Penegakan Hukum dalam pembalakan liar pada kejelasan status hutan yang merupakan arah dari rancangan RPJMN tidak menjamin tidak terjadinya kriminalisasi secara arbitrer dan berlebihan pada masyarakat. Pemerintah perlu merancang kebijakan penegakan hokum pada masa transisi dimana status hutan belum jelas dan belum bisa dibedakan antara hutan adat, hutan hak dan hutan negara. Pemaparan tersebut tertuang dalam konferensi Pers yang digelar Seknas FITRA bersama Koalisi Masyarakat Sipil pegiat lingkungan hidup (Walhi, Epistema Institute, Auriga, Badan Registrasi Wilayah Adat, JKPP, HuMa, Pusaka, Konsorsium KpSHK, ICEL, Kiara, FKKM dll) untuk perbaikan pada program pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam pada (13/1).
Dalam Konferensi Persnya Koalisi Masyarakat Sipil meminta pemerintah serius mengakui hak rakyat dan menjalankan tata kelola penegakan hokum yang efektif dalam RPJMN bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam. “Dalam penegakan hokum terkait pembalakan liar fokus pemerintah masih kepada pelaku dilapangan saja, belum dilihat pada actor perusakan hutan secara komprehensif atau dengan kata lain mafia yang menikmati hartany” tegas Henry dari Epistema Institute.
Pemerintah menargetkan pencapaian jumlah luasan dan izin hak hutan desa, rakyat dan adat sebesar 12.7 juta hektar pada 2019, target ini berbeda dengan rancangan awal RPJMN yang menyebutkan target 40 juta hektar kawasan hutan untuk rakyat. “Koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah khususnya Bappenas dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan pada public pertimbangan dibalik penurunan target ini dan kaitannya dengan upaya mengatasi ketimpangan penguasaan hutan” ungkap Yenti Peneliti FITRA.
Redaksi FITRA
13 Januari 2015