Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN pada Rabu, 11/9 menggelar Diskusi Tematik dan Jumpa Pers APBN Konstitusi Tahun Anggaran 2014. Diskusi tersebut dihadiri oleh beberapa LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk APBN Kesejahteraan diantaranya IGJ, Perkumpulan Prakarsa dan Koalisi Anti Utang (KAU) Diskusi tersebut juga dihadiri oleh Komisi XI DPR RI Arif Budimanta.
Dalam Diskusinya Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan menyampaikan beberapa fokus perhatian pada Pemerintah untuk penyusunan APBN Konstitusi Tahun Anggaran 2014 sebagai landasan untuk mendorong perumusan kebijakan APBN yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. “ Kami dari Koalisi Masyarakat Sipil memandang APBN versi pemerintah selama ini disusun hanya sekedar menjalankan ritual tahunan saja tanpa orientasi yang jelas untuk memenuhi nilai-nilai konstitusi”, terang Dani Setiawan dari Koalisi Anti Utang (KAU)
Desain anggaran belum ditujukan untuk mendorong kemajuan bangsa dan mensejahterakan rakyat banyak. Sebaliknya, korupsi anggaran yang semakin marak, inefektif dan inefesien dalam pengelolaan anggaran, menunjukan bahwa APBN yang disusun masih untuk kepentingan segelintir elit dan tidak menjawab persoalan mendasar rakyat Indonesia.
APBN gagal berperan optimal untuk mendorong perekonomian, Apalagi untuk menjawab kondisi makroekonomi Indonesia yang saat ini bisa disebut layaknya fatamorgana. Tingginya pertumbuhan ekonomi tidak ada artinya jika sebagian besar masyarakat tidak memperoleh kesejahteraan, “Akibat makin tingginya ketimpangan pendapatan atau indeks gini ratio yang mencapai 0,41 serta ketimpangan antar wilayah/pulau di Indonesia, Sebagaimana terlihat dari perbandingan antara kontribusi Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa terhadap PDB. Dalam hal ini kami mendapat lima hal yang menjadi fokus perhatian dalam penyusunan APBN Konstitusi 2014 diantaranya :
1. Kondisi perekonomian global yang tidak menentu mempengaruhi kondisi perekonomian dalam negeri. Pentingnya pondasi perekonomian yang kuat, baik dari sisi pertumbuhan ekonomi maupun pergerakan sektor riil, amat menentukan perkembangan perekonomian nasional selanjutnya. Pertumbuhan secara sektoral menunjukkan pertumbuhan yang fluktuatif baik dari sektor tradeable dan non-tradeable, tapi secara umum sektortradeable makin ketinggalan pertumbuhannya ketimbang non-tradeable. Terlihat adanya ketimpangan pada ekspor-impor nasional jika dilihat dari kontribusinya terhadap PDB. Kontribusi ekspor terhadap PDB yang berada di atas 30% sejak 2006 (31,03%) melemah menjadi 24,62% (2012). Sebaliknya, impor cenderung mengalami peningkatan kontribusi terhadap PDB. Pada 2012 kontribusi impor terhadap PDB mencapai 25,81% (BPS, 2013)
2. Desain defisit anggaran. Anggaran nasional sangat bergantung pada utang yang membebani ruang fiskal pada masa yang akan datang. Dalam APBN 2012, defisit anggaran mencapai Rp 190,1 triliun, dengan persentase 2,23% terhadap PDB. Rasio utang yang sekarang sudah berada di kisaran 24% terhadap PDB. Seperti tahun-tahun sebelumnya, defisit anggaran ini dilakukan di atas inoptimalisasi penerimaan dan inefisiensi belanja. Dari sisi penerimaan, tax ratio sangat rendah (sekitar 12%), sedangkan dari sisi belanja didominasi oleh pengeluaran birokrasi (pegawai dan barang).
3. Masalah pengangguran dan kemiskinan. Dibandingkan dengan beberapa negara di kawasan Asia, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia, sebesar 6,1% pada 2012 masih cukup tinggi. Hanya Filipina yang tingkat penganggurannya lebih besar, yakni 6,90%. Lainnya, tingkat pengangguran terbuka sangat rendah, seperti Hong Kong (3,20%), Korea Selatan (3,10%), Malaysia (2,80%), Vietnam (2,30%), Singapura (2%), dan Thailand (0,92%). Jadi, meski pengangguran terbuka mengalami penurunan tiap tahun, tapi belum mampu mengimbangi kinerja negara-negara lain sekawasan.
Tingkat kemiskinan. Perlambatan pembangunan di pedesaan menjadikan kantong-kantong kemiskinan banyak terdapat di pedesaan. Pada 2012 tingkat kemiskinan sebesar 11,66% yang menurun jika dibandingkan dengan 2011 sebesar 12,49%. Kemiskinan di kota sebesar 8,78%, sedangkan kemiskinan di desa sebesar 15,12%. Penurunan kemiskinan tersebut mendapatkan kritik tajam karena menggunakan ukuran garis kemiskinan yang sangat rendah. Jika garis kemiskinan dinaikkan 1,2 kali saja dari garis kemiskinan, maka persentasenya naik dua kali lipat. Jika menggunakan patokan Bank Dunia (pendapatan US$ 2/hari), maka penduduk miskin sebanyak 50%. Dalam asumsi kemiskinan APBN Konstitusi 2014 ini dipakai garis kemiskinan 1,2 kali dari patokan BPS. Kemiskinan itu masih diikuti dengan ketimpangan pendapatan yang biasa diukur dengan rasio gini. kinerja perekonomian nasional yang tumbuh di atas 6% ternyata justru menjadi pemicu ketimpangan pendapatan. Pada 2011-2012 rasio gini mencapai 0,41%, padahal sebelum SBY menjadi presiden pada 2004 rasio gini hanya sebesar 0,32.
4. Masalah daya saing dan inovasi. Indonesia memiliki potensi ekonomi yang luar biasa, namun peringkat daya saingnya masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Data daya saing Indonesia melorot pada posisi ke-50 pada tahun 2012/2013 dan berada di bawah beberapa negara ASEAN.
5. Masalah sektor perbankan. Dorongan percepatan ekonomi sangat tergantung dari kucuran modal, yang salah satunya berasal dari sektor perbankan. Sayangnya, kinerja perbankan masih memerlukan banyak perbaikan agar langsung menggerakkan roda perekonomian. Komitmen sektor perbankan untuk membiayai UMKM juga rendah dibandingkan dengan negara lain. Saat ini kredit yang disalurkan ke UMKM hanya sekitar 21% dari total kredit perbankan.
Didasari sejumlah persoalan itulah Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan memandang penting untuk terlibat dan mendorong perubahan kebijakan dalam pembahasan APBN antara pemerintah dan DPR melalui penyusunan APBN Konstitusi 2014” Tutur Lukman Hakim Research Officer FITRA sambil menutup forum diskusi tersebut.
Redaksi : FITRA