Jakarta, 1 Juli 2020
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengaku jengkel lantaran jajaran menterinya masih bekerja biasa di tengah pandemi Covid-19. Salah satu yang menjadi sorotan bekas Gubernur DKI Jakarta itu adalah belanja kementerian yang masih biasa-biasa saja.
“Saya lihat laporan masih biasa-biasa saja. Segera keluarkan belanja itu secepat-cepatnya. Karena uang beredar akan semakin banyak, konsumsi masyarakat nanti akan naik,” ujar Jokowi dalam Sidang Kabinet Paripurna yang digelar secara tertutup pada 18 Juni 2020. Video rekaman pidato Jokowi ini baru diunggah ke YouTube resmi Sekretariat Presiden kemarin, Ahad, 29 Juni 2020.
Melihat serapan yang belum maksimum itu, Jokowi pun meminta belanja kementerian dipercepat. Bahkan, ia meminta jajarannya mengeluarkan aturan menteri apabila menemui hambatan. Jokowi menyatakan siap mengeluarkan Peraturan Presiden apabila dibutuhkan demi pemulihan ekonomi nasional.
Belanja kementerian yang menjadi sorotan Jokowi antara lain di bidang kesehatan yang dianggarkan Rp 75 triliun. Saat ini, baru 1,53 persen dari alokasi dana tersebut yang sudah disalurkan. Belum lagi dana bantuan sosial yang belum 100 persen disalurkan.
“Uang beredar di masyarakat ke-rem ke situ semua. Segera itu dikeluarkan dengan penggunaan-penggunaan yang tepat sasaran sehingga men-trigger ekonomi,” tutur Jokowi.
Di bidang ekonomi, Jokowi menyoroti stimulus yang belum tersalurkan kepada dunia usaha, baik industri, pengusaha besar, hingga pengusaha mikro, kecil, dan menengah. Ia mengatakan para pelaku sudah sedang menanti adanya bantuan tersebut.
“Jangan sudah PHK gede-gedean, duit serupiah pun belum masuk ke stimulus ekonomi kita. Hanya gara-gara urusan peraturan, urusan peraturan. Ini extraordinary,” kata dia. Saking jengkelnya, ia pun mengatakan bisa melakukan hal-hal luar biasa untuk membereskan masalah itu, mulai dari membubarkan lembaga hingga mengocok ulang kabinet. “Saya sudah kepikiran ke mana-mana.”
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penyebab lambatnya realisasi anggaran kesehatan untuk penanganan dampak virus Corona antara lain sistem birokrasi di Indonesia yang menuntut para birokrat untuk tidak sembarangan dalam mengeksekusi anggaran.
“Biasanya yang berniat baik paling khawatir, kalau memang niat maling tetap saja kerja keras, kalau baik sangat hati-hati dan menjadi dilema kami,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 29 Juni 2020.
Dia mengatakan lambatnya proses tersebut menjadi alasan Presiden Joko Widodo atau Jokowi geram. Kegeraman itu, kata dia, adalah untuk meyakinkan jajarannnya berani mengambil sikap tegas dan cepat di tengah masa krisis seperti saat ini.
Saat ini, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 untuk mengakselerasi belanja negara terkait penanganan pandemi Covid-19 dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Ketentuan khusus yang diatur terkait Program PEN adalah pemberian kewenangan pada Menteri Keuangan (Menkeu) untuk melakukan pergeseran rincian belanja negara dan pembiayaan anggaran.
“Perpres 72/2020 ini berlaku sejak diundangkan pada tanggal 25 Juni 2020,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari dalam keterangan tertulis, Rabu, 1 Juli 2020. Namun demikian, tuturnya, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Perpres Nomor 54 Tahun 2020, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan.
Pada perkembangan berikutnya, kata Rahayu, Kementerian Keuangan memperkirakan outlook defisit Perubahan Anggaran Pendapan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2020 diperkirakan lebih tinggi dari Perpres 54/2020. Mulanya, defisit diprediksi 5,07 persen PDB pada Perpres 54/2020 dan diperkirakan menjadi 6,34 persen.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi anggaran kementerian/lembaga sampai Mei lalu naru mencapai 10,41 persen dari anggaran yang dialokasikan dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020. Pada periode yang sama tahun lalu, realisasi anggaran berhasil mencapai 18,86 persen.
Adapun kementerian dengan penyerapan paling rendah per Mei 2020 lalu antara lain Kementerian Sosial, yaitu 0,89 persen. Berikutnya, Kementerian Kesehatan tercatat 2,17 persen, Kementerian Agama 2,19 persen, Kementerian Keuangan 3,43 persen dan Kementerian Pertanian 9,32 persen.
