Skip to main content

Pelaksanaan Registrasi Sosial Ekonomi atau Regsosek 2022, yang mulai dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 Oktober lalu, dinilai berpotensi mubazir dan bisa memperparah tumpang-tindih data kependudukan pemerintah. Terlebih, program berbiaya Rp 4,17 triliun ini menyusun data dari nol melalui sensus kependudukan.

“Meski bertujuan baik, program ini boros, cenderung berorientasi proyek. Dengan tujuan sensus seluruh penduduk, seharusnya Regsosek 2022 dapat disatukan dengan sensus penduduk pada 2020,” ujar Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, kepada Tempo, kemarin.

Menurut Yusuf, program ini memang memiliki tujuan bagus: membangun basis data kependudukan tunggal. Namun langkah tersebut sebenarnya bisa dilakukan dengan melibatkan dan bersinergi dengan kementerian serta lembaga yang selama ini juga telah mengelola data, misalnya Kementerian Dalam Negeri, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), serta Kementerian Sosial.

Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, menurut Yusuf, sudah memiliki data kependudukan yang relatif lengkap. “Dengan pelaksanaan yang tidak melibatkan BKKBN dan Kementerian Sosial, Regsosek berpotensi memperparah tumpang-tindih data kependudukan, terutama data keluarga miskin,” ujar Yusuf.

Akibat tumpang-tindih data tersebut, alih-alih bermanfaat mendukung berbagai program pemerintah, Yusuf khawatir data Regsosek justru tidak terpakai. Ia melihat calon pengguna utama data ini adalah Kementerian Sosial serta Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Saat ini dua kementerian tersebut telah memiliki data sendiri, yakni Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE).

Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pun sempat menyampaikan bahwa pemerintah sudah memiliki data P3KE yang mutakhir dan akurat. Data ini diolah dari data DTKS serta data kependudukan dan pencatatan sipil, serta ditapis dengan data dari BKKBN. Data ini pun telah diperbarui dengan pengecekan di lapangan dan menggunakan geotagging (pencatatan lokasi).

“Kementerian Sosial juga, misalnya, mengaku sudah memperbarui DTKS tidak lagi per semester, tapi per bulan. Artinya, mereka merasa DTKS itu sudah sangat up to date. Ego sektoral ini masih luar biasa di birokrasi, koordinasi sebatas di rapat. Regsosek berpotensi tidak berguna,” ujar Yusuf.

Hal senada disampaikan Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan, yang menegaskan bahwa pemerintah sejatinya sudah mengantongi berbagai data, khususnya kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Selain DTKS dan P3KE, BPS rutin melaksanakan Survei Sosial Ekonomi Nasional.

“Itu artinya, di ranah pemerintah sendiri, terlihat ego sektoral dan masih belum jernih data mana nantinya yang akan digunakan. Ini, kan, jadinya tumpang-tindih dan berpotensi terjadi pemborosan anggaran,”

Misbah Hasan, Sekretaris Jenderal FITRA

Menurut dia, pemerintah seharusnya berkoordinasi dan mengevaluasi lebih dulu data yang sudah dimiliki. Dari sana, dibuat kesepakatan data mana yang akan digunakan.

“Tentukan satu saja, kasihan masyarakat kalau harus didata dan ditanya-tanya hal yang sebenarnya mirip-mirip.”

Misbah Hasan, Sekretaris Jenderal FITRA

Misbah juga menyoroti program Regsosek yang kurang melibatkan masyarakat sipil. Sebab, pemerintah hingga kini belum melakukan konsultasi publik yang signifikan mengenai program tersebut. Padahal program itu akan menelan duit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang tidak sedikit.

“Ini nanti harus diaudit, baik internal maupun oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Bukan hanya audit keuangan, tapi juga kinerjanya,”

Misbah Hasan, Sekretaris Jenderal FITRA

Potensi mubazirnya program Regsosek dibenarkan oleh sejumlah sumber Tempo di kalangan pemerintahan. Beberapa sumber menyebutkan Kementerian Sosial diduga tidak akan mau menggunakan data tersebut lantaran landasan hukumnya lemah. Seharusnya pelaksanaan Regsosek menunggu Peraturan Presiden tentang Reformasi Perlindungan Sosial yang sedang disusun.

Padahal, berdasarkan dokumen yang diperoleh Tempo, beberapa aspek yang didata dalam Regsosek 2022 diniatkan untuk digunakan Kementerian Sosial. Misalnya untuk penargetan program bantuan sosial; penyediaan rumah, air, dan sanitasi yang layak serta kebijakan inklusif kelompok rentan.

Tempo telah berupaya meminta konfirmasi kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial, Harry Hikmat, ihwal dugaan Kementerian Sosial tidak akan menggunakan data Regsosek. Namun, hingga laporan ini ditulis, pertanyaan Tempo melalui aplikasi percakapan hanya dibaca dan tidak berbalas.

