Terpilihnya Abdul Halim Iskandar dan Budi Arie Setiadi sebagai menteri dan wakil menteri desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi (mendes/wamendes PDTT) dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019–2024 tentu mengejutkan semua kalangan, terutama para pegiat desa. Dari latar belakang, beliau berdua hampir tidak pernah bersentuhan dengan isu desa secara langsung, meski ada pengakuan dari Menteri Desa terpilih bahwa beliau berasal dari desa sehingga sangat memahami isu desa dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh warga desa. Tidak kalah dramatis, Wamendes juga berikrar akan lebih banyak “tidur” di desa-desa saat menjabat. Apakah ini cukup?
Berdasarkan riset FITRA dan refleksi lima tahun implementasi UU Desa, paling tidak ada lima permasalahan mendasar terkait tata kelola keuangan desa yang perlu segera diselesaikan oleh Mendes dan Wamendes baru. Pertama, soal transparansi anggaran desa yang belum substansial. Dalam hal ini harus dibuat rincian anggaran kegiatan masing-masing bidang kewenangan desa.
Kedua, sempitnya ruang fiskal desa. Meski desa mendapat kucuran anggaran (cash transfer) berupa dana desa (DD) dari APBN, alokasi dana desa (ADD), bagi hasil pajak dan retribusi daerah dari APBD kabupaten/kota, dan bantuan keuangan dari provinsi/kabupaten/kota, serta mengelola pendapatan asli desa (PADes) sendiri, tidak serta-merta dapat digunakan oleh desa untuk belanja prioritas pembangunan desa. Desa harus tunduk pada Permendes tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa yang dikeluarkan Kemendes setiap tahun.
Permendagri tentang Pengelolaan Dana Desa juga telah mengunci bidang, subbidang, dan jenis kegiatan yang boleh atau tidak boleh dilaksanakan oleh desa. Hal ini diperparah oleh program/kegiatan organisasi perangkat daerah (OPD) yang dititipkan untuk dibiayai oleh APBDesa melalui peraturan bupati/wali kota (perbup/perwali).
Ketiga, terkait rendahnya partisipasi warga desa dan lemahnya fungsi pengawasan badan permusyawaratan desa (BPD). Proses perencanaan dan penganggaran di tingkat desa melalui musyawarah desa (musdes) masih terkesan formalitas, didominasi oleh elite desa “elite capture”, serta belum responsif gender dan inklusif. Masyarakat miskin dan kelompok-kelompok rentan di desa, misalnya kelompok perempuan miskin, penyandang disabilitas, anak, dan lansia, belum mendapat akses yang setara dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lainnya. Hal ini diperparah dengan lemahnya fungsi monitoring oleh BPD.
Keempat, tingginya kasus penyimpangan anggaran desa. Hingga 2019, dana desa yang telah dikucurkan oleh pemerintah ke desa mencapai Rp257,7 triliun (2015–2019). Berdasarkan catatan Satuan Tugas (Satgas) Dana Desa, per semester I-2018, ada 1.371 kasus penyimpangan dana desa yang melibatkan 184 kepala desa dengan nominal kerugian negara sebesar Rp40,6 miliar. Kasus-kasus inilah yang kemudian memunculkan masalah kelima anggaran desa, yakni menguatnya kon trol supradesa dalam pengawasan anggaran desa. Kemendes dan Kemendagri sampai harus membuat kesepakatan (MoU) dengan Kepolisian dan Kejaksaan Republik Indonesia untuk memantau pelaksanaan dana desa.
Ada lima rekomendasi yang bisa dipertimbangkan ke depan.
Pertama, memanfaatkan teknologi informasi dalam mendorong desa lebih transparan (desa era 4.0).
Kedua, memberi ruang fiskal (diskresi fiskal) yang lebih luas kepada desa. Hambatan dan pembatasan kewenangan desa yang banyak tertuang dalam regulasi turunan UU Desa harus segera diminimalisasi.
Ketiga, mendorong akuntabilitas sosial di tingkat desa. Prakondisinya adalah dengan membuat aturan tentang pemilihan kepala desa dan BPD yang lebih demokratis dan tanpa unsur politik uang (money politic). Penguatan kapasitas warga dan BPD selaku representasi dan kanal aspirasi warga desa juga patut mendapat porsi anggaran lebih.
Keempat, mengurangi intervensi pengawasan supradesa secara berlebihan dan memperkuat pengawasan warga yang lebih “organik”. Kelima, menyederhanakan mekanisme penyusunan dan pelaporan anggaran desa.
Terakhir, mempercepat literasi anggaran desa untuk menciptakan warga desa yang lebih aktif dan kritis (active citizen and critical engagement