Oleh: Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) merupakan mandat Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. KEM PPKF sebagai pendahuluan rancangan APBN Tahun anggaran berikutnya. Saat ini Indonesia sedang menghadapi berbagai permasalahan perekonomian. BPS menghitung petumbuhan ekonomi perdana 2025 hanya pada angka 4,87 persen. Angka ini lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama sebelumnya (Tempo.CO.7/5/2025). Tidak hanya disitu, terjadi penutupan sejumlah pabrik diantaranya Sritex Group, PT Sanken Indonesia, Yamaha Music, KFC Indonesia, PT Danbi International, PT. Bapintri, PT Adis Dimension Footwear, PT Victory Ching Luh. Penutupan ini berdampak dapa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di berbagai daerah (Kompas.com.10/3/2025). Kementerian Ketenagakerjaan mencatat angka PHK mencapai 24.036 orang selama Januari hingga April 2025 (Kompas.com-6/5/2025).
Utang Pemerintah per Januari 2025 naik sekitar 1,22% dari Desember 2024 sebesar Rp. 8.801,09 T menjadi Rp. 8.909,14. (Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko). Selain itu pada Triwulan I APBN mengalami defisit sebesar Rp.104 T atau 0,4% dari PDB. Pemerintah terpaksa menarik utang baru pada Maret 2025 sebesar Rp. 250 T untuk menutupi defisit. Jatuh tempo utang Indonesia Tahun 2025 sebesar Rp800,33T (Kontan/10/4/2025). Berbagai permasalahan ekologi terjadi akibat berbagai kebijakan agresif dalam sektor minerba. Kondisi ini diperparah dengan berbagai kebijakan populis salah satunya MBG yang menyerap anggaran besar namun belum mampu memberikan multiplier effect untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pendirian Danantara dan rencana pembentukan koperasi merah putih juga menyerap banyak anggaran. Kondisi global juga turut memperparah, dimana terjadi distrupsi rantai pasok akibat kebijakan tarif agresif Amerika Serikat.
Rabu, 20 Mei Pemerintah bersama DPR RI membahas KEM PPKF. Terdapat 8 strategi jangka menengah yaitu 1. Mempercepat Ketahanan Pangan; 2. Mewujudkan Ketahanan Energi; 3.Memperkuat efektivitas program MBG; 4. Menghadirkan pendidikan yang bermutu dan berdaya saing; 5. Menghadirkan pelayanan kesehatan yang berkualitas; 6.Memperkuat pembangunan desa serta Koperasi dan UMKM; 7. Memperkuat Pertahanan Semesta; dan 8. mengakselarasi investasi dan peningkatan daya saing perdagangan global dalam global value chain yang lebih kuat. Dengan kondisi beban APBN yang semakin berat dan penurunan pendapatan negara Pemerintah masih terlihat ambisius menargetkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2026 pada kisaran 5,2 % hingga 5,8%. Penurunan angka kemiskinan dalam rentang 6,5%-7,5%. Tingkat pengangguran terbuka 4,44%-4,96%. Perbaikan Rasio Gini 0,379-0,382 dan Indeks Modal Manusia (IMM) sebesar 0,57% (Pidato Menteri Keuangan, Pengantar dan Keterangan Pemerintah atas KEM PPKF Tahun 2026). Terkait KEM PPKF Tahun 2026 berikut tanggapan FITRA.
- Pendapatan Pajak
Melihat proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2026, 5,2-5,8% mencerminkan optimisme hati-hati. Indonesia harus bersiap dalam menghadapi kelesuhan ekonomi global, karena akan berpengaruh pada eksport dan import, sehingga menurunkan pendapatan korporasi yang implikasinya mengarah pada penurunan PPh Badan. Sebagai gambaran, pada tahun 2024, penerimaan PPh Badan senilai Rp 335,8 T. Kondisi tersebut mengalami kontraksi sebanyak 18,1% dibandingkan dengan kondisi tahun 2023.
Berdasarkan data Kemenkeu, per Maret 2025, pendapatan Negara hanya Rp 516,1 T atau 17,2% dari total pendapatan. Sedangkan April 2024, pendapatan negara telah mencapai 19 % dari total pendapatan atau mencapai Rp 619 T. Dengan kinerja pendapatan yang buruk terdapat selisih pendapatan dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 103,6 T di tahun 2025. Rendah penerimaan negara di April 2025 mengoreksi pendapatan kisaran 2% dari kinerja pendapatan April tahun 2024. Situasi korektif di atas dampak dari belum siapnya pemerintah dalam merespon konstalasi global. Akibatnya seperti yang terjadi di tahun 2025. Kinerja penerimaan negara tidak maksimal.
Selain itu, karena pendapatan negara banyak bersumber dari komoditas dan potensi yang terdampak pada konstalasi global. Di sisi lain, situasi global penuh dengan ketidakpastian. Oleh karena itu fokus utama adalah memperluas basis pajak domestik secara berkelanjutan, meningkatkan kepatuhan, serta mengembangkan sumber-sumber perpajakan baru yang adil dan berwawasan lingkungan. Selain itu, ketergantungan pada sektor perkebunan dan pertambangan perlu diimbangi dengan diversifikasi berbasis pajak dan reformasi administrasi untuk menjaga stabilitas pendapatan negara.
Di sisi lain, upaya pemerintah dengan kebijakan efesiensi, secara prinsip sudah tepat. Namun, pemerintah mengeluarkan kebijakan efesiensi secara sporadis dan reaksioner. Sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Perlu juga mendefinisi ulang kebijakan tersebut untuk lebih afirmatif dan moderat sehingga dapat mengantisipasi kelesuan ekonomi.
