dicermati, proses pengajuan dan penetapan revisi tidak sesui dengan ketentuan penyusunan peraturan perundang-undangan. Selain itu, poin revisinya jelas bertujuan untuk melemahkan KPK.
Melihat ancaman kepada KPK yang terstruktur, sistematis dan masif maka kami Koalisi Masyarakat Madani Penyelamat KPK dengan tegas menolak keputusan DPR dan Pemerintah untuk merevisi UU KPK.
Setidaknya ada dua alasan penolakan:
1. Dasar penetapan revisi KPK melalui rapat paripurna layak dipertanyakan keabsahannya. Revisi UU KPK tidak termasuk dalam prolegnas 2019. Sesuai dengan UU MD3 dan Tatib DPR, semua RUU yang akan dibahas di DPR harus terlebih dahulu dimasukan ke dalam prolegnas. Faktanya, revisi UU KPK tidak masuk dalam Prolegnas 2019. Jika DPR menganggap sah memasukan revisi karena adanya putusan MK tentang KPK, maka atas argumen ini bertentangan dengan cakupan pembahasan revisi UU KPK.
Sejatinya revisi UU KPK hanya yang menyangkut soal putusan MK, khsusnya berkenaan dengan status lembaga KPK yang jadi bagian eksekutif. Faktanya, revisi juga menyangkut soal penyadapan, dewan pengawas, SP3, defenisi penyidik, dan lainnya. Jelas ini telah melampaui kehendak dilaksanakannya revisi. Ini bukan lagi soal adanya keputusan MK, tapi merombak pasal penting dan subtantif dari UU KPK.
Selain itu, rapat paripurna DPR yang hanya dihadiri oleh sekitar 82 anggota DPR secara fisik tentu tidak dapat disebut quorum. Sekalipun ada pengakuan pimpinan sidang bahwa yang telah menandatangi kehadiran sekitar 302 anggota, tentu saja perlu dilihat bukti nyatanya. Jika tanda tangan ini tidak dapat dibuktikan maka status rapat paripurna kemarin tidak dapat dinyatakan sah. Putusan yang ditetapkan dalam rapat yang tidak sah adalah tidak sah. Rapat ini sama sekali tidak memperdengarkan pandangan atau sikap fraksi-fraksi. Padahal nama rapatnya adalah mendengar pandangan fraksi-fraksi atas rencana revisi 2 UU tersebut. Dengan berbagai fakta ini, keabsahan rapat paripurna penetapan revisi UU KPK layak diragukan.
2. Waktu yang tersedia hanya kurang dari 3 Minggu. Padahal, ada sekitar 4 poin besar dalam UU KPK yang akan direvisi. Empat poin ini mengandung puluhan pasal dalam UU KPK. Maka revisi macam apa yang terjadi di mana waktu untuk membahasnya hanya 2 Minggu? UU KPK ini adalah UU yang mendapat perhatian penuh masyarakat. Maka membahas revisi UU ini sudah sejatinya harus melibatkan banyak pihak dan lembaga. Dan ini juga dinyatakan di dalam UU MD3 dan Tatib DPR.
Revisi UU yang mendapat sorotan negatif secara luas dari masyarakat, lalu bisa diputuskan dalam 2 Minggu, hanya bisa terjadi di era otoritarian. Di mana aturan publik ditentukan oleh mereka yang berkuasa.
Maka dengan semua pertimbangan di atas, Koalisi Masyarakat Madani Penyelamatl KPK mendesak:
1. DPR menghentikan rencana revisi UU KPK karena tidak taat prosedur pengajuan revisi UU. Apalagi subtansi revisi yang dimaksud lebih banyak melemahkan cara dan mekanisme pemberantasan Korupsi di Indonesia.
2. Meminta Presiden menolak revisi UU KPK karena berlawanan dengan Nawacita yang diusung Presiden, membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, serta menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
3. Meminta Presiden tidak mengeluarkan Surat Presiden (Supres) karena rencana Revisi UU KPK Cacat hukum dan cacat Prosedur.
4. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama melakukan penolakan upaya-upaya pelemahan KPK