Persoalan serapan tersebut juga dikeluhkan oleh Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Kamdani. Shinta mengatakan hingga saat ini masih banyak pelaku usaha yang belum memperoleh manfaat stimulus dari pemerintah. Salah satu evaluasinya adalah aturan teknis pendistribusian stimulus banyak yang tidak keluar atau terlambat keluar.
“Stimulus keringanan pajak misalnya, baru bisa kami klaim sekitar satu bulan setelah stimulus fiskal diumumkan pada April,” ujar Shinta. Belum lagi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11 Tahun 2020 yang seharusnya efektif memberikan stimulus kredit, pelaksanaannya di lapangan sangat lambat dan sangat terkendala akibat bottleneck di sektor perbankan nasional.
Shinta menyoroti langkah pemerintah yang tidak menyokong perbankan secara untuk mendistribusikan stimulus kredit. Akibatnya, banyak pelaku usaha yang membutuhkan restrukturisasi dan modal segar tidak memperoleh manfaat. Ia pun mengatakan masih banyak UMKM yang mengeluhkan adanya tagihan pembayaran bunga dan cicilannya atau permohonan restrukturisasi-nya tidak berjalan lancar.
Ke depannya, ia berharap pemerintah melakukan terobosan dalam pelaksanaan stimulus, sehingga bisa lebih cepat dan tepat sasaran. Pertama, ia mengatakan peraturan teknis pendistribusian dan pelaksanaan stimulus di lapangan harus diselesaikan setidaknya dalam satu hingga dua pekan setelah stimulus diumumkan sehingga waktu jedanya tidak terlalu lama.
Kedua, perlu ada transparansi dan sosialisasi yang memadai dari pemerintah kepada pelaku usaha terkait bagaimana cara memperoleh stimulus tersebut. Ketiga, harus ada target pencairan stimulus kepada lembaga-lembaga pelaksana agar distribusi stimulus menjadi terukur dan lebih cepat cair. Keempat, perlu ada penyederhanaan mekanisme distribusi stimulus sehingga lebih langsung dan cepat kepada pelaku usaha.
Terkait kejengkelan sang presiden, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan menilai pengendalian program dan serapan anggaran memang menjadi salah satu kelemahan pemerintahan Jokowi saat ini. Ia menilai Kantor Staf Presiden yang seharusnya memiliki peran untuk mengingatkan kementerian dan lembaga yang berkinerja kurang baik, justru seakan lumpuh.
Misbah melihat hampir semua kementerian dan lembaga saat ini serapannya rendah. Padahal, menurut dia, anggaran yang berkenaan dengan tenaga kesehatan, jaring pengaman sosial, atau infrastruktur dasar bisa disegerakan realisasinya. “Rendahnya serapan anggaran, pasti mempengaruhi pencapaian outcome program.”
Rendahnya serapan anggaran ini, tutur Misbah, adalah tanggung jawab Jokowi selaku presiden. Menurut dia, kepala negara mestinya bisa mendelegasikan mandatnya kepada Wakil Presiden bersama KSP dan Menteri Keuangan untuk melakukan pengendalian program dan anggaran lebih ketat. Peran itu tampak belum terlihat.
Ke depannya, ia menyarankan agar sistem pengadaan barang dan jasa disederhanakan di masa pandemi. kata dia, perlu kerja bersama antara kementerian dan lembaga dengan LKPP, dengan tetap mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Direktur Riset Center of Reform on Economy (CORE) Piter Abdullah Redjalam mengatakan belanja pemerintah saat ini tidak dapat menahan lagi pelambatan pertumbuhan ekonomi Tanah Air akibat pandemi. Termasuk juga dengan adanya bantuan sosial dan bantuan kepada dunia usaha.
Namun, ia mengatakan penyaluran bantuan-bantuan itu tetap dinanti-nanti lantaran menjadi kebutuhan masyarakat. “Lambat realisasi bantuan sosial dan kesehatan disesalkan lebih dikarenakan bantuan tersebut dibutuhkan masyarakat banyak. bukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi,” ujar Piter. “Bantuan kepada dunia usaha diharapkan dapat cepat untuk membantu agar dunia usaha tidak keburu bangkrut.”
Untuk itu, Piter mengatakan saat ini semua kementerian hendaknya fokus mencari terobosan dan mengambil kebijakan untuk mengatasi dampak dari pagebluk tersebut. Kalau memang persoalan menteri atau kepala lembaga menjadi penyebab utama lambatnya serapan pemerintah itu, maka ia mengatakan pergantian menteri bisa menjadi solusi untuk mempercepat belanja tersebut.
Sumber: https://fokus.tempo.co/read/1360124/lambatnya-penyerapan-anggaran-dan-kejengkelan-jokowi?page_num=1