Sementara itu, dari domestik, tantangannya diantaranya berasal dari pergeseran struktur perekonomian konvensional ke ekonomi digital yang belum sepenuhnya terakomodasi oleh sistem perpajakan, serta dominasi sektor informal dengan semakin meningkatnya peran sektor jasa. Struktur ekonomi Indonesia semakin digital dan informal. Sistem perpajakan belum responsif terhadap perkembangan ekonomi digital dan sektor informal yang besar. Pendekatan insentif pada pelaku UMKM yang banyak bergerak dalam sektor informal perlu dilakukan agar masuk ke sistem formal. Untuk itu perlu didorong dengan mengintegrasikan NIK dengan sistem e-commerce, dan dompet digital untuk pelacakan pajak.
- Pendapatan PNBP
Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Tahun 2026 diarahkan untuk optimalisasi pendapatan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan, serta menyediakan layanan publik yang berkualitas dan terjangkau bagi masyarakat. Menurut Seknas Fitra, proyeksi ini terkesan kontradiktif. Sebab, postur PNBP masih bersumber dari komoditas Sumber Daya Alam (SDA). Semakin besar target PNBP, semakin besar insentif pemerintah untuk mengeksploitasi SDA. PNBP berbasis SDA cenderung menggunakan logika ekonomi pasar, yaitu lebih banyak dieksploitasi yang berdampak pada kerugian ekonomi dalam jangka panjang dan rentan terjadi bencana ekologi. Untuk meminimalisir dampak ekploitasi sumber daya alam. Pemerintah sejatinya telah melalukan upaya, salah satunya menaikan tarif royalti. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2025 tentang Penyesuaian Tarif Royalti Mineral dan Batu Bara (Minerba). Tarif royalti minerba, salah satunya nikel dari 10% ke 14-19% dianggap tidak strategis. Alih-alih menaikan pendapatan malah menahan pertumbuhan ekonomi. Namun, Di tengah ketidakpastian global dan harga minerba yang sangat bergantung pada situasi global membuat penguasa minerba bisa menahan diri untuk ekplorasi minerba. Alih-alih meningkatkan pendapatan negara melalui PNBP, malah membuat stagnanasi pertumbuhan ekonomi. Pemerintah perlu cermat dalam melihat situasi hari ini. Termasuk dalam membuat kebijakan dan regulasi yang sekiranya memicu crash perekonomian nasional.
- Belanja Pemerintah
Pada KEM-PPKF 2026, Belanja daerah diarahkan untuk peningkatan belanja produktif. Semangat itu ditunjukan dengan kebijakan efesiensi anggaran. Pada awal 2025, Pemerintah mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun 2025 yang mengatur tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Namun pemerintah membuat kebijakan-kebijakan belanja yang belum sejalan dengan prinsip produktif, efektif, dan efesien.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) salah satu kebijakan pemerintah, menjadi janji kampanye, yang justru jauh panggang di atas api dari prinsip produktif. Dengan proyeksi perencanaan anggaran sebesar Rp 217,8 T. Di tengah banyaknya pekerjaan rumah dari implementasi Program MBG, anggaran yang fantastis telah membebani APBN secara signifikan. Dampaknya dari sempitnya ruang fiskal dengan memaksakan program MBG adalah berpotensi mengeliminir program-program prioritas yang tak kalah urgent bagi pembangunan Republik ini, seperti pembangunan infrastruktur, mitigasi perubahan iklim, dan belanja pelayanan dasar lainnya. Program MBG yang digadang akan memberikan multiplier effect pada sektor UMKM, petani, peternak dan nelayan justru belum dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pemerintah harus legoyo untuk mengakui ada banyak masalah dalam program MBG. Pemerintah harus mengevaluasi Program MBG dan melakukan perbaikan-perbaikan bahkan bila perlu menghentikan program yang mengambil porsi terbesar belanja APBN 2026.
Inpres No. 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Akan dibentuk sebanya 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di seluruh Indonesia dengan alokasi Anggaran sebesar Rp 400 triliun. Dengan jumlah sebesar ini akan menjadi beban APBN 2026 sementara disisi lain belanja publik dilakukan efisiensi besar-besaran. Pemerintah harus fokus pada belanja-belanja publik untuk memastikan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dasar terpenuhi. Pemerintah juga harus fokus pada belanja-belanja yang mendorong pertumbuhan ekonomi, iklim investasi, peningkatan sumber daya manusia dan pengentasan kemiskinan.
Terkait Ketahanan Energi, saat ini dunia sedang bergerak ke arah dekarbonisasi dan net zero emission. APBN 2026 harus mulai mempersiapkan struktur fiskal untuk mendukung green economy dan climate resilience.Untuk mendukung ketahanan energi pemerintah perlu mengevaluasi subsidi energi fosil yang tiap tahun membebani fiskal. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran untuk energi terbarukan, teknologi hijau, serta insentif bagi inovasi ramah lingkungan.
Rekomendasi
- Pemerintah perlu untuk memperluas basis pajak domestik secara berkelanjutan, meningkatkan kepatuhan, serta mengembangkan sumber-sumber perpajakan baru yang adil dan berwawasan lingkungan;
- Evaluasi belanja yang menyerap anggaran paling besar namun tidak berkontribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi salah satunya MBG. Namun apabila program ini harus dilaksanakan sebagai janji kampanye Presiden Prabowo maka hanya perlu dilakukan di daerah-daerah dengan tingkat status gizi dan kesehatan anak yang rendah.
- Pemerintah juga harus mempriotaskan belanja-belanja yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, iklim investasi, peningkatan sumber daya manusia dan pengentasan kemiskinan.
- Benahi permasalahan-permasalahan yang memperlemah fundamental perekonomian diantaranya, kebijakan investasi, kebijakan industri, SDM, tata kelola SDA, penegakan hukum serta reformasi birokrasi.