Skip to main content

Jakarta, 24 Agustus 2021

Pemerintah bersama dengan Bank Indonesia (BI) berencana akan melanjutkan program berbagi beban atau burden sharing untuk pembiayaan utang pada 2022 mendatang. Bank Sentral rencananya akan membeli Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 224 triliun rupiah atau meningkat 4 persen dari skema burden sharing dalam APBN 2021 yang tercatat sebesar 215 triliun rupiah

Dari hasil pembelian itu, pemerintah akan mengalokasikan untuk biaya penanganan kesehatan, perlindungan sosial, dan stimulus Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) seiring dengan dampak pandemi virus Covid-19.

Dari draf dalam rapat kerja antara kedua institusi dengan Komisi XI DPR, di Jakarta, Senin (23/8), menyebutkan surat keputusan bersama yang ketiga tengah disusun untuk menjalankan skema tersebut.

Pakar Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto, yang diminta pendapatnya mengatakan meskipun risiko pembiayaan utang dengan program burden sharing dinilai lebih kecil, namun bagaimanapun penambahan jumlah utang dengan beban yang telah ada sebelumnya tetap mengkhawatirkan.

“Dalam tataran konsep dasar, burden sharing dapat dipahami memang lebih tidak berisiko bagi debitur terhadap kreditur dibanding program-program alternatif utang yang lain, namun secara makro tambahan utang ini bisa dikatakan mendekati titik mencemaskan,” kata Bambang

Publik, jelasnya, terus mengikuti pergerakan besaran utang dan persentase debt to GDP ratio yang dikhawatirkan besarannya dikreasi sesuai kepentingan.

Semakin Terbatas

Sementara itu, Direktur Lembaga Kajian Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan berlanjutnya skema burden sharing akan berisiko mengurangi amunisi bank sentral menghadapi tapering off pada 2022 mendatang.

“Risiko tapering off tidak bisa dianggap remeh, ketika BI diperlukan menjaga stabilitas kurs dengan membeli SBN di pasar sekunder misalnya, justru sumber daya terserap ke pasar primer SBN untuk burden sharing,” jelas Bhima.

Selain itu, inflasi juga berpotensi meningkat seiring dengan penambahan uang beredar. Ketika permintaan mulai naik sejalan dengan pemulihan ekonomi, harga-harga barang khususnya berkaitan dengan komoditas bisa meningkatkan tekanan dari sisi demand maupun supply, sehingga inflasi bisa naik di atas 3 persen.

Risiko lainnya, kata Bhima, yaitu pemanfaatan burden sharing, yang dikhawatirkan lebih banyak digunakan untuk belanja yang sifatnya konsumtif. Misalnya, untuk membiayai belanja pegawai, belanja barang atau bahkan belanja untuk bayar bunga utang. Sebaiknya, BI sangat selektif dalam melakukan burden sharing.

Secara terpisah, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan kondisi itu dilematis bagi pemerintah. Skema burden sharing adalah pilihan yang terpaksa diambil pemerintah karena SBN belum dilirik investor.

Di sisi lain, untuk saat ini pilihan tersebut paling moderat risikonya, ketimbang kembali menarik utang luar negeri yang stoknya sudah menggunung. “Risikonya duit akan banyak beredar sementara permintaan sedikit, perlu diwaspadai dampaknya pada inflasi dan nilai tukar rupiah. Jangan sampai justru menghambat pembangunan ekonomi,” tegasnya.

Oleh karena itu, dia mengimbau agar target pembiayaan public good senilai 397 triliun rupiah harus betul-betul direncanakan dengan baik, agar tidak meleset dari target yang sudah ditetapkan. “Terlebih jika kita lihat kebijakan belanja pemerintah sebenarnya sudah baik, sayangnya pada tahap implementasi sangat lamban,” kata Badiul.

Sumber: https://koran-jakarta.com/rencana-beli-sbn-rp224-triliun-pada-2022-bi-diminta-lebih-selektif