Peringatan (Kolom opini, Koran TEMPO 5/12) oleh Misbah Hasan (Sekjen FITRA)
HUT Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) ke-47 tanggal 29 November 2018 ditandai dengan kenaikan tunjangan kinerja pegawai (remunerasi) bagi empat kementerian, yakni Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan melalui Perpres. Jumlah tunjangan kinerja tertinggi per kelas jabatan rata-rata mencapai Rp 33,24 juta dan terendah sebesar Rp 2,53 juta. Khusus untuk menteri dan kepala lembaga negara, nilai tunjangannya sebesar 150 persen dari tunjangan tertinggi Aparatur Sipil Negara (ASN) instansi masing-masing dan diberikan terhitung mulai Januari 2017.
Bukan kali ini saja pemerintah menaikkan remunerasi bagi kementerian. Pada 2017, pemerintah telah mengeluarkan 14 Perpres tentang Pemberian Tunjangan Kinerja Pegawai bagi 14 Kementerian/Lembaga (K/L). Dan selama 2018, ada 24 Perpres remunerasi yang diberikan, termasuk bagi empat kementerian di atas. Pertanyaannya adalah, layakkah ASN diberi remunerasi setiap tahun ditengah gaji yang juga naik tahun depan?
‘Penyakit’ Birokrasi
Sejak digulirkannya wacana Reformasi Birokrasi ditandai dengan lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010-2025, upaya untuk menciptakan birokrasi yang profesional, berintegritas tinggi, serta menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara sebagaimana proyeksi potret birokrasi di tahun 2025, ternyata masih banyak mengidap berbagai ‘penyakit’. ‘Penyakit birokrasi’ yang menghambat laju Reformasi Birokrasi tersebut, antara lain: (1) tingginya Belanja Pegawai dalam postur APBN dan APBD; (2) tingginya kasus korupsi ASN; dan (3) maraknya kasus jual beli jabatan oleh Kepala Daerah.
Berdasarkan penelitian FITRA, Belanja Pegawai di era Kabinet Kerja periode 2015-2019 rata-rata mencapai Rp 322 triliun atau 24 persen dari total Belanja APBN. Pada APBN 2019, alokasi Belanja Pegawai ditetapkan sebesar Rp 368,6 triliun atau 22,9 persen, naik sekitar Rp 26,1 triliun dibanding tahun 2018. Pada tingkat provinsi, rata-rata Belanja Pegawai untuk tahun angggaran 2014-2018 sebesar 23 persen dari total APBD Provinsi seluruh Indonesia yang nilai rata-ratanya mencapai Rp 46,3 triliun. Sedangkan di tingkat kabupaten dan kota masing-masing sebesar 45 persen dari Rp 199,3 triliun dan 47 persen dari Rp 48,2 triliun. Tingginya persentase Belanja Pegawai dapat dipastikan akan membebani APBN dan APBD.
Tingginya Belanja Pegawai dan remunerasi yang diterima oleh ASN ternyata tak merubah karakter korup pelayan masyarakat ini. Transparansi Internasional mencatat, indeks persepsi korupsi Indonesia jalan di tempat di point 37. Peringkat Indonesia justru turun dari 90 (2016) ke 96 (2017) dari 180 negara. (TII, 2018). Hal ini tidak lepas dari tingginya kasus korupsi ASN. Hingga 2018, ASN yang terjerat kasus korupsi mencapai 2.357 orang. Korupsi ASN di tingkat pusat sebanyak 98 orang dan di tingkat daerah mencapai 2.259 orang. Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Kementerian Agama (Kemenag), serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menempati rangking pertama, kedua dan ketiga penyumbang ASN korup. Sedangkan untuk daerah ditempati oleh Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Riau. (BPN, 2015-2018).
Penyakit ketiga, maraknya jual beli jabatan oleh Kepala Daerah. Berawal dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Bupati Klaten yang mencengangkan semua pihak, kasus serupa kemudian banyak muncul di sejumlah daerah, misalnya kasus jual beli jabatan di Kabupaten Jombang, Kabupaten Nganjuk, dan terakhir Kabupaten Cirebon. Berbagai kasus tersebut merugikan keuangan negara sangat tinggi.
Sebagai simulasi, bila dihitung secara kasar berdasarkan lowongan jabatan pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tahun 2016, lowongan untuk Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) berjumlah 19.190 jabatan, untuk non-JPT berjumlah 424.171 jabatan, dan Kepala Sekolah berjumlah 297.368 jabatan. Dengan asumsi rata-rata tarif untuk JPT sekitar Rp 250 juta, non-JPT Rp 100 juta, dan Kepala Sekolah sebesar Rp 25 juta, nilai transaksi jabatan yang terjadi sebesar Rp 53,6 triliun. (KASN, 2017)
Upaya Penyembuhan
Berbagai ‘virus’ yang hinggap selama implementasi Reformasi Birokrasi harus segera dibersihkan dan dicarikan upaya penyembuhannya, antara lain dengan, (1) menjaga postur APBN dan ABPD lebih responsif terhadap layanan dasar masyarakat, terutama bagi masyarakat miskin dan rentan, bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran ASN; (2) menerapkan renumerasi secara ketat berdasarkan monitoring dan evaluasi kinerja ASN; (3) memberikan sanksi yang tegas bagi ASN koruptor dan menyita seluruh aset hasil korupsinya; dan (4) mengintensifkan kerjasama KASN, Kementerian PAN-RB, dan KPK dalam upaya pencegahan dan penindakan korupsi ASN. Selama ‘penyakit’ birokrasi di atas belum diatasi secara serius, kenaikan gaji dan remunerasi yang diterima oleh ASN patut dipertanyakan.