Skip to main content
FITRA di Media

Reshuffle, Siapa Bermasalah? Tak Berubah, Presiden yang Bermasalah

By September 29, 2011October 15th, 2012No Comments4 min read

Reshuffle kabinet tidak berarti penting bagi jalannya pemerintahan hingga 2014, jika Presiden SBY justru tidak mengubah atau mengoreksi diri. Sorotan atas reshuffle tidak hanya pada menteri yang bermasalah tapi juga mengarah pada presiden.

Istana meyakinkan reshuflle dilakukan untuk memperbaiki kinerja menteri yang payah. Istana mengakui selama ini banyak menteri yang kewalahan dalam melaksanakan program-program kerjanya. Buruknya lagi sikap menteri ini menular pada bawahannya, dari level eselon I, II, dan III yang ikut-ikutan tidak bekerja secara efektif.

“Sebagian besar malah ignorance terhadap kewajibannya,” kata Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparinga.

Namun kalau mau fair, buruknya kinerja menteri juga tidak bisa dilepaskan dari atasannya, yakni Presiden SBY. Para menteri sebagai pembantu hanya menjalankan isntruksi presiden. Sikap SBY yang tidak tegas dalam menjalankan roda pemerintahan mengakibatkan para menteri bekerja seenaknya saja. Apalagi mereka merasa dilindungi parpol masing-masing sebagai bagian dari koalisi.

“Persoalannya bukan di menteri tapi di SBY sebagai seorang pemimpin,” ujar Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan.

Pernyataan Istana bahwa reshuffle untuk memperbaiki kinerja kabinet pun diragukan sejumlah kalangan. Pengamat politik Yudi Latief mencurigai reshuffle dilakukan hanya untuk memperbaiki citra SBY. Apalagi bila kemudian reshuffle hanya dilakukan terhadap sedikit menteri.

“Kalau hanya sebagai kosmetik, mungkin cuman dua menteri yang diganti hanya karena ketidakpuasan kinerja pemerintahan SBY semakin menguat,” kata Yudi.

Yudi menyebut tindakan reshuffle yang dilakukan oleh SBY terlambat. Waktu yang tersisa dari masa pemerintahan SBY dalam perhitungan politik, cuma setahun, dengan alasan pada tahun 2012 mendatang, partai-partai politik telah mengambil ancang-ancang untuk kembali siap bertarung pada pemilu dan pilpres 2014. “Menteri akan kembali menjadi fundrising dari parpol,” ujarnya.

Jika pun dilakukan reshuffle, maka Yudi menyebut lebih dari lima puluh persen pos kementerian layak untuk diganti. Yudi malah menyarankan SBY untuk mengambil pembantunya dari kalangan profesional, namun lagi-lagi Yudi meragukan SBY akan mengambil langkah untuk mengambil kalangan profesional.

“Kalau non partai, SBY tidak akan berani karena unsur dalam pemerintahan dan partainya banyak masalah,”terangnya.

Yudi menjelaskan, reshuffle yang dilakukan oleh SBY tidak benar-benar menjanjikan hal yang substantif dalam perubahan kinerja pemerintah. Baginya, reshuffle yang dilakukan hanya untuk memuaskan aspirasi dari kekuasaan saja.

“Yang jelas, kalau ternyata setelah diganti tidak ada perubahan, maka kalau itu Presiden dan Wapresnya yang bermasalah,” ujar Yudi

Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti sependapat dengan Yudi soal perlunya menteri profesional. Menurutnya, bila memang SBY bisa tegas dan punya keberanian, seharusnya dalam mengelola pemerintahan selama 2,5 tahun ke depan, SBY berani mengganti kabinet sekarang dengan orang-orang yang profesional di bidangnya masing-masing. SBY harus keluar dari sekat-sekat kepentingan partai.

“Itu pun kalau target dia ingin dikenang publik. Karena saya yakin banyak orang yang seperti itu tersedia di Indonesia,” kata Ray.

Tapi jika SBY hanya ingin bermain aman saja, kinerja pemerintahan SBY ke depan tidak akan berubah. karena hanya mementingkan kepentingan politik saja. Bukan performa kabinet untuk menjalan program pemerintahan yang jadi tujuan.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) juga menyarankan SBY melakukan reshuffle secara radikal khususnya pada pos kementerian yang membawahi hukum dan ekonomi. “Yang paling penting kriteria orang yang mampu menyelesaikan masalah, jangan hanya melaporkan dan menambah masalah,” kata politisi PDIP Maruarar Surait.

Pakar Hukum Tata Negara Margrito meragukan SBY akan melakukan reshuffle secara radikal pada pos-pos hukum seperti Kejaksaan Agung, Polri, dan Kementerian Hukum dan HAM. “Ini hanya psy war untuk sekedar mengingatkan agar tidak macam-macam,” kata Margrito.

(iy/vit)

Sumber: Detik.com

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.