Skip to main content

Ketua Panitia Khusus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Dewan Perwakilan Daerah (Pansus BLBI DPD), Bustami Zainudin, meminta negara tak boleh tunduk dan kalah dengan para obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mempunyai utang kepada rakyat Indonesia.

“Saya kira, negara tidak boleh kalah dengan obligor BLBI yang sejak lama menikmati fasilitas negara,” kata Bustami dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, akhir pekan lalu.

Pemerintah, katanya, harus memperkuat taring demi rakyat, dengan mewajibkan para obligor segera membayar utangnya kepada negara.

BLBI, papar Bustami, merupakan bentuk penjarahan uang rakyat sehingga wajib hukumnya bagi para obligor membayar utang mereka. Apalagi sudah 25 tahun sejak 1988-2023, para obligor menikmati kemurahan hati negara.

Praktik curang obligor itu telah menjadikan BLBI sebagai skandal keuangan terbesar dalam sejarah negara yang memberatkan keuangan negara. Sebab hingga detik ini, pemerintah terus menanggung beban bunga yang ditimbulkan dari pemberian fasilitas BLBI tersebut.

“Kalau negara tidak serius mengejar para obligor ini, negara tidak adil terhadap rakyatnya. Kalau rakyat tidak terima, bisa bahaya,” tutur Bustami.

ementara itu, Staf Ahli Utama Pansus BLBI DPD, Hardjuno Wiwoho, menambahkan, skandal BLBI merupakan penjarahan uang rakyat secara besar-besaran oleh para elite. Karena itu, negara wajib bekerja maksimal agar uang negara yang dijarah itu dikembalikan ke kas negara.

Fasilitas BLBI yang diterima oleh para obligor ini merupakan uang rakyat diambil dari pajak. Karena itu, sudah selayaknya dana sebesar itu dapat dinikmati oleh rakyat kecil melalui pembagian kue pembangunan.

“Jangan biarkan maling uang negara tidur nyenyak. Usut tuntas, penjarakan, dan miskinkan,” tegas Hardjuno.

Memperkaya Obligor

Pengamat politik dari Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, Umar Sholahudin, yang diminta pendapatnya mengatakan selain piutang negara BLBI yang harus dikejar ke obligor/debitor, kebijakan pembayaran bunga obligasi rekap BLBI juga harus dimoratorium karena sudah menyimpang dari tujuan awal penyaluran BLBI. Kalau pemerintahan Presiden Jokowi berani melakukan itu maka akan meninggalkan warisan yang dapat mendukung ketahanan ekonomi guna mencapai target-target pembangunan.

“Pembayaran bunga itu harus dihentikan (moratorium) karena melenceng dari kebijakan awal BLBI itu sendiri. Likuiditas disalurkan agar bank-bank tidak runtuh, bukan untuk memperkaya obligor,” kata Umar.

Di sisi lain, pihak berwenang harus terus memburu para obligor nakal agar mereka membayar utangnya kepada negara. Apalagi negara sedang butuh pembiayaan mendanai pembangunan.

“Jika para obligor terus mengemplang, dapat dilakukan tindakan hukum/diproses secara hukum. Jika perlu pansus menyita aset-aset para obligor. Perburuan utang para obligor atau dana BLBI dapat dijadiken income negara di tengah krisis keuangan saat ini,” katanya.

Secara terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, mengatakan penyelesaian BLBI akan membuat negara memiliki martabat di depan rakyat. Ada begitu banyak masalah di negeri ini seperti stunting yang belum diselesaikan salah satunya karena anggaran terbatas. Namun demikian, di saat yang sama negara mengeluarkan anggaran puluhan triliun rupiah untuk membayar bunga rekap yang dinikmati oleh para konglomerat.

“Konglomerat disubsidi dan kalau kita lihat prosesnya konglomerat yang terima rekap itu juga konglomerat yang tidak mengembalikan utang BLBI. Jadi, dobel-dobel dosanya pada rakyat,” kata Maruf.

Bank-bank yang ditempatkan obligasi rekap saat itu, kini sudah untung besar, sehingga tidak ada alasan pembayaran bunga rekap terus dilanjutkan. “Setop atau minimal moratorium dulu sampai duduk perkara di dewan, di Pansus BLBI clear,” tandas Maruf.

Sementara itu, Peneliti Pusat Riset dan Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Bengkayang, Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut, menegaskan negara mempunyai kewajiban untuk bersikap adil dengan mengedepankan kepentingan rakyat umum dari pada kepentingan pihak-pihak tertentu, apalagi kepentingan pihak-pihak tertentu tersebut memberi dampak yang buruk terhadap bangsa.

Dalam konteks piutang BLBI, pemerintah sudah membuat Satgas BLBI, namun sampai saat ini taringnya belum kelihatan, masih terkesan lamban dalam menjalankan tugasnya menagih dan mengembalikan uang negara dari para debitur nakal yang mengambil uang negara.

Perlu ada langkah yang konkret dari pemerintah dan juga Satgas BLBI dalam menuntaskan hal tersebut.

Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan masa kerja Satgas BLBI segera berakhir pada 31 Desember 2023. Meski sudah ada capaian, namun secara keseluruhan masih jauh dari target yang selama ini sudah ditetapkan. Satgas, jelasnya, mengeklaim sudah menyita aset sekitar 27,75 persen setara 30,65 triliun rupiah dari total nilai aset piutang BLBI.

Dengan sisa enam bulan masa kerja maka Satgas harus memiliki skala prioritas agar sekitar 70 persen aset obligor BLBI bisa ditarik.

“Obligor BLBI harus ditindak tegas agar mereka tidak menganggap negara kecil di mata mereka,”

Badiul Hadi, Manager Data dan Riset Seknas FITRA

Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, mengatakan sangat penting sekali menjaga muruah negara di hadapan obligor BLBI, terutama yang belum menyelesaikan kewajibannya ke negara. “Pemerintah harus berani mendorong penghapusan bunga obligasi yang terus bertambah,” katanya.

Sumber: https://koran-jakarta.com/negara-tidak-boleh-kalah-oleh-obligor-blbi?page=all