Skip to main content

Studi yang dilakukan oleh Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial sepanjang tahun 2020-2021 menunjukkan skema perlindungan sosial yang diberikan pemerintah pusat masih belum mampu beradaptasi mengatasi risiko kerentanan sosial akibat pandemi. Salah satunya mengenai program bantuan sosial (bansos).

Sementara program yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah masih bersifat melengkapi program yang telah diberlakukan pemerintah pusat. Akibatnya, banyak rumah tangga miskin belum mendapatkan manfaat dari bantuan sosial.

Bahkan baru-baru ini, menurut Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Betta Anugrah, kondisi tersebut diperparah dengan ditemukannya fakta di lapangan bahwa bantuan sosial tak tepat sasaran. Buruknya data penerima yang dimiliki, salah satunya menyebabkan sebanyak 28.965 PNS ikut menerima dana bantuan sosial pemerintah.

“Masih terjadinya tumpang-tindih program bantuan sosial maupun kelompok sasaran sehingga efektivitas program menjadi buruk, selain itu masalah pendataan (exclusion error dan inclusion error) masih sering terjadi, salah satu yang menjadi sorotan baru-baru ini adalah ditemukannya 28.965 PNS mendapatkan bantuan sosial Kemensos,” ucap Betta dalam acara seminar nasional Reformasi Perlindungan Sosial yang digelar secara daring, Selasa (30/11).

Betta mengatakan, permasalahan yang muncul diakibatkan alokasi anggaran untuk Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang terbilang masih rendah. Hal ini menurutnya dikarenakan program yang ada belum disesuaikan dengan indeks kemiskinan dan biaya daerah, sehingga nilai manfaatnya menjadi kurang.

Alhasil, pada tahun 2020 masih banyak ditemukan keluarga miskin di beberapa daerah yang tidak memperoleh manfaat dari PKH tersebut.

“Alokasi bantuan di level nasional/pusat belum meng-cover keluarga miskin di daerah. Berdasarkan audit sosial yang dilakukan Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial pada tahun 2020 ditemukan sejumlah 2.892 keluarga miskin di DKI Jakarta tidak mendapatkan PKH. Sedangkan di Kota Bandar Lampung, Kota Bogor, Kab Bogor, dan Kota Tasikmalaya sejumlah 6.306 keluarga miskin tidak mendapatkan PKH,” ucap Betta.

Betta dan koalisi beranggapan minimnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan data penerima manfaat jadi alasan utama. Padahal menurutnya, pendataan harus dilakukan oleh pihak yang berhubungan langsung dengan masyarakat, dalam hal ini RT dan RW. Sehingga masyarakat yang memang kekurangan betul-betul terjamah oleh bantuan yang ada.

“Minimnya keterlibatan masyarakat dalam tahapan pendataan sehingga sering terjadi salah sasaran dan rawan terjadi konflik kepentingan di daerah. Bahkan RT/RW sering kali tidak dilibatkan, padahal mereka jauh lebih paham terhadap kondisi warganya,” ungkap Betta.

Situasi tersebut, menurut Betta, diperparah dengan buruknya sistem pengaduan masyarakat di tingkat daerah. Sehingga acapkali masyarakat dibuat kesulitan dengan permasalahan yang terjadi terkait bantuan sosial yang mereka terima.
“Lemahnya sistem pengaduan masyarakat di level daerah. Hal ini ditemukan dalam kasus saldo kosong, penahanan kartu, pemotongan bantuan oleh oknum di mana respons dan penanganannya oleh pihak terkait sangat lambat,” kata Betta.
Oleh sebab itu, Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial pun merekomendasikan sejumlah hal kepada pemerintah agar hal tersebut tak terulang kembali. Sehingga masyarakat dapat menikmati bantuan yang mereka peroleh.

Berikut lima rekomendasi dari koalisi:

  1. Melakukan perbaikan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari pusat sampai daerah, agar program bantuan yang ada terintegrasi dan efektif.
  2. Pemerintah daerah harus berani me-refocusing belanja yang tak penting untuk direalokasikan ke belanja perlindungan sosial, apa lagi daerah dengan kapasitas fiskal yang cukup bisa membuat program inovatif guna menurunkan angka kemiskinan dan kerentanan di masa pandemi (bencana). Pemda DKI Jakarta bisa menjadi barometer pemerintah daerah untuk merumuskan program perlindungan sosial ditingkat daerah sebagaimana yang diusulkan koalisi Reformasi Perlindungan Sosial pada 2020-2021. Hal ini dikarenakan alokasi anggaran perlindungan sosial DKI Jakarta yang besar dan kapasitas fiskal yang tinggi.
  3. Mendorong program inovatif terkait perlindungan/bantuan sosial di level daerah (PKH Lokal) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), karena program PKH yang sudah berjalan belum bisa meng-cover jumlah penduduk miskin dan penduduk miskin baru akibat pandemi COVID-19. Berdasarkan studi koalisi, praktik baik ini sudah dilakukan di beberapa pemerintah daerah salah-satunya di Provinsi Jawa Tengah dengan Perda Nomor 6 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, Pemerintah Kabupaten Bogor dengan Surat Keputusan Bupati No.147/142/kpts/per-uu/2021 tentang Program Satu Miliar Satu Desa dan Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo dengan Perbub Nomor 30 Tahun 2020 Tentang Petunjuk Teknis Bantuan Sosial Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorotalo.
  4. Mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses dan tahapan pendataan, hal ini agar Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang sudah ada bisa lebih valid dan minim konflik kepentingan. Karena faktanya banyak masyarakat sampai saat ini tidak tahu proses, tahapan.
  5. Memperkuat mekanisme pengaduan terkait bantuan sosial baik yang berasal dari pusat dan daerah, karena faktanya informasi dan respons penanganan terhadap pengaduan masih sangat lemah.

Sumber: https://kumparan.com/kumparannews/program-bansos-dinilai-masih-bermasalah-pemerintah-didorong-perbaiki-pkh-dtks-1x1FlUeVoBa