Petugas pendataan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) mendata warga di Desa Ilie, Ulee Kareng, Banda Aceh, Aceh, 21 Oktober 2022. ANTARA/Irwansyah Putra

Anggaran Regsosek Sempat Diblokir

Persoalan lain yang mencuat, menurut beberapa sumber tersebut, adalah soal anggaran program Regsosek yang relatif tinggi dibanding program pendataan serupa. Dari surat-surat yang dilihat Tempo pun, anggaran Regsosek 2022 sempat diblokir lantaran belum terbitnya Peraturan Presiden tentang Perlindungan Sosial sebagai landasan hukum kegiatan tersebut. Namun pada akhirnya Kementerian Keuangan memutuskan menggelontorkan anggaran kepada BPS untuk program tersebut.

Direktur Anggaran Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata, membenarkan sempat ada pemblokiran anggaran tersebut. Menurut dia, perpres itu diperlukan untuk mendasari pelaksanaan kegiatan pengumpulan data untuk Regsosek oleh BPS. “Dalam perkembangannya, BPS menyatakan ada dasar hukum yang cukup untuk hal tersebut, yaitu UU Statistik dan PP turunannya. Dengan demikian, kebutuhan landasan hukum terpenuhi dan blokir bisa dicabut,” ujar dia.

Berdasarkan catatan Tempo, anggaran Regsosek 2022 ini jauh lebih besar dari anggaran Kementerian Sosial untuk perbaikan DTKS pada 2021 yang direncanakan sebesar Rp 1,3 triliun. Anggaran tersebut belakangan tidak jadi dipakai.

Menteri Sosial Tri Rismaharini dalam rapat kerja bersama Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat pada pertengahan Januari 2021 menyatakan kementeriannya tidak akan menggunakan anggaran perbaikan data tersebut. Menurut dia, anggaran itu terlampau besar. Risma lantas memilih memperbaiki DTKS dengan memperbarui data sebulan sekali tanpa Kementerian Sosial turun langsung melakukan pendataan. Adapun pemutakhiran data dilakukan oleh pemerintah daerah.

Hal tersebut selaras dengan rekomendasi perbaikan yang disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Menteri Sosial melalui surat pada 8 Februari 2021. Dalam surat tersebut, lembaga antirasuah menyarankan agar Kementerian Sosial mengharmonisasi kebijakan pemutakhiran terpadu antara DTKS dan penerima program bantuan dengan menegaskan peran pemerintah pusat dan daerah agar tidak tumpang-tindih.

Dalam surat yang sama, KPK mengingatkan adanya potensi inefisiensi anggaran sebesar Rp 581 miliar apabila Kementerian Sosial melaksanakan rencana program pemutakhiran DTKS 2021. Potensi ketidakefisienan itu muncul lantaran rincian rencana rata-rata anggaran verifikasi dan validasi per rumah tangga yang akan dikeluarkan Kementerian Sosial ternyata jauh lebih besar dari rata-rata anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk memutakhirkan DTKS 2020. Program Kementerian Sosial kala itu menganggarkan rata-rata sebesar Rp 30.218 per data, sedangkan anggaran pemda Rp 16.272 per data.

Ditanya soal dugaan data Regsosek tidak akan terpakai, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyatakan bahwa pelaksanaan Registrasi Sosial Ekonomi akan lebih baik apabila menggunakan data yang sudah ada. “Jika memang ada kekurangan, diperbaiki dan disempurnakan, sehingga tidak dari nol,” ujar Muhadjir kepada Tempo, kemarin.

Sementara itu, Kepala BPS Margo Yuwono sebelumnya menyatakan, dari cakupan variabel yang dikumpulkan, penggunaan data Regsosek akan sangat luas dan tidak hanya berhenti di satu kementerian. Data ini pun digadang-gadang akan mencakup seluruh penduduk di Indonesia dan akan diperingkatkan dari penduduk kelas miskin ekstrem hingga menengah ke atas.

Setelah adanya pendataan, kata Margo, masa depan Regsosek adalah bagaimana melakukan integrasi untuk berbagi data. Ia mengatakan nantinya data sensus tersebut harus diintegrasikan dengan berbagai data di kementerian dan lembaga. Dengan demikian, ia pun berharap pemanfaatan data bisa optimal. “Sayang pekerjaan besar oleh BPS kalau pemanfaatannya tidak dilakukan optimal sesuai dengan perencanaan,” kata dia. Pekerjaan lain yang harus dilakukan setelah pendataan adalah kolaborasi pemutakhiran data Regsosek. “Jadi, bagaimana sistem Regsosek berjalan, tergantung kita semua.”

Sumber: https://koran.tempo.co/read/berita-utama/477420/pengalaman-pahit-intervensi-politik-bank-sentral-di-negara-lain