Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) beberapa hari yang lalu baru merilis daftar nama Kabinet Kerja. Berdasarkan catatan Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) dalam Konferensi Persnya pada Minggu (27/10), Presiden Jokowi memiliki selusin pekerjaan rumah (PR) yang perlu diimplementasikan untuk perbaikan tata kelola anggaran dan pencegahan mafia anggaran di Indonesia.
Manager Research &Development Seknas FITRA Muhammad Maulana mengatakan ada 12 Pekerjan Rumah (PR) Presiden Joko Widodo dalam mewujudkan perbaikan tata kelola anggaran dan pencegahan Mafia Anggaran di Indonesia “Kami merangkumnya ada 12 PR Jokowi dalam tata kelola anggaran, PR pertama Jokowi-JK adalah mempublikasikan rencana kerja anggaran (RKA) dan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) kementerian/lembaga. Selama ini praktik keterbukaan informasi anggaran masih sangat umum. Kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah seharusnya mempublikasikan RKA dan DIPA secara utuh” terang Maulana.
Ditambahkannya lagi, Jokowi perlu menerapkan praktik keterbukaan informasi anggaran seperti yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta saat ia menjabat sebagai gubernur DKI. “Sehingga publik dapat memuat informasi unit anggaran dan peluang korupsi dapat diminimalisir” Ungkapnya.
PR kedua Jokowi-JK menurut Maulana, keterbukaan partisipasi publik pada pembahasan dan pelaksanaan anggaran. Keterlibatan publik dalam proses perencanaan anggaran selama ini terbatas pada forum musrenbang.
“Publik belum terlibat dalam pembahasan anggaran. Karena itu, kementerian/lembaga perlu melaksanakan konsultasi publik selama proses penyusunan RKA,” ujar dia.
Selanjutnya, Jokowi harus mengalokasi lima persen dari APBN untuk anggaran kesehatan. Menurut dia, selama satu dekade terakhir rata-rata anggaran kesehatan hanya dialokasikan 2,5 persen dari belanja APBN.
“Seharusnya, anggaran kesehatan dialokasikan 5 persen dari belanja APBN, sebagaimana dimandatkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009,” kata dia.
PR keempat, lanjut Maulana, kementerian dan lembaga harus menindaklanjuti hasil audit BPK. Selama ini terdapat kecenderungan kementerian dan lembaga malas menindaklanjuti rekomendasi temuan BPK. Akibatnya, penggunaan anggaran negara berpotensi tidak dapat dipertanggungjawabkan, bahkan dapat berakibat kerugian negara.
“Kelima mengenai belanja pegawai dalam APBD tak boleh lebih dari 60 persen. Catatan kami selama kurun 2008-2014, lebih dari 200 daerah mengalokasikan belanja pegawai lebih dari 50 persen belanja APBD. Bahkan, terdapat 11 daerah pada 2011 dan 2012 yang mengalokasikan anggaran belanja pegawai hingga 70 persen. Bila hal ini terus terjadi, tidak akan ada pembangunan di daerah dan besar kemungkinan daerah itu akan bangkrut,” Terang Maulana.
Pekerjaan rumah keenam, yakni perlunya optimalisasi penyerapan anggaran pada semester pertama. Penyerapan anggaran menjelang akhir tahun anggaran telah menjadi masalah klasik. Padahal, praktik ini berpotensi membuat penggunaan anggaran tak efektif dan membuka korupsi. Kinerja penyerapan anggaran seharusnya diperbaiki dengan target realisasi mendekati 50 persen pada semester pertama.
“Ketujuh memasukkan rasio Gini dalam indikator makro APBN. Data BPS menunjukkan terjadi kenaikan signifikan dari 0,36 menjadi 0,41 dalam kurun waktu 2005-2013 yang berarti terjadi kesenjangan yang semakin tinggi,” ungkap dia.
Maulana menambahkan, pada poin ke delapan salah satu penyebab pembangunan tidak berjalan optimal adalah sistem perencanaan dan penganggaran tidak terintegrasi. Keduanya dipisahkan oleh dua undang-undang yang berbeda, yaitu UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.
“Akibatnya, program kegiatan berulang-ulang dilakukan tanpa perubahan signifikan, bahkan menjadi bancakan,” imbuh dia.
Poin kesembilan, Maulana meminta, Jokowi menghapus DPID dan DPIPD. Mekanisme pemberian dana percepatan infrastruktur daerah dan dana penguatan infrastruktur dan prasarana daerah melanggar undang-undang karena tidak dikenal dalam Undang-Undang Perimbangan Keuangan Negara Nomor 33 tahun 2004. Pelaksanaannya pun hanya berdasarkan PMK.
“Kami menduga dana DPID dan DPIPD justru menjadi dana optimalisasi terselubung anggota DPR. Transfer dana ini membuka potensi korupsi anggaran negara,” papar dia.
PR kesepuluh adalah perlunya moratorium remunerasi. Remunerasi terbukti tidak efektif meminimalkan korupsi di kalangan pemerintah. Anggaran remunerasi yang diberlakukan sejak 2008 dengan rata-rata kenaikan hingga 15 persen per tahun sebaiknya direalokasi untuk pembangunan gedung sekolah dan fasilitas kesehatan yang jauh lebih bermanfaat bagi publik.
“Kesebelas menghapus tambahan program baru dalam APBN-P. Penambahan program dalam APBN Perubahan, menyebabkan kinerja penyerapan anggaran APBN tidak maksimal. Bahkan, terbukti, penambahan program baru pada APBN Perubahan berpotensi membuka peluang korupsi seperti kasus korupsi Al-Quran pada APBN-P 2011,” jelas Maulana.
Terakhir, maulana meminta Presiden Jokowi menghapus penyanderaan kontrak sektor migas. Selama ini sejumlah kontraktor kontrak kerja sama sektor migas tidak mematuhi ketentuan cost recovery dan perpajakan. Berdasarkan hasil audit BPK semester II 2013, hal ini mengakibatkan kerugian negara karena hilangnya potensi penerimaan sebesar Rp 995 miliar.
“Untuk itu, pemerintah Jokowi harus lebih tegas dalam mengawasi sektor migas,” tandas dia.
Updated : 30/10/2014
Redaksi FITRA.