Utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) diperkirakan mencapai 40-an persen pada tahun ini.
Perkiraan itu tertuang dalam laporan Macro Poverty Outlook World Bank atau Bank Dunia April 2025. Angka itu jauh di atas standar dunia, yakni sekitar 30 persen.
Meski begitu, pemerintah mengklaim berhati-hati dalam berutang. Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan, realisasi pembiayaan anggaran on track, mencapai Rp250,0 triliun atau 40,6% dari target APBN.
Pada triwulan pertama 2025, pemerintah mencatat realisasi pembiayaan utang sebesar Rp270,4 triliun atau 34,8% dari target APBN 2025 sebesar Rp775,9 triliun.
Pembiayaan utang dipenuhi lewat Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp282,6 triliun dan pinjaman (neto) minus Rp12,3 triliun.
Utang di Awal
Menteri Sri menjamin, pembiayaan utang dilaksanakan hati-hati dan terukur dengan memerhatikan proyeksi defisit APBN dan likuiditas pemerintah. Hal lain yang diperhatikan pemerintah ialah dinamika pasar keuangan dan keseimbangan antara biaya dan risiko utang.
Per akhir Maret, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tercatat defisit Rp104,2 triliun setara 0,43% produk domestik bruto (PDB).
“Memang kalau kita melihat tahun ke tahun strategi front loading (utang di awal) untuk mengantisipasi ketidakpastian tahun ini kepastiannya even higher,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA edisi Maret 2025, Rabu, (30/4/2025).
Sesuai Undang-Undang No.1/2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang pemerintah terhadap PDB maksimal 60 persen.
Program Populis
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai alasan pemerintah menambah utang karena efek dari defisit anggaran melebar.
Kata dia, meskipun sudah menerapkan pemangkasan anggaran, namun karena penerimaan pajak turun, harga komoditas juga otomatis turun dan berpengaruh pada penerimaan negara bukan pajak.
Selain itu, Bhima mengkritik program-program pemerintahan Prabowo yang relatif populis. Contohnya makan bergizi hingga pendanaan Koperasi Merah Putih. Sebab, program-program itu membutuhkan anggaran besar sehingga membuat pemerintah mengambil utang baru.
“Selain itu pemerintah juga menanggung utang jatuh tempo 800 triliun lebih, kemudian beban bunga utangnya itu sekitar 530-an triliun. Artinya 1.350 triliun ini tidak bisa ditutup seluruhnya oleh penerimaan negara, berarti harus berutang baru lagi,” kata Bhima kepada KBR, Rabu, (30/04/25).
Cara Bayar
Kata Bhima, pemerintahan Prabowo dihadapkan dua hal, yakni membayar utang-utang lama alias peninggalan Jokowi beserta bunganya, dan tambahan belanja baru. Di era Jokowi, sebagian besar utang digunakan untuk megaproyek infrastruktur.
“Nah, situasi ini enggak bisa dilihat hanya dengan ‘oh rasio utang kita masih 40 persen terhadap PDB’, tetapi yang harus dilihat adalah bayar utangnya menggunakan apa?” tanya Bhima.
Ia mengingatkan, meski belum mencapai rasio utang tertinggi yang ditetapkan undang-undang, pemerintah tak boleh santai, lantaran harus berpikir cara membayarnya.
“Kalau menggunakan pajak yang menyasar pada kelas menengah tentu akan menurunkan daya beli masyarakat. Kalau kemudian membayar pajaknya itu juga dibebankan kepada UMKM sama saja, itu juga kontraproduktif terhadap penyelamatan ekonomi di sektor riil,” tambahnya.
Kata Bhima, yang terjadi saat ini adalah pemerintah berupaya melunasi utang dengan cara berutang lagi. Caranya dengan menerbitkan surat utang yang bunganya lebih mahal.
Dampaknya, utang yang diambil Indonesia bukan lagi jadi upaya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi justru menjadi beban perekonomian.
Sikap Prabowo Berubah
Ia mengkritik, sikap Presiden Prabowo yang berubah. Saat kampanye pemilihan presiden (pilpres) lalu, Prabowo cukup keras mengkritik utang pemerintah. Kini, Prabowo justru lebih liberal dengan kebijakan utangnya.
“Jadi, selama Indonesia masih bisa berutang, enggak ada masalah mengutang terus. Saya kira itu yang akan membuat Pak Prabowo susah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi 8%. Karena, salah satu hambatan terbesarnya adalah dari segi utang yang terus bertambah secara agresif secara signifikan,” kata dia.
Warning Buat Pemerintah!
Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) Badiul Hadi mengingatkan pemerintah berhati-hati mengelola utang. Ia meminta, catatan Bank Dunia soal utang Indonesia jadi peringatan bagi pemerintah.
Kata dia, pemerintah harus memprioritaskan program-program terutama belanja yang bisa dibiayai dari luar utang. Menurutnya, jika program-program prioritas nasional dibiayai dari utang, maka hal itu mencerminkan buruknya proses perencanaan pemerintah.
Badiul menekankan pentingnya pemerintah meningkatkan diversifikasi penerimaan negara, dan tak hanya bertumpu pada sektor pajak.
“Sektor pajak yang notabenenya juga saat ini masyarakat sedang mengalami situasi yang sangat sulit secara ekonomi, sehingga ketika tumpuan ini masih diberikan kepada pajak,maka potensi pendapatan negara target pendapatan negara itu bisa saja tidak terpenuhi,” kata Badiul kepada KBR, Rabu, (30/04/25).
Reformasi
Badiul mendorong pemerintah mereformasi struktural sistem investasi Indonesia, salah satunya dari aspek penegakan hukum.
Sebab, kepastian hukum sangat penting bagi investor untuk menanamkan modal di Indonesia. Jika komitmen atau variabel ini tidak terpenuhi, tentu akan menjadi masalah di sektor investasi.
Di sisi lain, praktik tindak pidana korupsi juga perlu ditangani serius, sebab turut berkaitan dengan iklim investasi di Indonesia.
Sumber: https://kbr.id/berita/nasional/pemerintah-berutang-buat-bayar-utang-sikap-prabowo-berubah